Selasa, 05 Oktober 2010

Ritual dan upacara peralihan [rites of passage]

BAB 1

Pagi ini saya sedang membaca buku dari Fiona Bowie, "ritual teory, rites of passage and ritual violence' in The Anthropology of Religion, 2000, p. 151-189. Yang menarik perhatian saya dari bacaan saya pagi ini adalah pembahasannya yang menyajikan pokok2 pikiran dari Victor Tunner mengenai ‘liminalitas’ yang merupakan pengembangan dari teori yang diungkapkan oleh Arnold van Gennep. Bagi van Gennep sendiri, ada 3 tahapan dalam ritus peralihan yaitu: ritus pemisahan [pra-liminal, dimana seseorang terpisah dari status tetap yang dimiliki pada struktur sosial sebelumnya], ritus perpindahan [margin atau batas, yang bermakna subyek ritual dalam keadaan ambigu karena subyek tidak lagi dalam status lama, tetapi belum masuk status baru], dan ritus inkorporasi [pasca-liminal, berarti subyek ritual memasuki status atau keadaan stabil yang baru dengan menyandang berbagai hak dan kewajiban]. Dalam hal ini Turner mengatakan liminalitas merupakan tahapan ke-2 dari 3 tahap pendewasaan van Gennep. Keadaan yang kedua [ritus perpindahan] merupakan kondisi yang ambigu. Kondisi yang ambigu ini sering sekali terjadi dalam siklus kehidupan seseorang dan biasanya inilah masa-masa kritis bagi seseorang.


Dari penelitiannya terhadap suku Ndembu, Tunner mengatakan bahwa pada masa kritis seperti ini seseorang sering sekali mengalami gangguan dan bentuk gangguan tersebut datang dari makhluk halus. Dalam hal inilah kemudian terjadi upacara atau ritual yang sifatnya trasendental untuk meminta perlindungan dari yang kuasa. Tetapi juga pada sisi lain saya melihat bahwa Tunner juga ingin mengatakan bahwa ritual-ritual yang sering sekali ada dalam masyarakat sebenarnya berfungsi sebagai penguatan terhadap kepecayaan-kepercayaan tertentu. Jadi ritual lebih menunjuk kepada perilaku tertentu yang bersifat formal, dilakukan dalam waktu tertentu secara berkala, bukan sekadar rutinitas yang bersifat teknis melainkan menunjuk kepada tindakan yang didasari oleh kayakinan religius terhadap kekuasaan atau kekuatan-kekuatan mistis. Mungkin hal ini mirip dengan apa yang ada dalam masyarakat Jawa dengan tradisi ‘selamatan’ agar roh tidak mengganggu hidup manusia.


Saya beberapa kali mengunjungi tempat-tempat suci seperti Sendangsono, gua Maria Kerep Ambarawa dan Ganjuran. Saya melihat dari sana bahwa ritual-ritual yang sering sekali dilakukan adalah bagian dari memantapkan proses perpindahan siklus kehidupan dan pendewasaan tersebut. Peziarah-peziarah yang datang ke sana tidak sekedar melihat bagaimana indahnya tempat itu atau hanya sekedar melakukan wisata semata, tetapi nampaknya ada keyakinan yang teramat sangat dari peziarah yang meyakini bahwa doa yang mereka panjatkan, ketertundukan di bawah patung Yesus dan Maria merupakan bagian dari apa yang disebut Tunner sebagai liminalitas. Kebutuhan untuk berziarah didasarkan pada permasalahan-permasalah hidup yang membuat umat merasa terhimpit dan tertekan sehingga mereka membutuhkan kekuatan untuk melanjutkan kehidupan mereka. Mereka meyakini bahwa pengalaman berjumpa dengan Allah melalui perziarahan mampu memberikan kekuatan baru dan memperkuat iman mereka pada Tuhan. Proses transisi dalam kehidupan seseorang dimantapkan lewat ritual-ritual tertentu dan biasanya bersifat trasendental.

 

Senin, 04 Oktober 2010

Baseball

Pagi ini mataku dilintasi berita olahraga. Dalam berita tersebut, ada olahraga yang disebut baseball. Nah, menurutku ini olahraga paling aneh sedunia. Mengapa? Krn olahraga ini beda buanget ama olahraga yang doyan aku tonton dan sepertiga orang di dunia juga nonton, sepakbola. Anehnya, olahraga lain tuh ya kayak sepakbola kan mesti pake bola dan setiap pemainnya tuh mesti ngejar bola. Kalo ndak ya bukan main bola namanya. Tetapi baseball ndak seperti itu. Dalam permainan baseball, bola mesti dibuang dan pemain harus menjauh [baca: kabur] dari bola.

