Jumat, 15 Juli 2011

Kitab Wahyu dan Paulus dan gejala Shizofrenik

Benarkah penulis kitab Wahyu mengidap stres berat yang disebut dengan Skizofrenik? Gangguan akibat tidak tahan terhadap stres dapat mengakibatkan terjadinya ‘halusinasi’ yakni sebuah persepsi panca indera tanpa adanya ransangan eksternal. Maksudnya ada perasaan dalam diri seseorang merasa melihat objek tertentu padahal jelas-jelas objek tersebut tidak ada (film Beautiful Mind adalah salah satu film yang bercerita tentang penyakit Skizofrenik). Halusinasi yang disebabkan oleh stres yang luar biasa ini akhirnya melahirkan orang-orang dengan cerita yang tak pernah terjadi.

Dalam tulisannya mengenai kitab Wahyu, Johan S. Vos mencoba menyelusuri mengapa dalam PB khususnya kitab Wahyu dan surat-surat Paulus, pemisahan dan kekerasan bisa sangat menyolok. Pemisahan terjadi atas 2 kelompok yang berbeda, yaitu mereka yang percaya kepada Yesus dan mereka yang tidak percaya [believers dan unbelievers]. Dalam pembahasannya mengenai Kitab wahyu, ditunjukan sebuah dikotomis mutlak, dimana dalam peristiwa eskatologis, manusia dipisahkan dalam dua kelompok. Dia mengatakan bahwa “on the positive side, there are the saints, the righteous, the holy ones, the servants of God”. Mereka adalah yang tetap menjaga perintah Tuhan dan berpegang teguh pada iman kepada Yesus. Gambaran ini dilanjutkan dengan mengatakan “they are pure and blameless, as symbolized by the white garments in which they are clothed. They are virgins because “they have not defiled themselves with women”. Bahkan mereka ini disebut tercatat dalam “buku kehidupan”. Pada sisi negatif sebaliknya. Disebutkan “not give up worshiping demons and idols, the evildoers ‘who did not repent of the works of their hands’, the dogs, the polluted, the sorcerers, the fornicators and the murderers, those who love and practice falsehood, those who have committed fornication with the great whore, Babylon.” Mereka yang digolongkan dalam bagian ini justru tidak ditemukan namanya dalam ‘buku kehidupan’. Yang paling mengenaskan adalah bahwa kepada kelompok terakhir ini, akan mengalami murka Allah dan murkanya dalam bentuk yang mengenaskan. Disebutkan di sana ‘violent way’. Gambaran-gambaran yang dialami sungguh tak tertahankan.

Disana disebutkan mereka akan disiksa, dengan sengatan matahari, hujan es besar yang dijatuhkan dari langit, mereka akan di sengat oleh belalang yang mempunyai sengatan kalejengking, dilemparkan ke dalam lautan api. Mereka akan dibunuh oleh setiap wabah, gempa, kelaparan, wabah penyakit dan luka busuk yang menyakitkan, dan daging mereka akan dimakan oleh burung-burung. Yang paling mengerikan adalah penulis Wahyu Yohanes justru mengajak [menghasut] orang beriman untuk bersukacita pada kehancuran Babel [wahyu 18:20]. Jadi, penulis mencoba mendapatkan penjelasan bagaimana mungkin Allah digambarkan bisa berperilaku sekejam itu dan bahkan orang beriman diajak bersukacita akan penderitaan orang lain? Dalam hal ini penulis kemudian memakai pendekatan psikoanalisis untuk melihat lebih dalam relasi fenomena pemisahan dan kekerasan tersebut.

Beberapa ahli secara luas menyepakati bahwa hal ini bertalian dengan balas dendam terhadap kerajaan Romawi khususnya ketika Domitianus menjadi kaisar. Asumsinya bahwa Domitianus telah menganggap dirinya sebagai seorang tuhan yang hidup, bahwa ia menuntut bahwa kurban ditawarkan kepadanya, dan bahwa ia meluncurkan penganiayaan terhadap orang Kristen yang menolak untuk melakukannya. Tetapi oleh penulis dikatakan bahwa penelitian terbaru justru menunjukkan hal sebaliknya. Mereka justru mengalami kehidupan yang tenang di dalam kekaisaran Romawi. Jadi apa yang tercantum dalam kitab Wahyu Yohanes hanyalah konstruksi pemikiran yang bersifat independent dari penulis kitab. Maka dari itu, yang diperlu dijelaskan adalah visi apokaliptik dari penulis kitab Wahyu Yohanes. Dan dalam hal ini, pendekatan psikoanalis bermain.

Eugen Drewermann
Seorang teolog Jerman yang sangat dipengaruhi oleh Carl Jung. Dia mengatakan bahwa kitab Wahyu Yohanes tidaklah lebih dari kesalahan sejarah. Ramalan dari penulis kitab adalah kekaisaran Romawi akan jatuh dan kerajaan mesianis akan datang dalam waktu dekat. Tetapi yang terjadi pada abad berikutnya justru gereja ‘menikah’ dengan pelacur Babel yaitu kekaisaran Roma, dan bertahan sekitar 1500 tahun lamanya. Drewermann mengatakan bahwa itu hanyalah sebuah proyeksi dari jiwa penulis ke dalam sejarah dunia. Lebih tepatnya, konflik itu sebenarnya terjadi dalam jiwa manusia sendiri. Pembalasan kejam dari Allah misalnya merupakan superego, setan dan binatang adalah representasi dari energi ‘id’. Ada sebuah ‘pelayaran’ dalam diri penulis kitab dalam penemuan diri dan penyembuhan. Jadi apa yang tercantum dalam Wahyu 8:2-22-5 adalah sebuah proses individuasi, sebuah cara di mana manusia kembali dari kecemasan dan keterasingan pada dirinya sendiri dan asal-usul dirinya. Menurut Drewermann, literatur apokaliptik mempunyai banyak karakteristik yang sama dengan pengalaman schizophrenic. Keduanya didominasi oleh dualisme absolut diantara dua dunia yang saling bertentangan. Dan ini juga terjadi pada penulis kitab Wahyu Yohanes, perjuangan di antara aspek jiwa yang bertentangan, diantara ketidaksadaran dan kesadaran, insting dan jiwa, id dan superego, sensualitas dan moralitas. Berhubung dengan kekerasan yang ada, Drewermann mengatakan bahwa setiap penyiksaan tersebut adalah sebagai langkah di dalam proses individuasi dan integrasi.

Edward F. Edinger
Tidak jauh berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Drewermann, namun ia lebih melihat apokaliptik sebagai ‘the momentous event of the coming of the self into conscious realization’. Entah itu terjadi pada individu maupun kolektif. Isi pola dasar dari Apokalipse menghadirkan ‘penghancuran dunia sebagaimana telah terjadi, diikuti oleh pemulihan’. Pada pandangan Edinger, kitab Wahyu adalah sebuah dokumen separatio. Isi dari buku tersebut terutama melibatkan sebuah penentuan, pemisahan radikal antara surga dan bumi, semuanya mengenai hal atas dan bawah, antara materi dan roh atau alam. Buku berisi keseluruhan seri dari gambaran separatio yang sangat keras. Separatio ini dapat dimengerti sebagai sebuah keperluan psikologis dalam proses yang diperlukan pada tahapan tentang perkembangan psikis kolektif. Kekerasan adalah bagian penting dari jalan menuju persatuan yang bertentangan. Pada jalan yang sama sbagaimana Drewermann, Edinger menginterpretasikan wabah sebagai tahapan di dalam perkembangan proses jiwa [psikis].

Hartmut Raguse
Raguse mengatakan bahwa ternyata dalam kitab Wahyu kita menemukan banyak unsur posisi paranoid-skizofrenia dan narsisisme sebagaimana yang dipahami oleh Bela Grunberger. Kitab Wahyu dicirikan oleh dikotomi absolut di mana hanya ada “either-or”. Pembaca diajak untuk memilih salah satu dari ‘yang baik’ atau yang buruk dan bukan dengan suam-suam kuku [Wahyu 3:16]. Yang memilih yang baik akan menjadi milik ‘komunitas Allah’. Ditinjau dari sudut pandang psikoanalisis yang namanya kemurnian dan keseragaman dimungkinkan hanya karena setiap elemen penentangan diproyeksikan ke dalam musuh. Elemen penentangan berupa seksualitas dan merupakan sebuah bentuk penyimpangan dalam kitab Wahyu diproyeksikan sebagai ‘pelacur Babel’. Proyeksi ini juga berlaku untuk semua elemen penentangan yang akan mengancam kemurnian orang-orang kudus. Elemen yang menyimpang inilah yang diproyeksikan ke dunia luar dan dihadirkan sebagai ‘feces’. Pemisahan radikal ini memungkinkan narator/penulis untuk menghancurkan dengan kekerasan segala jenis yang menentang terwujudnya Yerusalem baru. Raguse mengatakan ‘The radical splitting up of the world allows the narrator to indulge in sadistic fantasies to an extreme degree without feelings of guilt’. Menurut Raguse penulis Kitab Wahyu menghasut para pembaca ke sisi makhluk surgawi yang menyebabkan kekejaman di bumi dan untuk bersukacita pada kehancuran kekerasan orang-orang yang tidak percaya.

Unsur kekerasan dan kekejaman dalam Kitab Wahyu memakai teori ‘narsisisme’. Narsis yang dimaksud dalam hal ini adalah perasaan akan sebuah dunia yang ideal yang bisa dicapai dengan konfrontasi langsung dengan realitas yang menentang hal ini. Menurut teori ini, kita selalu mempunyai keinginan kembali kepada pengalaman untuk masuk dalam surga. Karena dunia ini sebagaimana digambarkan dalam Kitab Wahyu ada yang baik dan yang buruk, maka menghancurkan yang buruk akan mengembalikan dunia narsistik yang ideal terwujud. Dia mengutip misalnya kata-kata Yesus dalam Yohanes 16:33: ’…Aku telah mengalahkan dunia’. Menurutnya dalam setiap agama yang mengajarkan kasih dan perdamaian, kita menemukan orang-orang yang militan dan fanatisme agama.

Yang juga penting dalam Raguse adalah ‘sejarah penerimaan kitab Wahyu’. Dia mengatakan bahwa dalam periode kemudian, pembaca dari Kitab Wahyu ini memiliki kekuasaan dan dengan ide-ide yang tersedia, mereka menargetkan kekerasan terhadap kelompok tertentu. Visi pemerintahan 1000 tahun menjadi program politik dan teks sangat merusak. Bahkan menurut Reguse, hal itu bahkan bisa dilihat sampai sejarah Jerman dari tahun 1933-1945. Baginya, inilah efek terburuk dari Kitab Wahyu yang telah ‘memfasilitasi’ orang untuk melakukan kekerasan terburuk, khususnya dalam sejarah peradaban barat.

P.E. Jongsma-Tieleman
Jongsma-Tieleman mengatakan bahwa apa yang kita temukan dalam kitab Wahyu Yohanes adalah simbol-simbol baik dan jahat yang digunakan dan tidak harus memimpin pembaca teks ke pemisahan dari kenyataan. Seluruh perjuangan antara yang baik dan yang jahat digambarkan dengan bantuan simbol. Hal ini tidak langsung jelas siapa atau apa yang dimaksud dengan simbol kejahatan, seperti naga raksasa dan pelacur besar. Mungkin yang dimaksud oleh orang Kristen perdana adalah kekaisaran Romawi, tetapi kemudian pembaca memiliki pandangan berbeda. Jongsma-Tieleman adalah seorang terapis sehingga ia mengatakan bahwa agresi kekerasan yang ada dalam Kitab Wahyu sama seperti ketika ia melakukan terapis pada pasiennya,yaitu dengan meneriakkan atau memukul barang-barang tertentu. Tujuannya adalah memberi rasa lega pada pasien. Hal ini dilakukan agar pasien memiliki ruang untuk memulihkan citra ideal dan tetap dalam harapan. Baginya, kekerasan adalah sebuah ekspresi simbolis dari agresi orang yang ditekan/tertekan. Pembaca dari kitab Wahyu, menurut pendapat Jongsma-Tieleman, adalah diundang untuk percaya kepada Tuhan dan dengan sabar bertahan penindasan. Adegan-adegan kekerasan dalam buku ini dapat memiliki fungsi wadah dari agresi orang beriman yang sedang dalam ketertindasan, sehingga menawarkan ‘transisi’ dari posisi paranoid-skizofrenia ke posisi depresi. Suatu sikap penerimaan realitas, dari menunggu sambil memegang harapan dan kepercayaan. Disinilah ia berbeda dengan Raguse. Jadi dalam hal ini pemisahan dan kekerasan bukan bertujuan sebagai tindakan destruktif tetapi sebagai ‘healing function of the visions of judgment and wrath that predominate’.

Dalam hal ini, Vos justru tidak sependapat dengan Jongsma-Tieleman dalam beberapa hal
1. Bagi Jongsma-Tieleman, pemisahan baik dan jahat dalam Kitab Wahyu terjadi pada tingkat simbolis, dan simbol-simbol baik dan jahat yang digunakan dalam buku ini tidak selalu memimpin pembaca teks ke realitas pemisahan . Menurut Vos, bagaimanapun, Kitab Wahyu jelas mengidentifikasi unsur-unsur realitas dengan baik atau jahat. Dunia nyata dibagi menjadi mereka yang percaya dalam Yesus Kristus di jalan pendukung penulis dan mereka yang tidak. Misalnya dia menyinggung simbol seperti Pelacur Babel dan Vos mengatakan bahwa penulis Kitab Wahyu memberi petunjuk begitu banyak kepada pembaca kontemporer bahwa akan sulit bagi mereka untuk tidak memikirkan kota Roma.
2. Jongsma-Tieleman menyarankan bahwa ada ruang untuk bergerak dari posisi paranoid-skizofrenia ke posisi depresi. Namun Vos tidak menemukannya dalam Kitab Wahyu. Menurut Vos, tidak ada ruang bagi pembaca kitab Wahyu untuk mentolerir ambiguitas
3. Menurut Tieleman Jongsma, adegan kekerasan adalah ekspresi simbolis dari agresi suatu bangsa ditekan dan tertekan. Sedangkan bagi Vos, hubungan gereja dan dunia merupakan rekonstruksi penulis, dan oleh karena itu lebih independen dari realitas sosial-politik zamannya.
4. Bagi Vos, dalam pengalamannya, ia menemukan bahwa yang namanya peperangan rohani ditimbulkan oleh gambaran dari kitab Wahyu yang justru memiliki pengaruh yang buruk. Maka baginya, kitab ini justru sangat mencemaskan.

Surat-surat Rasul Paulus
Dalam surat-surat Paulus kita menemukan unsur-unsur yang mengingatkan kita pada posisi-skizofrenia paranoid serta elemen yang merupakan ciri khas dari posisi depresi seperti yang dijelaskan oleh Melanie Klein. Dalam tulisan-tulisannya tentang ‘dunia’ dipisahkan menjadi yang baik dan yang buruk, menjadi orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus dan mereka yang tidak, mereka yang harus diselamatkan dan mereka yang akan binasa, objek belas kasih Tuhan dan objeknya murka, orang-orang kudus dan orang-orang yang penuh dosa. Rasul sendiri, sebagai utusan Injil, punya fungsi sebagai kekuatan yang memisahkan: “Sebab bagi Allah kami adalah bau yang harum dari Kristus di tengah-tengah mereka yang diselamatkan dan di antara mereka yang binasa. Bagi yang terakhir, kami adalah bau kematian yang mematikan dan bagi yang pertama bau kehidupan yang menghidupkan.” Ada sebuah ambivalensi dalam diri Paulus untuk menggambarkan mereka yang tidak percaya termasuk di dalamnya yahudi dan mereka yang percaya. Ambivalensi ini jelas-dinyatakan dalam kata-kata: “Mengenai Injil mereka adalah seteru Allah oleh karena kamu, tetapi mengenai pilihan mereka adalah kekasih Allah oleh karena nenek moyang” [Roma 11:28]. Ini sedikit berbeda dengan pemisahan radikal dalam kitab Wahyu. Dalam hal ini, Paulus justru menyatakan kekerabatannya dengan mereka yang dianggap seteru Allah.