Tetapi mesti yang satu ngejar bola dan yang satunya menjauh dari bola, toh keduanya olahraga yang membuat kita mesti lari ke sana-kemari. Kita harus memindahkan tubuh kita dari satu titik ke titik lain. Jadi mestinya, orang yang suka sepakbola kayak saya mesti ngejar bola, agar badan ini ndak kayak bola nantinya :D

Minggu, 03 Oktober 2010

Peran Pemuka Agama dalam meminimalisir peng'rusak'an alam


Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius dan mengaku percaya kepada TYME. Hal itu jelas dijadikan sebagai dasar berpijak bagi bangsa ini dengan mencantumkan pengakuan itu dalam Pancasila sebagai dasar negara. Penegasan tersebut merupakan proklamasi bagi siapapun dan negara manapun di dunia bahwa Indonesia adalah bangsa yang mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa. Maka tidak heran cirikhas keagamaan tersebut terlihat dalam sebagian besar peristiwa, kegiatan dan perjalanan bangsa ini. Pemuka agama menjadi orang yang dianggap sebaga penuntun

Agama Abraham baik Islam, Kristen dan Yahudi yakin bahwa hakekat manusia akan berakhir dan akan masuk ke dalam masa penentuan kehidupan baru. Mereka percaya bahwa dunia ini akan fana dan berakhir dan konsep akan dunia yang baru, dunia yang tidak akan fana telah menunggu. Hal ini telah menjadikan banyak penganut agama di negara ini untuk berlomba beramal, berbuat baik dan memperbanyak doa dan ibadah. Tujuannya satu, ingin menjadi warga negara dari dunia yang baru yang tidak fana tersebut.

Hal ini secara sadar maupun tidak telah menentukan mindset berpikir manusia beragama di negara ini. Dunia ini akan fana oleh karena itu tidak perlulah terllu menjaga dan mememlihara dunia ini. Bukankah dunia yang kita tinggali ini jahat? Konsep berpikir eskatologis ini membuat kita mengesampingkan pemeliharaan alam. Kita serta merta dan tanpa pikir panjang menguras habis kekayaan alam negri ini, termasuk hutan. Kita berpikir bahwa hutan yang disediakan Tuhan merupakan persediaan yang sengaja diberikan Tuhan kepada kita dan oleh karena itu kita harus menghabiskannya, tanpa lagi berpikir dan berbuat untuk mengelolanya dengan baik dan memeliharanya dengan baik. Maka benar apa yang dikatakan oleh Mahatma Gandi bahwa dunia ini cukup untuk mensejahterakan seluruh umat manusia, tetapi tidak cukup untuk melayani kerakusan. Dunia ini memang dijadikan oleh Tuhan dan dimaksudkan sebagai bagian dari kesalingtergantungan manusia akan alam. Namun manusia yang rakus dan tamak telah menjadikan alam ini sebagai objek pemuas hawa nafsu, demi merauk kekayaan pribadi semata. Tidak heran jika kerakusan ini akhirnya berimbas pada ketidakadilan dan ketidaksejahteraan masyarakat. Mengapa? Karena alam yang tadinya disediakan untuk semua orang, sekrang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang punya kekuasaan akan alam tersebut. Tentu saja dengan hawa nafsu, kerakusan dan ketamakan.

Maka dalam hal ini, peran pemuka agama sebagai penuntun tadi diharapkan dapat turut aktif dalam memberikan pemahamam akan konsep berpikir yang mengesampingkan keberpihakan pada alam. Benar bahwa dunia ini akan fana tetapi apakah menguras habis isi alam dan hutan ini adalah benar. Arah misi agama seharusnya lebih kontekstual. Hutan kita sudah rusak, maka konsep misi agama kita seharusnya diarahkan pada keberpihakan pada hutan. Bukankah Tuhan senang apabila ciptaannya dipelihara dengan baik? Misi vertikal dimana Tuhan dijunjung tinggi dengan ibadah dan doa seharusnya perlu diimbangi dengan Misi Horizontal yaitu kepedulian terhadap sesama termasuk kepada alam ciptaan Tuhan.