Menurut teori Melanie Klein, pertemuan kebencian dan kasih terhadap objek yang menimbulkan kesedihan yang sangat pedih dia sebut ‘depresi kecemasan’. Karakteristik posisi depresif adalah kebutuhan untuk reparasi atau perbaikan yaitu sebuah upaya yang dilakukan untuk memaksimalkan aspek mencintai hubungan ambivalen dengan seluruh objek rusak. Bagian dari Roma 9-11 dapat dilihat sebagai upaya tersebut. Seperti penulis Kitab Wahyu, Paulus mengharapkan “hari murka” dalam penghakiman Allah yang benar akan terungkap dan mereka yang tidak taat kepada kebenaran akan dihukum sementara mereka yang percaya dalam Kristus akan diselamatkan [Roma 2:5; I Tesalonika 1:10]. Namun, Paulus tidak pernah menggambarkan hukuman orang-orang asing dalam bagian tentang peristiwa eskatologis. Dalam 1 Korintus 15 di mana ia menggambarkan peristiwa eskatologis dari kebangkitan Kristus sampai akhir dunia, ia hanya menyebutkan kedatangan Kristus, kebangkitan orang percaya, dan pembentukan Kerajaan Allah. Pembaca bahkan memberi kesan bahwa rasul mengharapkan keselamatan untuk semua orang: “. Karena sama seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam, sehingga semua akan dibuat hidup dalam Kristus”. Bahkan jika “semua” hanya merujuk pada orang-orang percaya, titik kontroversial kalangan sarjana Perjanjian Baru, itu harus dicatat bahwa Paulus sama sekali tidak tertarik pada nasib orang-orang asing. Yang pasti, musuh-musuh Allah akan dihancurkan, tetapi musuh ini bukan manusia, tetapi kekuatan dipersonifikasikan dosa dan kematian. Paulus bahkan lebih spesifik dalam Roma 11: Segera setelah “jumlah penuh dari bangsa-bangsa lain” telah datang, “seluruh Israel” akan diselamatkan. Sedangkan kata “seluruh Israel” yang jelas, “jumlah penuh” dari bangsa-bangsa lain tidak selalu berarti “semua bangsa-bangsa lain.”

Tentu saja, fakta bahwa Paulus tidak mempertahankan seperti sikap radikal sebagai nabi Yohanes dalam sikapnya terhadap dunia yang tidak percaya, dan khususnya terhadap orang Yahudi, tidak berarti bahwa sejarah penerimaan rasul Paulus menghasilkan efek yang sama sekali berbeda dari Kitab Wahyu dalam hal ini. Dari abad ke-empat sampai dengan Third Reich di Jerman, kata-kata Paulus digunakan untuk melegitimasi penindasan orang Yahudi. Pada saat yang sama, namun dapat dibuktikan bahwa penilaian positif Paulus tentang orang-orang Yahudi sering berfungsi sebagai penangkal terhadap anti-Semitisme. Dalam Third Reich, misalnya, kata-katanya difungsikan sebagai rebutan bagi banyak anti-Semit, dan di antara teolog perjuangan melawan anti-Semitisme dilakukan dalam nama Rasul Paulus. Pada akhirnya, keputusan untuk efek positif atau negatif dari teks terletak dengan pembaca.

Tanggapan
Menarik melihat pendekatan psikoanalisis terhadap teks Wahyu Yohanes dengan surat-surat Paulus. Bukan saja membantu kita untuk memahami pola pikir dari para penulis kedua kitab tersebut beserta gagasan-gagasannya tetapi juga menjadi pertimbangan bagi kita untuk dengan jeli dan kritis melihat teks-teks [PB] yang berbicara tentang kekerasan. Oleh karena tidak sedikit orang yang menjadikan teks-teks PB [dan juga PL] dalam melegitimasi tindakan mereka untuk menghancurkan dan melukai orang lain.

Wahyu adalah sebuah Kitab yang bercorak apokaliptis, di dalamnya terdapat uraian-uraian tentang eskhaton, akhir zaman. Oleh karena itu Kitab ini disebut dengan Apocalypse. Kitab Wahyu merupakan kitab yang sulit untuk dipahami, karena banyak menggunakan bahasa apokaliptis yang penuh simbol dan gambaran yang asing bagi pembaca masa kini. Dengan pendekatan psikoanalisis, meskipun bukan satu-satunya pendekatan yang membantu kita mengenal dengan baik teks-teks Kitab Suci, tetapi setidaknya, pendekatan ini membantu kita memutuskan bagaimana kita harus memahami kitab suci khususnya dalam konteks kita sekarang ini. Dalam hal ini kita diajak untuk memahami pola pikir penulisnya sendiri.

Pemisahan yang disebutkan oleh penulis dalam hal ini, antara mereka yang percaya dan tidak percaya adalah sebuah gambaran dari sebuah gagasan apokaliptik. Karena dalam gagasan apokaliptik, orang akan berharap akan adanya dunia yang akan datang. Pengharapan itulah yang disebut sebagai eskatologis, yaitu sebuah zaman di mana Allah akan mendatangkan sebuah dunia yang adil buat mereka.Oleh karena itu, kitab wahyu menaruh perhatian yang sangat besar terhadap akhir zaman, penghukuman Allah dan keselamatan yang kekal.

Pemaparan dari Johan Vos menurut saya membantu kita memahami mengapa sampai gagasan yang berisikan tentang kekerasan bisa sampai menjadi bagian dari kitab Wahyu. Tanggapan saya juga mempertegas ‘asumsi awal saya’ tentang betapa rumitnya kitab Wahyu untuk dipahami. Dari pembahasannya, kita menemukan bahwa ada ketidaksingkronan apa yang dibayangkan dengan kenyataan. Mungkin dalam hal ini benarlah indikasi dari beberapa ahli yang mengatakan bahwa apokaliptik tidak terkait dengan sesuatu yang objektif tetapi fiksi.

Salah satu dari sekian banyak ciri sastra apokaliptik adalah ‘dualisme’. Maka wajar saja jika penulis kitab wahyu dan juga surat-surat Paulus membedakan dua dunia yang berbeda. Dalam sastra apokaliptik, masa kini merupakan masa yang penuh dosa dan kejahatan, namun sifatnya sementara dan akan binasa . Sebaliknya, masa yang akan datang adalah saat dimana Allah akan membangun kerajaan-Nya (saat umat Allah akan diselamatkan dari dosa dan semua pengaruh kejahatan) yang kekal dan tidak akan binasa. Transisi dari masa kini ke masa yang akan datang tidak akan dicapai dengan proses sejarah, melainkan hanya dengan tindakan Allah. Begitu juga penggunaan simbol-simbol, merupakan ciri khas dari sastra apokaliptik. Dan dalam hal ini, Vos mencoba menunjukkan bagaimana sampai gambaran kekerasan bisa sampai menjadi pertimbangan oleh penulis Kitab Wahyu.

Dengan pemaparan pendekatan psikoanalisis, kita menemukan bahwa gambaran-gambaran kekerasan bisa membawa efek yang sangat luar biasa, jika tidak memahaminya dengan baik. Memang kelemahan dari tulisan ini adalah mereduksi teks hanya dari satu sisi pendekatan saja. Tetapi, jika sastra apokaliptik bukan merupakan penglihatan nyata, maka kita bisa menduga bahwa ada kemungkinan bahwa ini memang rekonstruksi penulis yang oleh Vos disebut relatif lebih independen. Maka dengan demikian, tidak harus secara harafiah, gambaran-gambaran dalam kitab Wahyu misalnya diterjemahkan langsung dalam konteks kita sekarang. Kita harus memahami mengapa sampai gambaran-gambaran bernada kekerasan itu muncul, seraya melakukan rekonstruksi ulang terhadap gambaran-gambaran tersebut, sesuai dengan konteks keberadaan kita sekarang ini.

Acuan: Johan S.Vos, ‘Splitting and Violence in the New Testament: Psychoanalytic Approaches to the Revelation of John and the Letters of Paul, dalam J. Harold Ellens (ed.),The Destructive Power of Religion. Violence in Judaism, Christianity, and Islam (Westport, CT:Praeger Publisher, 2004)



Vulpes pilum mutat, non mores

Kalimat dalam bahasa latin tersebut berarti Seekor serigala (dapat) mengubah kulitnya, bukan kebiasaan (wataknya). Mirip dengan kalimat ’serigala berbulu domba’. Meskipun agak susah kita membayangkan bagaimana mungkin seorang serigala berbajukan domba. Kalimat lain yang terkait dengan serigala adalah ‘homo homini lupus’ yang artinya manusia adalah serigala bagi manusia lain. dalam dua kalimat tersebut agaknya serigala digambarkan sebagai hewan yang tamak dan rakus, karena punya sifat licik (berbulu domba) dan memakan sesamanya.

Serigala sering dipakai sebagai gambaran bagi mereka yang terlihat baik di luar tetapi sebenarnya mereka adalah maling. Beberapa bulan belakangan ini maling-maling yang terkesan seperti tak berdosa dan baik-baik saja itu pelan-pelan mulai terlihat jelas. Mereka tak lain adalah orang-orang yang juga sering sedekahan sama orang dan rajin beribadah. Mereka tampil necis dan terkesan seperti orang baik dan teratur namun di balik penampilan mereka tersembunyi sifat buas. Mereka merancang strategi bagaimana mencuri uang rakyat demi menumpuk kekayaan sebesar-besarnya. Malah menurut saya ini melebihi serigala karena serigala sendiri tak pernah menumpuk makanan.

Serigala berbaju safari juga nokrong di tempat-tempat yang kesannya ‘peduli dengan rakyat’. Namanya gedung rakyat. Mereka (terlihat) berjuang demi rakyat, rapat demi rakyat, dan saling cela (katanya) demi memperjuangkan aspirasi rakyat. Mereka juga melempar senyuman tanda bahwa mereka dekat dengan rakyat. Mereka bahkan pernah memperjuangkan dana untuk ‘rumah aspirasi rakyat’ meski ditolak karena (katanya) uang tersebut akan dipakai untuk mempertebal dompet segelintir orang dan partai.

Namun, kelemahan serigala adalah ketidakmampuan mereka menyembunyikan taring dan cakarnya. serigaLa tetaplah serigala. Meskipun berbaju safari, di dalamnya ia adalah binatang buas yang akan memangsa rakyat. Bukankah itu yang terjadi? Karni Ilias, seorang pemimpin redaksi TVONE dan Presiden dari Jakarta Lawyers Club pernah menyampaikan sebuah kutipan dari seorang filsuf yang berbunyi ‘kemiskinan disebabkan oleh kejahatan yang tak pernah anda lakukan’. Agaknya sang filsuf benar karena apa yang terjadi dengan kemiskinan di kebanyakan masyarakat Asia khususnya di Indonesia justru lebih disebabkan oleh karena para pemimpinnya gemar ‘menumpuk’ harta. Para ‘bandit berdasi’ ini sebenarnya berjuang demi popularitas dan diri mereka sendiri. Pernah seorang tokoh berujar agar diberi ‘amnesti massal’ kepada para koruptor tetapi syaratnya mereka mengembalikan semua kekayaan negara yang dicuri. Tetapi agaknya susah untuk melepaskan diri dari motif tersembuyi sang tokoh yang waktu itu memang sedang berkampanye untuk pemilu.

Para predator ini juga sering bersembunyi di bawah ketiak para penguasa. Maka tak heran jika serigala yang mestinya masuk bui, dengan santainya bercokol di kekuasaan meskipun sebagian terpaksa berpindah tempat ke negara tetangga. Maka ketika sang penguasa teriak untuk ‘bersih-bersih’, sebagian dari kita hanya tertawa geli...sumpeh lo?! Serigala tetaplah serigala. Kita mungkin telah bisa menjinakkan kuda tetapi mampukah menjinakkan serigala? Agak susah karena kadang kita tertipu dengan penampilan mereka-penampilan seekor domba.

Pada suatu hari ada seekor serigala yang kehausan minum air di sebuah sungai kecil. Dia melihat seekor anak domba lemah sedang minum tidak jauh dari tempat tersebut. Serigala ingin memangsa anak domba itu tetapi ia harus mempunyai alasan untuk memakannya. ‘Mengapa engkau mengotori sungaiku?’ tanya serigala kepada anak domba dengan marah. ‘Maafkan saya tuan, saya tidak tahu kalau sungai ini milik tuan’, jawab anak domba dengan ketakutan. ‘Tetapi mengapa engkau menyepelekan aku ketika engkau melihat aku setahun yang lalu?’ tanya serigala lagi. ‘saya belum lahir tahun lalu, tuan’ jawab si anak domba dengan hati-hati. ‘itu pasti anak domba lain’ lanjutnya. ‘itu pasti ayahmu dan kamu harus membayar untuk ketololan ayahmu’, kata serigala sambil menerkam si anak domba. Serigala itu segera memakan anak domba. (dari P. Cosmas Fernandez, SVD, 50 Cerita Bijak)

Yang jahat akan selalu mencari alasan untuk kejahatan mereka. Selalu...

Kamis, 14 Juli 2011

Para penyembah mamon


Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon (Matius 6:24)

Bagaimana sampai Yesus menyamakan Allah dengan mamon? Verne H. Fletcher dalam bukunya Lihatlah sang Manusia mengatakan bahwa penyamaan mamon dengan Allah adalah buatan Yesus karena pada dasarnya mamon dalam bahasa Aram hanyalah berarti kekayaan dan harta milik. Artinya kata mamon tidaklah berkonotasi buruk dan negatif. Tetapi Yesus mempribadikan uang dan harta benda bahkan menyamakannya dengan dewa sampai-sampai itu dilihat sebagai lawan dari Allah. Penyamaan tersebut tentu terkait dengan kecenderungan orang yang mudah untuk menggantikan Allah dengan mamon itu sendiri. Yesus tidak anti dengan kekayaan tetapi sangatlah berbahaya jika sampai kita menggantikan keyakinan kita kepada harta tersebut. Kraybill dalam bukunya Kerajaan Yang Sungsang mengatakan: ‘Yesus tidak memberikan status keilahian pada pengetahuan, ketrampilan, penampilan, pekerjaan, kebangsawanan maupun kebangsaan. Kekayaanlah, kataNya yang berseru untuk mengendalikan dan membawahi kita seperti yang ilahi’. Tentu, pernyataan Yesus ini sedikit banyak juga dipengaruhi oleh sikap Yesus yang begitu kritis terhadap mereka yang berharta milik banyak. Apalagi dalam Injil kita menemukan posisi yang jelas dari Yesus dengan berpihak kepada mereka yang miskin dan menderita. Ia tidak mempermasalahkan harta milik itu sendiri tetapi agaknya Yesus menemukan terjadinya ketidakdilan karena harta milik itu justru didapat dari memperalat mereka yang tidak berdaya, misalnya dengan pajak.