sumber gambar: pixabay.com

Sabtu, 02 Oktober 2010

Seks atau akses

Kompas pernah menuliskan sebuah hasil survei yang dilakukan perusahaan riset Harris Interactive di Washington. Hasilnya adalah perempuan lebih suka memilih “akses” internet daripada “seks”. Perempuan bisa absen soal seks daripada akses internet. Sekitar 46 persen perempuan mengaku bisa absen dari seks daripada akses internet. Beda dengan laki-laki. Dikatakan bahwa hanya 30 persen laki-laki bisa absen soal seks. Maka ndak heran jika perempuan doyan akses internet. Bahkan dalam laporan itu dikatakan perempuan (sekitar 61 persen) memilih tidak menonton tv selama dua pekan ketimbang sepekan tidak mengakses internet.


Hasil lain, dari semua responden yang disurvei ternyata 95 persen mengatakan bahwa “sangat penting, sesuatu yang penting” untuk bisa mengakses internet. Dan 65 persen mengatakan bahwa “anggaran” untuk internet “lebih penting” dibanding langganan tv kabel, makan malam di restoran, belanja pakaian atau menjadi klub kebugaran.


Hasil survey ini memang berlangsung di Washington. Mungkin kebiasaan ini tidak juga mewakili semua masyarakat di wilayah Washington apalagi Indonesia. Namun, melihat perkembangan internet di Indonesia yang meningkat dengan pesat, bisa jadi hal itu akan terjadi di Indonesia. Sayang belum ada penelitian mengenai hal ini. Namun, Elijati D. Rosadi SpKJ (K) mengatakan bahwa “hampir semua pasien (anak-anak) yang dibawa kepadanya sudah masuk dalam tahap kecanduan” (Kompas, 15 Desember 2008). Nah, hal ini setidaknya memberi gambaran betapa internet telah mewabah dengan begitu pesatnya, bahkan di kalangan anak-anak.


Hati-hati dengan Adiksi Internet!! Tentu saja tidak hanya berlaku bagi kalangan perempuan saja, yang dikatakan lebih suka “akses” internet, namun juga bagi siapa saja yang memang punya kesempatan untuk mengakses internet. Hati-hati dengan Adiksi Internet!! Apalagi jika itu mengganggu hubungan anda dengan keluarga anda (dan tentu saja menguras habis “fulus” anda)

Jumat, 01 Oktober 2010

Psikologi Agama: sebuah pendekatan studi agama-agama

Bagi William James [yang dikenal sebagai bapak psikologi agama], agama adalah ‘segala perasaan, tindakan, dan pengalaman individual manusia dalam kesendirian mereka, sepanjang mereka memahami bahwa diri mereka berada dalam hubungan dengan apa pun yang mereka anggap sebagai yang-Ilahi.’ Yang menarik dari apa yang disampaikan oleh James melalui bukunya ‘The Varieties of Religious Experience’ adalah bagaimana James menurut saya, menandingi apa yang selama ini diyakini oleh Freud [dengan psikoanalisisnya] dalam dunia psikologi, bahwa agama bertalian dengan gejala ‘neurosis’ saja. Freud mereduksi agama [baca: kelakuan beragama] kebanyakan orang dengan menganggapnya sebagai gejala kejiwaan yang ‘sinting’ dari manusia. Praktek keberagamaan manusia adalah ‘neurosis’ yang dilakukan bersama-sama. Pendekatan yang dilakukan oleh James memperlihatkan bahwa keberagamaan manusia atau kelakukan beragama manusia bertalian dengan dorongan alamiah dalam setiap individu manusia dalam kaitannya untuk memahami yang suci [divine].

Dalam kaitan inilah maka James menaruh perhatian pada pengalaman keagamaan. Ini adalah pendekatan baru dalam studi agama. Dengan kata lain, James melihat fenomena keagamaan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan individu manusia itu sendiri. Pengalaman keagamaan pribadi manusia lebih penting daripada berusaha mengerti keberagamaan manusia berdasarkan sisi kwantitasnya saja [kelompok-lembaga formal-statistik]. Pengalamanan akan yang trasenden inilah yang hadir secara nyata dalam keberagamaan manusia. Pengalaman keberagamaan manusia inilah yang kemudian oleh James dikembangkan dengan membagi pengalaman tersebut dalam dua kategori yaitu ‘the once born’ dan ‘the twice born’. Pengalaman yang terkesan ‘dramatis’ bagi hidup individu manusia menjadi semacam transformasi religius dalam kehidupan keberagamaan. Ada ha-hal yang menyebabkan manusia bisa sampai taat sekali beragama dan itu biasanya terjadi karena pengalaman bertemu dengan Tuhan. Menurut James ada juga orang-orang yang kelakukan keberagamaanya terjadi karena adanya kehidupan yang terganggu. Keberagamaan bukan karena kematangan beragama tetapi lebih kepada penderitaan batin seperti terjadinya musibah.