Dan bukankah ini yang terjadi dengan elit-elit bangsa ini yang gemar menumpuk harta sampai-sampai negara ini disebut mempunyai sistem ‘kleptokrasi’- dimana para elitnya gemar mencuri sesuatu yang bukan miliknya? Peringatan Yesus akan bahaya mamon terbukti terjadi ketika sebagian elit bangsa ini sibuk beribadah kepada uang dan harta sampai-sampai mengorbankan masyarakat.Tetapi apakah hanya elit bangsa ini yang gemar memuja mamon? Bahkan hal itu terjadi beberapa waktu yang lalu ketika seorang pendeta terpaksa ‘angkat tikar’ dari gerejanya karena jemaatnya tahu bahwa sang pendeta mempunyai utang kartu kredit yang demikian besar. Dan berapa banyak gereja yang gemar menumpuk ‘pemasukan’ daripada mempersembahkannya kepada mereka yang membutuhkan? Itu artinya setiap kita bisa menjadi penyembah mamon ketika mamon itu telah menguasai kita, tak peduli bahwa anda seorang aktifis gereja atau bukan. Kita begitu sayang kepada mamon daripada menggunakan mamon itu untuk kebaikan bersama.

Namun apa boleh buat, negara kita sudah terlanjur dihuni oleh para penyembah mamon. Maka tak heran jika banyak orang merasa bahwa reformasi yang sudah berjalan selama 13 tahun belakangan ini dianggap tak lain hanyalah untuk mendulang emas di negeri sendiri. Sementara rakyat hanyalah korban dari permainan para elit yang sudah terlanjur menggantikan sila KeTuhanan Yang Maha Esa menjadi keMamonan yang Maha Esa. Perlombaan untuk mendulang emas inilah yang akhir-akhir ini kita begitu mudahnya ditemukan pada jiwa-jiwa pemuda seperti Gayes Tambenan dan M. Nazeruddin yang masih berusia 30an.

Kita tidak bisa mengabdi sekaligus kepada dua tuan, yang satu Tuhan dan yang satunya mamon. Oleh sebab itulah, betapa rumah ibadah membanjir bahkan saling numpuk di negara ini, ketamakan dan kerakusan akan uang tidak akan hilang karena simbol dari rumah ibadah sudah digantikan dengan mamon. Ritual-ritual keagamaan di negeri yang katanya paling religius ini, hanyalah kamu flase saja. Sebab ketika kita mengatakan: aku mencintai Tuhan, itu berarti kita membenci mamon. Tetapi ketika hati kita mengatakan: aku mencintai mamon, bukankah dengan sendirinya kita membenci Tuhan. Lalu mengapa kita masih berpura-pura untuk menyapa Tuhan? Mengapa kita masih berlagak seperti orang yang taat kepada Tuhan sedangkan Tuhan tidak lagi bersemayam di hati kita? kita berusaha menipu Tuhan dengan tindakan kita memberi sedekah dan berharap bahwa Tuhan masih bertegur sapa dengan kita. Tuhan sudah kita singkirkan, sekarang kita pun masih menipu dan menyogoknya.

Ah, manusia..berapa lama lag?

Minggu, 10 Juli 2011

Hidup bagai bejana tanah Liat


Hidup bagai bejana tanah liat adalah tepat untuk menggambarkan kenyataan hidup kita yang mudah retak dan tak berdaya. Apalagi kalau kita sedang ditindas dan dianiaya entah dalam bentuk apapun. Sering kali yang muncul adalah perasaan tidak berdaya. Namun itu menandakan bahwa manusia memang terbuat bukan dari besi baja seperti Gatot Koco tetapi dari tanah yang memang mudah retak. Kita ini rentan dengan segala hal yang datang dari luar untuk rusak. Diri kita ini mudah sekali pecah oleh karena memang diri kita terbuat dari tanah liat. Ingat, tanah liat!!

Dengan menyadari ini kita terbebas dari sikap sombong. Kita bukanlah orang-orang yang tangguh dalam segala hal, yang tak pernah akan merasakan pahitnya dunia. Justru sebaliknya kita adalah manusia-manusia yang ‘pasti’ butuh orang lain. kita tidaklah seperti manusia dalam banyangan Nietche yang berbicara tentang ‘Manusia Super” atau Ubermensch. Linda Smith & William Raeper dalam bukunya Ide ide filsafat dan agama dulu dan sekarang menyebutkan bahwa Manusia Super yang dimaksud oleh Nietzche adalah seseorang yang menyadari keadaan sulit yang dialami manusia. Ia menciptakan nilai-nilainya sendiri dan mampu membentuk hidupnya sendiri. Ia mengatasi kelemahan dan membencinya di dalam diri orang lain. Bagi Nietzche Manusia Super akan menjadi manusia Dionysian jenis baru dengan daya hidup nyata dan kekuatan besar, percaya diri dan disiplin diri. Meskipun Franz Magnis Suseno dalam bukunya Menalar Tuhan membantah bahwa Nietzche tidaklah mengaitkan Ubermensch sebagaimana ‘SuperMan’ yang kita kenal, melainkan dimaksudkan sebagai manusia yang tidak lagi melemparkan tanggungjawab kepada Allah dan Agama. Namun, sulit untuk melepaskan gagasan Ubermensch dari keyakinan bahwa kita sebenarnya bisa mandiri dan terbebas dari orang lain bahkan Allah. Bayangan Nietzche ini mau tidak mau terkait dengan bayangan bahwa manusia sebenarnya mampu untuk tangguh di hadapan kenyataan apapun, termasuk dunia.

Ambisi sang filsuf yang terkenal nyentrik dengan kalimat ‘Allah telah mati’ itu justru berkebalikan dengan kenyataan manusia sendiri. Lemah dan tak berdaya adalah sebuah hal yang mengitari diri manusia. Bahkan kenyataan bahwa manusia itu lemah dimulai ketika kita lahir di dunia ini dengan tangisan, karena kita akan masuk ke dalam ‘medan’ penderitaan.

Paulus, dalam kitab 2 Korintus 4:7-18 berkisah tentang bejana tanah liat. Dalam hal ini bejana tanah liat adalah kiasan yang digunakan oleh Paulus di dalam menggambarkan tubuhnya yang lemah. Robert Banks dalam bukunya Paul’s Idea of Commnunity mengatakan bahwa Paulus dipengaruhi oleh filsafat Stoa. Maka tidak mengherankan kalau dualisme yang ada dalam berbagai macam pemikiran Paulus sangat terasa. Namun dalam kaitannya dengan metafora tanah liat, Paulus nampaknya justru melihat tubuh yang lemah sebagai jalan masuk bagi Allah untuk berkarya. Calvin J. Roetzel dalam bukunya Paul a Jew on the Margins mengatakan bahwa melalui metafor bejana tanah liat, Paulus ingin menggambarkan tubuhnya yang lemah tetapi justru lewat tubuh yang lemah inilah dipercayakan untuk mewartakan Injil Yesus Kristus. Allah telah mempercayakan pelayanan kepada manusia yang lemah yang digambarkan dengan bejana tanah liat yang mudah retak dan hancur karena pemakaian sehari-hari. Apa yang dialami oleh Paulus, dengan sangat jelas terkait dengan ‘penderitaan’ yang dialaminya. Misalnya terlihat dalam kata-kata ditindas, dianiaya, dihempaskan (ayat 8-10). Dalam keseluruhan surat Korintus kita bisa menemukan bagaimana rasul Paulus memang sering mengalami penderitaan. Apalagi jika dikaitkan dengan keberadaan para rasul lain yang ada di Korintus. Mereka yang menjadi lawan dari rasul Paulus dalam kitab Korintus menyebut diri sebagai ‘rasul’ dan ‘pelayan Kristus’. Sering kali rasul-rasul tersebut oleh Paulus disebut sebagai ‘super apostle’ (11:5;12:11), false apostle (11:13) dan minions of satan atau kaki tangan setan (11:13-15).