Tetapi lepas daripada itu, James menurut saya mencoba menunjukkan kepada kita bagaimana agama bisa dilihat dari sisi psikologi. James mengetengahkan terminologi agama tidak berangkat dari teologi, sejarah agama atau antropologi. Karena yang dapat ia rumuskan dengan pengertian agama hanya melalui pendekatan psikologis. Dalam pengertian lain, pendekatan psikologi akan memampukan kita untuk melihat emosi dan sikap keberagamaan manusia.

Dengan menggunakan pendekatan ini, kita lebih dapat memahami makna yang paling mendasar dari pengalaman transformasi religius sesuai dengan perspektif individu yang mengalaminya. Dan apa yang dilakukan oleh James saya kira sangat sesuai dengan konteks Indonesia dengan beragam kepercayaan dan keyakinannya [agama] yang jika dilihat dari pendekatan ‘ragam’ pengalaman pribadi sebenarnya unik. Maka, penghargaan terhadap keyakinan yang unik tersebutlah yang memampukan kita untuk menghargai keragaman dalam agama.

Rabu, 29 September 2010

Tidak hanya sekedar toleransi

Dalam kamus bahasa Indonesia, kata toleran (toleransi) diartikan sebagai sikap tolerir terhadap apa yang dikukan orang lain. Dari kata ini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kata toleran berkaitan dengan sikap kita yang “membiarkan” orang lain melakukan apa yang ingin ia lakukan. Kita membiarkan orang lain bersikap dan bertindak.



Kata toleran inilah yang sering kita dengar dalam berbagai media massa dan tv ketika sudah berbicara soal keyakinan (baca: agama) yang berbeda. Kata toleran menjadi tumbuh subur, mengingat potensi konflik dalam hubungannya dengan agama sangat santer untuk dibicarakan. Tidak sedikit dari kita untuk mengatakan “toleran” terhadap keyakinan orang lain.



Namun, dari kata inilah kita justru dibawa masuk dalam sebuah situasi yang “hanya” sekedar tolerir terhadap orang lain. Membiarkan orang lain melakukan kegiatan keagamaannya, melakukan ritual keagamaan. “membiarkan” inilah yang selalu kita pegang, demi menjaga kedamaian dan terhindarkan dari berbagai ancaman kekerasan dan keributan. Akhirnya, kita hanya melihat orang lain dari jauh, tak bersentuhan dengan mereka, karena membiarkan menjadikan kita tolerir terhadap tindakan orang lain.



Dalam tolerir tidak ada penghargaan, tidak ada pengenalan (saling kenal). Yang ada hanyalah sikap yang “membiarkan” orang lain melakukan sesuatu selama itu tidak bersinggungan dengan kepentingan dan kebebasan kita. Apakah sikap yang demikian yang diperlukan? Apakah toleran saja cukup untuk membangun masyarakat Indonesia yang majemuk?



Tidak, kita tidak hanya butuh “pembiaran” tetapi kita butuh pengenalan dan pemahaman. Hanya dengan mengenal dan memahamilah kita bisa menghargai. Toleran adalah pembiaran dan bukan penghargaan!

Jumat, 24 September 2010

What if Asian Women Stop Working?

If someone ask about ur wife
u may say
"oh she doesn't work"
but open wide ur eyes
I'm truly a slave
in the kitchen
in the factory
not a soul to help me
dirty pots
brooms
brushes
are all that stand around me
all the time

The day begins
amidst the wails of the young ones

"are my clothes washed?"
"mother, clean me"
"Please, mother, comb my hair"

"did u buy my book?"
"a pencil, i need a pencil"
"come on soon, u must take ur medicine"
"listen, is the meal ready?"
"it's very late...where's my lunch?"
"My shirt is crushed,
quick, just run the iron over it
gosh-aren't my shoes polished yet?
what a slow coach this woman is!"

At last they've all gone
i'm late too
looks like i've missed the train
crept onto a bus after waging a last fight,
stood on one foot
clinging like a bat to the pole
and who is this leaning against me
fun for them-agony for us
and if i don't make it to the market in the evening
we'll starve tomorrow

Here he comes, my man,
staggering home after work
and maybe next
he'll be punching me like a sack of grain

My body collapses
unable to bear all this
and yet I rise
again and again
to clean the house
and wash the clothes
no rest for me

And then
the night shift
and of course
overtime that must be done
some of my precious hours of rest
are swallowed up there

Truly
I am a machine
in the domestic factory
engaged in non-stop production

When will ur ever realize
that woman
belongs to that category of workers
who are truly essential for society to survive

[This poem was published by the woman's education and training Institute in Sri Langka on a leaflet distributed on the International Woman's Day in 1992]

Kamis, 23 September 2010

We Shall Overcome

We shall overcome, we shall overcome,
We shall overcome someday;
Oh, deep in my heart, I do believe,
We shall overcome someday.

The Lord will see us through, The Lord will see us through,
The Lord will see us through someday;
Oh, deep in my heart, I do believe,
We shall overcome someday.

We're on to victory, We're on to victory,
We're on to victory someday;
Oh, deep in my heart, I do believe,
We're on to victory someday.

We'll walk hand in hand, we'll walk hand in hand,
We'll walk hand in hand someday;
Oh, deep in my heart, I do believe,
We'll walk hand in hand someday.

We are not afraid, we are not afraid,
We are not afraid today;
Oh, deep in my heart, I do believe,
We are not afraid today.

The truth shall set us free , the truth shall set us free,
The truth shall set us free someday;
Oh, deep in my heart, I do believe,
The truth shall set us free someday.

We shall live in peace, we shall live in peace,
We shall live in peace someday;
Oh, deep in my heart, I do believe,
We shall live in peace someday.


Lagu ini membuat aku terharu. Lagu ini memang tercipta oleh Martin Luther King dalam usahanya melawan praktek diskriminasi di Amerika.
Andai saja kita sadar bahwa ke'damai'an itu jauh lebih penting dari pada menganggap yang lain musuh. Andai saja kita mau mengaggap yang lain sebagai saudara. Tetapi sebagaimana lagu ini bilang, suatu hari nanti kita akan hidup dalam damai. Karena dalam dunia yang begitu gelap, masih ada orang-orang yang berjuang untuk menciptakan damai

Sabtu, 18 September 2010

Proses hermeneutis

Kenyataan Alkitab penuh dengan teks-teks yang berbau kekerasan, perintah perang, keterlibatan YHWH dalam perang, masalah perbudakan, dominasi terhadap perempuan dsb. hal-hal ini menyebabkan di satu sisi ada yg menganggap bahwa kewibawaan Alkitab tidak ada. tetapi ada yang mengatakan bahwa itulah konteks masyarakat waktu itu. Alkitab justru dengan jujur meceritakan realitas yang ada.

Tetapi bagaimana kemudian kita memahami cerita-cerita ini dengan konteks sekarang. Bagaimana kita membaca teks. Apakah kita membiarkan teks berbicara ataukah kita yang memasukkan makna ke dalam teks. Inilah yang disebut proses hermeneutis. Proses hermeneutis menjadi penting dalam membaca teks-teks tersebut.

Maka teks-teks itu perlu di tempatkan dalam konteksnya. KIta harus mengerti dengan baik konteks tersebut apalagi cerita-cerita itu terjadi 2000 tahun yang lalu, jauh dari konteks kita sekarang.

Kamis, 16 September 2010

Menggali kembali gagasan pasifisme Kristen


Bagi saya sendiri, kekerasan adalah bencana, dan yang namanya bencana, ia butuh bantuan ‘segera’ dan ‘mendesak’ untuk diselesaikan. Mengapa? Karena kekerasan hanya akan mengakibatkan luka, tidak hanya pada pihak korban tetapi kepada ke’manusia’an itu sendiri. Kekerasan, dalam bentuk apapun adalah sikap merendahkan ke’manusia’an itu sendiri, yang justru oleh Tuhan, dibentuk ‘segambar’ dan ‘serupa’ dengan Dia. ketika kita melakukan kekerasan, bagi saya itulah ketika kita merusak gambar Allah yang ada dalam diri kita. Apalagi dalam masyarakat yang sangat majemuk dan heterogen, seperti Indonesia, kekerasan mudah sekali muncul, terutama karena ‘saat ini’ kekerasan sudah tidak lagi bertalian dengan apakah seseorang beragama apa tidak, toh semua orang [dari pengamatan saya] punya potensi untuk melakukannya. Apalagi jika sudah terkait dengan berbagai macam kepentingan entah itu ekonomi dan kekuasaan.