Hal yang menarik dalam pemaparan Roetzel adalah bahwa metafora tentang bejana tanah liat adalah sebuah cara bagi Paulus untuk menyamakan dan ambil bagian dalam kematian Yesus. Dengan cara inilah, Paulus menegaskan bahwa badannya yang lemah dan mudah hancur oleh kematian, dengan kekuatan yang dari Kristus yang telah dibangkitkan telah mengalahkan kematian itu sendiri. Maka dengan metafora bejana tanah liat, Paulus ingin memperlihatkan bahwa manusia seperti dirinya di mata manusia (khususnya di mata rasul yang menjadi saingannya) adalah lemah dan tidak berarti apa-apa, tetapi justru dengan itulah kekuatan yang dari Allah datang (ayat 7). Maka Paulus mendapati kekuatannya menjadi sempurna di dalam kelemahan.

Seorang teman mengatakan bahwa penderitaan yang kita alami adalah jalan masuk bagi Allah untuk mengangkat kita dari beban kita. Dia percaya bahwa selama kita masih bisa menanggung beban kita sendiri, Allah berjalan di samping kita. tetapi ketika kita sudah tidak sanggup lagi mengangkat beban kita, Allah yang akan menggendong kita. Saya jadi ingat tentang Puisi ‘Jejak-jejak Kaki’ dari Margaret Fishback Powers:

Suatu malam aku bermimpi berjalan-jalan di sepanjang pantai Bersama Tuhanku. Melintas di langit gelap babak-babak hidupku.Pada setiap babak, aku melihat dua pasang jejak kaki, Yang sepasang milikku dan yang lainnya milik Tuhanku. Ketika babak terakhir terkilas di hadapanku. Aku menengok jejak-jejak kaki di atas pasir. Dan betapa terkejutnya diriku Kulihat acap kali di setiap hidupku. Hanya ada sepasang jejak kaki Aku sadar bahwa ini terjadi Justru saat hidupku berada dalam keadaan yang paling menyedihkan.Hal ini selalu menggangguku dan akupun bertanya kepada Tuhan: “Tuhan, ketika aku mengambil keputusan untuk mengikutMu, Engkau berjanji akan selalu berjalan dan bercakap-cakap denganku di sepanjang jalan hidupku. Namun ternyata dalam masa yang paling sulit dalam hidupku, hanya ada sepasang jejak kaki. Aku benar-benar tidak mengerti mengapa ketika aku sangat memerlukanMu engkau meninggalkan aku”. Ia menjawab dengan lembut:”AnakKu, aku sangat mengasihiMu dan sekali-kali Aku tidak akan pernah membiarkanmu, terutama sekali ketika pencobaan dan ujian datang. Bila engkau hanya melihat hanya ada sepasang jejak kaki, ini karena engkau berada dalam gendonganKu”.
Apa yang dialami oleh Paulus adalah sesuatu yang manusiawi sekali. Ada sakit yang terasa ketika penderitaan itu datang. Bagaikan bejana tanah liat, tubuh kita yang lemah adalah pertanda bahwa kita bukanlah ‘manusia super’ yang jauh dari tangisan dan air mata. Namun, penghayatan Paulus atas penderitaannya membawa dia pada Yesus sendiri yang merupakan sumber kekuatan. Sangat normatif mungkin. Namun, satu hal yang menarik bahwa ‘perspektif’ Paulus akan penderitaannya tidaklah gampang di temukan dalam diri orang percaya. Ketika penderitaan datang, hujatan datang bertubi-tubi, entah kepada Tuhan, iblis, keluarga, teman atau siapapun yang pantas jadi sasaran amarah dari penderitaan tersebut. Paulus tidaklah demikian. Sadar betul bahwa ia lemah, ia justru meminta kekuatan dari Tuhan. Karena hanya dengan demikianlah, Allah berkarya dalam dirinya. Sehingga yang keluar dari mulut Paulus adalah-justru ‘ucapan syukur’.

Allah tidaklah membiarkan kita sendirian dalam penderitaan kita. Ketika kita tidak sanggup lagi Ia akan menggendong kita. Karena dengan itulah, Allah berkarya alam diri kita.

Jumat, 08 Juli 2011

Urip Mung Sadrema nglakoni?

Kalimat dalam bahasa jawa di atas berarti ‘hidup hanya sekedar menjalani’. Manusia tidak punya hak untuk protes karena semua sudah ditentukan oleh Tuhan. Semua hal yang terjadi di dunia ini tergantung dari apa yang sudah ditakdirkan oleh Sang Pencipta. Oleh sebab itu, orang Jawa mengidentifikasikan dirinya sebagai wayang yang segala yang dialaminya ditentukan oleh dhalang. Dalam hal ini wayang sebagai simbol manusia dan dhalang sebagai simbol Tuhan. Sikap yang seperti ini bertalian dengan kepercayaan masyarakat Jawa bahwa ia berasal dari Tuhan-dalam pengertian diciptakan oleh Tuhan-dan mereka akan kembali kepada Tuhan. Maka salah satu kata yang sering saya jumpai di lingkungan masyarakat Jawa adalah nrimo, yang oleh Benedict R. O’G Anderson dalam bukunya Mitologi dan Toleransi orang Jawa dituliskan sebagai sebuah sikap ikhlas menerima hidup dan toleransi pemakluman yang besar. Sikap menerima apa adanya inilah yang saya temukan ketika orang Jawa merasa baik-baik saja terhadap kejadian apapun yang dia alami. Teman-teman orang Jawa pun tak suka cari perkara. Kalau memang harus demikian, ya mesti pasrah dan nrimo.

Salah satu pengalaman saya adalah ketika beberapa orang Jawa yang mengalami bencana Merapi justru masih bisa bersikap biasa-biasa saja meskipun penderitaan atas dirinya begitu berat. Mereka selalu berusaha untuk hidup sesuai dengan apa yang terjadi tanpa harus mempersalahkan siapa-siapa termasuk Tuhan. Karena sikap nrimo ini lahir dari sebuah keyakinan bahwa segala kejadian di dunia ini, entah itu baik maupun buruk pada dasarnya sudah ditentukan oleh Sang Gusti Allah. Bagi saya yang bukan orang Jawa, sikap nrimo ini begitu luar biasa karena mampu menyelaraskan diri dengan hidup itu sendiri. Mungkin agak terkesan fatalistik, tetapi yang saya pahami bahwa nrimo itu adalah sebuah ‘sikap’ dan bukan cuman diam dan tak berbuat apa-apa. Nrimo bukanlah sikap pasif dan apatis. Ditengah penderitaan yang dialami warga merapi, mereka nrimo tetapi sekaligus berusaha untuk berjuang kembali untuk mengumpulkan kepingan kegembiraan sebagaimana sebelumnya. Mungkin agak mirip dengan lagunya Bondan Prakoso & Fade 2 Black: ‘ya sudahlah’. Wes sudah terjadi, kenyataannya memang begitu. Tetapikan hidup harus berlanjut..

Keterbukaan pada kenyataan inilah yang menarik dari sikap nrimo. Karena hidup itu sendiri sangatlah unpredictable. Ia tidak mudah ditebak dan diramal. Tetapi kita pun sadar bahwa hidup itu tidak jauh dari kata senang dan sedih, suka dan duka. Maka, ketika kesadaran itu berwujud dalam sikap nrimo, berhadapan dengan hidup yang bagaimanapun kita sudah siap. Kenyataan pahit ataupun enak adalah bagian dari sikap kita menjalani hidup. Dalam salah satu bukunya, Selamat Berpulih, Andar Ismail berkata:’Tetapi menerima kenyataan jangan dianggap menyerah. Menerima kenyataan adalah berdamai dengan diri sendiri lalu secara kreatif mencari jalan untuk menjadikan keadaan hidup tetap berguna’.