Saya melihat bahwa keKristenan yang kita dapati sekarang kenyataan telah dipengaruhi oleh persoalan politis dan kekuasaan. Di awal keKristenan, keKristenan jelas adalah pasifisme. Mereka menjunjung tinggi sikap Yesus yang tak melakukan perlawanan apapun bahkan ketika kesempatan itu datang. Yang dilakukannya justru melampaui apa yang normatif. Memang kita perlu melihat bagaimana konteks gereja perdana waktu itu yang berhadapan keyakinan-keyakinan mereka berhadapan dengan banyak hal semisal kekaisaran romawi, penganiayaan yang terjadi sampai keyakinan akan ‘eskatologis’. Terlepas dari penafsiran kita seperti apa, saya kira memang benar Yesus adalah seorang pasifisme sejati. Gerakan kepada ‘gerakan tidak melakukan perlawanan’. Tetapi gerakan pasifisme sendiri perlu didengar bahkan perlu diteriakkan besar-besaran di tengah-tengah masyarakat sekarang ini yang sudah menganggap biasa tindakan kekerasan.

Namun, ketika keKristenan bercampur dengan politik, terkhusus ketika keKristenan mendapat tempat yang sungguh amat agung sebagai agama negara, maka keKristenan tidak lepas dari dunia politis. KeKristenan sekarang ini menjadi agama politik karena kebijakannya sedikit banyak dipengaruhi oleh sikap negara dan pemegang kekuasaan [Kaisar], apalagi ketika itu berhubungan dengan dominasi kekaisaran Roma [Roman Emperor] sebagai sebuah kekaisaran yang sedang berhadapan dengan banyak musuh. Maka sejarah akhirnya mencatat bagaimana kemudian bentuk pasifisme itu berusaha di’modofikasi’ sedemikian rupa, yang akhirnya melahirkan bentuk penyesuaian pasifisme itu sendiri dengan kenyataan bangsa Roma yang sedang ber’perang’ dengan musuh. Karakter kekaisaran Roma inilah yang akhirnya menjadi sejarah keKristenan selanjutnya. Mentalitas menantang musuh, mentalitas ingin mendominasi akhirnya menjadi karakter keKristenan. Ruh pasifisme tertelan oleh semangat dominasi kekuasaan dan pihak tak mau kalah [lihatlah bagaimana perang salib justru dikobarkan dengan membawa panji keagamaan]

Logika berpikir kita mesti diubah sedemikian rupa. Menurut saya kita harus menerapkan logika berpikir Yesus. Logika berpikir kita sekarang ini adalah bahwa perang [dan tindakan sejajar seperti tindakan kekerasan dengan alasan militer] akan dapat menyelesaikan masalah. Maka yang terjadi, kita terbiasa menempuh jalan berpikir ini sebagai ‘langkah pertama’. Di benak kita sudah terbiasa berpikir seperti ini, apalagi di tengah beredarnya film-film bergenre perang, yang selalu mengisahkan perang dan pengerahan kekuatan militer dianggap sebagai sesuatu yang baik. Kita diarahkan berpikir seperti ini sampai sekarang. Kalau dulu legitimasi didapat dari gereja yang berselingkuh dengan negara, sekarang secara tidak sadar, legitimasi itu sebenarnya didapat lewat media yang membenarkan dan menganggap biasa dan [bahkan] memberhalakan perang dan kekerasan.

Maka menurut saya, logika yang kita pakai adalah logika berpikir Yesus. Yesus tidak pernah menerapkan kekerasan sebagai cara dia menghadapi lawannya. Padahal, ia hidup di tengah-tengah masyarakat Israel yang masih hidup di bawah penjajahan Roma. Tentu, bisa saja sikap nasionalistiknya muncul seperti kelompok zelot. Ia bisa saja memilih sikap seperti kebanyakan orang Indonesia yang geram dengan Malaysia dengan menyerang dan mengobarkan perang dengan negara yang katanya serumpun itu. Belum lagi Yesus yang seorang Yahudi, tentu Ia sangat paham dengan kitab perjanjian lama yang berisikan kisah-kisah kepahlawanan dan perang. Tetapi mengapa ia tidak memilih itu? Apakah Yesus bukan seorang Yahudi tulen ataukah Ia tidak senasionalistik kelompok zelot. Bagi Yesus, ada cara lain yang bisa dilakukan untuk menunjukkan bahwa lawan-lawannya bisa dikalahkan bukan dengan cara melegalkan kekerasan tetapi justru menunjukkan kepada siapapun, entah kepada penjajahan Roma entah dengan mush-mush yang sebangsa dengan dia, bahwa kekerasan hanya bisa dilawan dengan menghayati hidup sebagai seorang yang tidak setuju dengan kekerasan itu sendiri. Jadi logika berpikir Yesus adalah logika yang tidak ‘terlebih dulu’ memilih jalan kekerasan sebagai jalan untuk menyelesaikan masalahnya. Itu dibuktikan Yesus dengan tanpa melakukan perlawanan ketika ia ditangkap sampai kepada ia disalibkan. Gerakan nir kekerasan inilah yang dihayati oleh orang kristen perdana.

Logika berpikir perang dan kekerasan juga terbukti tidak pernah menyelesaikan masalah. Perang dan kekerasan akan selalu melahirkan masalah-masalah yang baru. Kita bisa melihat ini dengan kasat mata dengan apa yang terjadi dengan keinginan oleh USA dibawah kepemimpinan Bush untuk menciptakan perdamaian dengan Irak dan Afganistan. Kampanye against terror telah melahirkan sebuah paradigma berpikir bahwa teror bisa dikalahkan dengan mengobarkan perang dan memakai tindakan kekerasan. Tetapi apakah berhasil? Kita bisa melihat Irak sekarang yang bertambah parah dan agfanistan yang tak pernah sepi dengan bom. Justru hal sebaliknya terjadi dengan Gandi yang menerapkan sikap pasifisme dalam melawan penjajahan Inggris dan berhasil.

Apalagi saya melihat bahwa ada kesempatan yang besar bagi komunitas Kristen yang sekarang ini tidak terlibat langsung dan berhubungan dengan negara sebagaimana terjadi di zaman Konstantin. Artinya, komunitas Kristen bisa dengan lebih greget untuk memperjuangkan masyarakat yang nir kekerasan dimulai dari gereja sendiri. Dengan tak berhubungan dengan negara secara langsung dan kesempatan untuk berselingkuh dengannya sedikit, maka gerakan nir kekerasan harus dapat mengimbangi gerakan yang mengutamakan kekerasan sebagai jalan menyelesaikan masalahnya. Seperti Yesus yang mengubah paradigma di zamannya, selalu ada jalan lain yang bisa di tempuh di luar jalan angkat senjata. Seperti membangun diplomasi. Atau kita bisa belajar dari seorang KH. Ahmad Dahlan yang melawan kolonialisme dengan pendidikan, bukan dengan kekerasan.

Maka yang mau saya katakan adalah, sebagai sebuah komunitas yang [katanya] melanjutkan ke’teladan’an Yesus, harus dapat mengimbangi masyarakat yang menganggap bahwa perang, dan kekerasan sebagai yang baik untuk ditempuh. Selalu ada jalan yang bisa ditempuh di luar perang dan kekerasan. Dan itu hanya bisa terjadi jika kita bisa menghayati keteladanan Yesus dan belajar dari gerakan keKristenan perdana yang pasifis.

sumber gambar: pixabay.com

Kamis, 09 September 2010

Keinginan Tuhan saja tak terwujud, apalagi kita manusia

Ada yang menarik ketika kita membaca kitab Perjanjian Pertama khususnya ketika kita membaca kisah penciptaan. Kisah penciptaan yang mengisahkan tentang ‘refleksi’ tentang asal-muasalnya dunia ini beserta isinya, menunjukkan bahwa Tuhanlah yang meng’ada’kan semuanya ini, termasuk kita manusia. Refleksi yang mengantarkan manusia kepada pengakuan kemahakuasaan Tuhan inilah yang menarik untuk diperhatikan.

Disana kita membaca bahwa Tuhan menciptakan dunia ini dalam 6 hari dan pada hari ke 7 ia beristrahat. Yang menarik untuk diperhatikan adalah bertalian dengan penciptaan manusia yang disebutkan ‘segambar dan serupa’ dengan Tuhan. Segambar dan serupa dengan Tuhan ini banyak ditujukan kepada manusia sebagai ciptaan yang sempurna dan lebih baik dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Bahkan dikemudian hari banyak orang menyalahartikan ke’segambaran dan keserupaan’ ini sebagai bentuk ‘kekuasaan’ dan kesewenang-wenangan manusia terhadap ciptaan lain.