Kita semua memang mencita-citakan hidup yang sempurna. Tetapi bukankah hidup yang sempurna itu terjadi ketika kita bisa hidup selaras dengan kenyataan yang ada?

Jumat, 01 Juli 2011

Perselingkuhan Gereja dan Etika Kristen


Perkembangan gereja mula-mula tidak berbenturan dengan etika pada umumnya. Perubahan mulai terjadi ketika posisinya di masyarakat semakin lebih baik dan diperhitungkan. Tinggal di kota2 besar seperti Roma, Efesus dan mereka orang-orang yang pekerja sehari-harinya bertalian dengan jasa [keuangan, jasa telekomunikasi]. Orang Romawi lebih percaya kepada orang Kristen untuk menyimpan uangnya (hal ini terjadi karena sangat taat pada prinsip Yesus yang bersikap baik dan jujur).

Akibat dari semakin dipercayanya orang Kristen dalam wilayah-wilayah dimana mereka berada adalah jumlah mereka yang makin banyak. Ini ancaman buat negara. Posisi penting orang Kristen membuat negara mulai terancam. Di bawah pemerintahan Kaisar Galerius, mereka ditangkapi dan dibunuhi karena mereka (notabene) adalah Kristen.

Namun tindakan represi ini tidak membuat orang Kristen berkurang. Orang Kristen tidak dapat hilang dan malah makin berkembang. Mungkin mirip dengan mottonya orang Kristen kebanyakan ‘semakin dibabat semakin merambat..heheh’. Maka tindakan pemerintahan Romawi berubah dari sikap yang represif terhadap orang Kristen sekarang orang Kristen dirangkul. Orang-orang Kristen dirangkul dan masuk dalam pemerintahan. Dekrit Milan 311, orang Kristen diizinkan ibadah secara terbuka.

Dari sinilah gereja mulai berubah dan etika kristennya berubah. Negara memberi banyak konsensi dan kemudahan. Dan gereja merasa bahwa ternyata negara tidak buruk-buruk amat. Padahal sebelum dirangkul oleh negara, gereja (orang-orang Kristen) sangat Kristis terhadap negara. Mereka tidak pernah berkompromi dengan negara. Tetapi rangkulan yang terkesan baik dari negara membuat orang-orang Kristen akomodatif dengan berbagai kebijakan negara. ‘kan sudah diberi fasilitas ini itu, sudah diizinkan tinggal dan hidup, masa mau ngekritik negara’. ya kira-kira begitulah keadaan orang Kristen pasca rangkulan negara tersebut.


Hal ini berlanjut dengan kebijakan dari Konstantin yang ingin menyatukan Romawi. Menurutnya salah satu tindakan menyatukan negara adalah dengan mengakui kekristenan. Kita tahu bahwa saat kekaisarannyalah muncul perdebatan Trinitas. Perdebatan antara mereka yang mono dan trinitarian ini membawa pada ancaman perpecahan di kalangan Kristen dan ini tidak diinginkan oleh Konstantin. Maka Ia lalu melahirkan Konsili Nicea. Ini adalah Agenda politik Konstantin, bukan karena dia seorang saleh dan taat. Konsili Nicea sendirikan 325 Masehi. Dia dibabtis 336 pas pada saat dia sekarat. Jadi 11 tahun setelah Konsili Nicea diadakan. Persoalan politiklah yang membawa kekristenan masuk ke dalam aliansi negara.

Perangkulan negara yang berlebihan inilah yang akhirnya membawa pengaruh besar terhadap kekristenan seterusnya. Standar diturunkan. Jika tidak tentu akan bertentangan dengan negara. Disini terjadi yang namanya ‘Simbiosis mutualisme’. Kekristenan perlu kaisar dan kaisar butuh orang Kristen demi agenda politik. Kaisar Konstantin perlu didukung karena dia mendukung orang Kristen. Jangan sampai jika dia turun dari tahta, maka muncul kaisar yang ndak respek dengan orang Kristen.

Pendekatannya pada akhirnya adalah diadic. Contoh dari perselingkuhan gereja dan negara ini adalah pendapat dari Agustinus. Ia mengatakan: Kekerasan mau dipakai untuk apa? Pribadi atau orang lain? Kekerasan bertalian dengan kehendak dan aksi. Kehendak yang baik ndak apa-apa. Ini suci. Kalau kita membunuh orang jahat bisa baik untuk dia. Karena jiwanya nanti akan bisa diinjili oleh Kristus. Tujuan membunuh dengan alasan baik dan mulai bisa. Meski tindakannya jelas salah. Tetapi yang menjadi penekanannya adalah kehendaknya bung!!

Ini sangat berbeda dengan etika kristen sebelum terjadi perselingkuhan gereja dan negara yang sangat menekankan tindakan pacifis. Tidak ada kompromi di dalamnya. Kekerasan adalah kekerasan dan itu dipegang oleh orang Kristen sebelum terjadi perangkulan oleh negara.

Maka sejarah gereja yang sudah tercemar ini perlu menjadi pelajaran buat orang Kristen sekarang ini. Kesempatan tidak terikat secara formal dengan negara (Indonesia) adalah kesempatan bagi gereja untuk ‘mengobarkan’ sebuah komunitas nir kekerasan. Sebuah tindakan pacifis yang dibawa oleh Yesus :D

Rabu, 15 Juni 2011

Iman sebesar Biji Sesawi: dari Krisis Identitas ke Krisis Iman



Kata Yesus, andai kita punya iman sebesar biji sesawi, kita akan bisa memindahkan gunung. Mungkin Yesus tahu bahwa iman sebesar biji sesawi adalah hal yang jarang ditemukan dari manusia seperti saya, makanya Dia berani bilang ‘mindahin gunung’. Kalau ndak gitu, entar gunung Merapi bakalan tak pindahin jauh dari Yogya..

William Barclay dalam bukunya Pemahaman Alkitab Setiap Hari menggambarkan biji sesawi sebagai kiasan yang ‘biasa’ dipakai di dunia Timur. Barclay misalnya menunjukkan bagaimana orang Yahudi berbicara tentang setetes darah sama kecilnya dengan biji sesawi; atau pelanggaran kecil terhadap hukum upacara, mereka akan berbicara tentang pencemaran sekecil biji sesawi (2005:122). Dalam kitab Matius, Yesus memakai biji sesawi untuk menggambarkan Kerajaan Sorga dan kemudian menjelaskannya sendiri bahwa biji itu akan tumbuh menjadi besar dimana ‘burung-burung’ akan bernaung untuk mendapat perlindungan atasnya (bdk. Matius 13:32). Memang biji sesawi digambarkan sebagai sebuah biji yang amat kecil, namun seiring dengan pertumbuhannya ia akan menjadi pohon yang besar. Maka jelas bahwa Yesus sebenarnya tidak memakai ‘biji yang lain’ seumpama biji mahoni atau durian oleh karena biji sesawi sudah amat di kenal di daerah Yesus melayani. Dan ‘iman sebesar biji sesawi’ dalam kitab Matius berada dalam konteks ‘Yesus menyembuhkan seorang anak muda yang sakit ayan’ (Mat. 17:21). Perkataan itu keluar dari mulut Yesus untuk ‘menegur’ para muridnya yang ternyata tidak bisa menyembuhkan penyakit yang di derita oleh anak muda tersebut. Dan itu disebabkan oleh karena para murid ‘kurang percaya’. Maka, dengan agak sedikit kecewa, Yesus menegur para murid dengan mengatakan: ‘berapa lama lagi Aku harus tinggal bersama kamu?’