Bahkan kalau kita melihat teks selanjutnya, kita diantarkan pada pengesahan kuasa, kesewenang-wenangan kalau tidak disebut ‘dominasi’. Mulai dari hak memberi nama sampai kepada perkataan ‘....kuasailah dan taklukanlah itu’. Kata-kata ini, oleh banyak yang peduli kepada ekologis melihat bahwa teks ini telah disalahgunakan oleh mereka yang berusaha untuk menaklukan bumi sehingga rusak sampai sekarang. Keistimewaan lainnya dari manusia yang segambar dan serupa dengan Allah ini juga adalah mereka bisa masuk ke dalam taman firdaus, meskipun dengan catatan bahwa mereka tidak boleh ‘memakan buah pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat’.

Namun apa yang terjadi kemudian? Manusia justru melanggarnya. Larangan untuk tidak memakan buah pengetahuan itu telah mengantarkan manusia kepada perlawanan dan penentangan akan perintah Tuhan yang justru telah menciptakan mereka. Apa yang diharapkan oleh Tuhan pada diri manusia yang diciptakan lebih baik dari yang lain itu justru sekarang berbalik melakukan perlawanan kepada perintah Allah. Apa yang dilakukan oleh sang empunya taman? Ia lalu mengusir manusia dan menghukum mereka. Mirip semacam kutukan, yang akan menyertai manusia di segala abad dan tempat. Manusia yang tadinya isitmewa di hadapan Allah, skarang justru terusir oleh yang menciptakannya sendiri.

Apa yang terjadi dengan proses penciptaan tersebut? Apakah Allah salah telah menciptakan manusia? Apakah Allah salah menempatkan manusia sebagai ciptaan yang istimewa dan sempurna sehingga keistimewaan itu membawa manusia pada sikap tak hormat kepada sang pencipta? Saya tak tahu. Hanya Allah sendiri yang tahu apa yang terjadi dengan ciptaannnya itu.

Namun yang menarik untuk diperhatikan adalah bahwa keinginan dan harapan Allahpun juga ‘bisa’ tak tercapai. Ia mengharapkan sesuatu yang baik dengan ciptaannya tetapi apa yang terjadi, ciptaannya sendiri sekarang berubah menjadi yang menghancurkan. Ciptaan yang pada awalnya Ia lihat sebagai ciptaan yang ‘sungguh amat baik’ ternyata tidak. Bahkan kalau kita melangkah pada teks-teks setelahnya kita melihat bagaimana manusia justru dengan teganya melakukan pembunuhan kepada manusia lain. Setidaknya hal ini melukiskan bahwa keinginan Allah tak terwujud. Ia berharap yang baik tetapi nyatanya tidak. Ia berharap bahwa Ia akan melihat ciptaannya manusia akan patuh dengan perkataannya, tetapi nyatanya tidak. Keinginan Allahpun kadang tak terkabulkan.

Keinginan kita kadangkala membuat kita stress, marah, dan bahkan jatuh pada penyalahan Tuhan dan kadang penyalahan setan. Kita tidak bisa menerima kalau keinginan kita tak terwujud. Apalagi kalau kita sudah pasang target, kita bisa lebih marah dan stess. Andaikan kita tahu bahwa Allah sendiri, dalam hubungannya dengan manusia kadang kala tidak terwujud oleh kebebalan manusia, maka kita seharusnya bersikap rendah hati terhadap apapun yang kita terima. Karena dalam hidup ini, keinginan yang baik kadangkala dalam realitasnnya justru tak terlihat bahkan mungkin jauh lebih menyakitkan.

Senin, 06 September 2010

Hidup tak Mudah

Aq tdk pnh memimpikan perjalanan tnp pertikaian, amarah,masalah tp aq meminta
HATI YG LUAS UNTUK MENAMPUNG SEGALA HAL,
HATI YG JERNIH UNTK MEMANDANG SGL HAL SHG MENGALIRLAH CINTA YG MEMBUAT KITA BAHAGIA,
SLG MENGHORMATI DAN PERCAYA
BHKAN KETIKA HDP TERASA TAK MASUK AKAL... [dee, 6 september 2010]