Maka tak heran jika seorang hindu bernama Dayananda Saraswati dalam artikelnya berjudul ‘The light of Truth’ yang terdapat dalam buku Paul J. Griffiths (ed), Christianity through non-Christianian Eyes menjadikan ayat ini sebagai alasan bagi dia untuk mengatakan bahwa Alkitab tidak lepas dari kesalahan. Ia mengatakan:

Orang Kristen mengajarkan:” Marilah, terimalah agama kami, biarlah dosa-dosamu diampuni dan kamu mendapat keselamatan”. Semuanya ini tidak benar, karena apabila Kristus memiliki kuasa untuk menghapus dosa, menanamkan iman kepada orang lain dan memurnikan mereka, mengapa Ia tidak membebaskan murid-muridNya dari dosa, membuat mereka setia dan murni? Bila Ia tidak dapat membuat mereka yang mengikuti Dia murni, setia dan bersih dari dosa, bagaimana mungkin kini Ia, yang tidak seorang pun tahu dimana keberadaanNya sekarang, dapat memurnikan seseorang? Sementara murid-murid Kristus tidak memiliki iman bahkan sebesar biji sesawi sekalipun dan mereka inilah yang menulis Alkitab, bagaimana mungkin kitab seperti itu bisa diakui sebagai kitab yang berwibawa

Terlepas dari ketidaksetujuan saya terhadap komentar Saraswati di atas, saya kira adalah menjadi soal ketika orang Kristen bahkan tidak memiliki iman sebesar biji sesawi akhirnya menjadi alasan bagi banyak orang yang melihat kita sebagai pengikut Kristus tidak menunjukkan simpatinya. Karena tindakan kita justru tak pernah sedikit pun menunjukkan bahwa Yesus yang kita kenal berkuasa tersebut tak pernah dilihat dalam diri kita. Padahal Yesus bilang : kalau punya iman sebesar biji sesawi, maka kamu bisa angkat gunung’.

Komentar Saraswati di atas terlihat tidak menempatkan konteks ‘iman biji sesawi’ dalam konteksnya, entah itu sejarahnya maupun konteks ceritanya. David J. Bosch dalam bukunya berjudul Transformasi Misi Kristen menyebutkan bahwa “Injil kita yang pertama (Matius-pen.) pada hakikatnya adalah sebuah teks misioner. Visi misionernya inilah yang membuat Matius mulai menulis injilnya. Bukan untuk menyusun Riwayat Yesus melainkan untuk memberikan bimbingan kepada suatu komunitas, yang mengalami krisis tentang bagaimana mereka harus memahami panggilan dan misinya.” (1997:89). Maka cerita tentang ‘Yesus menyembuhkan seorang anak muda yang sakit ayan’ dimana di dalamnya berbicara soal ‘iman sebesar biji sesawi’ adalah untuk menunjukkan sikap Yesus kepada penerima Injil ini agar percaya akan Yesus. Artinya kisah tentang “Yesus menyembuhkan seorang anak muda yang sakit ayan” adalah dalam rangka mengatasi ‘krisis’ yang sedang dialami oleh komunitas penerima Injil Matius.

Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Schuyler Brown dalam bukunya berjudul The Origins of Christianity yang mengatakan bahwa Injil Matius ditulis pasca penghancuran bait Allah pada tahun 70 M (1984: 119). Willi Marxsen dalam bukunya Pengantar Perjanjian Baru juga mengatakan hal yang sama bahwa:’dapat dipahami bahwa kitab ini berasal di Pela, yang terdapat di daerah sebelah timur Yordan tempat komunitas Kristen Yahudi di Yerusalem menemukan daerah pertemuan baru setelah pelarian dari kota itu tak lama sebelum kehancurannya dalam tahun 70 M (2000:184). Penghancuran bait Allah adalah sesuatu yang ‘memukul’ bagi komunitas Injil Matius. Karena sebagian besar komunitas Injil Matius adalah orang Yahudi, maka meskipun mereka mengikut Yesus sebagai guru mereka sekaligus sebagai utusan Allah. Bait Allah adalah hal yang masih teramat penting, sebagai penegasan identitas mereka dengan bangsa-bangsa lain. Kehancuran Bait Allah berarti kehancuran identitas mereka. Maka, menjadi persoalan kemudian buat mereka apakah memang benar bahwa keyakinan mereka akan Yesus adalah sesuatu yang tepat? Mengapa justru ketika mereka sudah menjadi pengikut Yesus, mereka kehilangan identitas mereka terhadap Bait Allah? Inilah ‘krisis’ yang sedang dihadapi oleh komunitas Injil Matius. Krisis identitas membawa mereka pada krisis iman akan Yesus. Apakah betul Yesus sebagai anak Allah punya kuasa?

Dengan mengetahui konteks sejarah dan ceritanya, kita bisa melihat bahwa iman sebesar biji sesawi ditunjukkan kepada para pengikut Yesus dalam komunitas Injil Matius yang sedang mengalami krisis akibat penghancuran Bait Allah. Sehingga cerita ini ingin memberi ingatan kepada para murid di komunitas Injil Matius untuk kembali pada kepercayaan mereka kepada Yesus.

Dalam hidup ini, krisis dalam bentuknya yang beragam datang silih berganti. Sering sekali krisis tersebut membuat kita kehilangan kepercayaan kita kepada Yesus. Namun jika kita tetap mempertahankan iman kita, krisis dalam bentuknya yang beragam dapat kita atasi. Betapapun berat krisis yang sedang kita hadapi, kita diajak agar menatap Yesus sebagai sumber pengharapan. Artinya, kita membiarkan diri kita untuk dikuasai oleh Krisis atau justru menghadapi krisis bersama dengan sebuah pengharapan dari Yesus. Hal ini mengingatkan saya akan sebuah cerita yang berjudul ‘Petualangan mencari Raja burung’ dalam Sufistik: Melayani Maling dimana dikatakan: ‘kelak dalam perjalanan, kata burung Hud-hud, para burung akan melewati tujuh lembah penderitaan. Masing-masing lembah adalah kelanjutan dari lembah sebelumnya. Karenannya, mereka harus terlebih dahulu berhasil melewati penderitaan pada setiap lembahnya untuk dapat memasuki lembah berikutnya’ (2005: 69). Maka krisis yang dihadapi hendaknya tidak menghilangkan kepercayaan kita tetapi menjadikan itu untuk naik ke tingkat lebih tinggi dari iman dan kepercayaan kita kepada Kristus. Jadilah seperti biji sesawi yang tumbuh menjadi besar sehingga orang lain juga turut merasakan kuasa Yesus dalam diri anda.

Kamis, 09 Juni 2011

Hidup dengan Allah adalah sebuah Pertaruhan

Menulis kata ‘taruhan’ otak saya langsung merujuk kepada judi. Judi memang sering dikaitkan dengan taruhan karena mana ada judi tanpa taruhan. Misalnya judi kartu. Kalau ada, itu namanya bukan judi tapi dolanan wae. Seperti saya waktu kecil dulu, sering main gaplek dengan teman-teman, tetapi ndak taruhan. Ya, paling-paling hukumannya jongkok atau muka dicoret pake kapur. Tetapi, judi yang dilarang oleh om Roma dalam lagunya tentu beda. Judi dengan taruhan milik sendiri entah itu uang ataupun barang. Tetapi tidak hanya pertaruhan dalam pengertian bahwa ada taruhannya, tetapi judi juga pertaruhan karena tidak seorang pun dari pemainnya yang tahu bakalan menang. Meskipun saya tahu bahwa beberapa orang punya keahlian dalam mengotak-ngatik kartu, tetapi tetap saja hasil akhir tidak pernah tahu. Maka judi bisa dibilang pertaruhan!

Sebagaimana judi, hidup dengan Allah adalah pertaruhan. Mengapa? Karena kita tidak pernah tahu apa yang terjadi ketika kita berelasi dengan yang kita cintai yaitu Allah. Kita tidak pernah tahu bagaimana kisah dengan Allah berakhir apakah seperti dalam kebanyakan film dengan akhir kisah happy ending ataukah justru berakhir tragis atau malah komedi? Tidak ada yang tahu. Hidup dengan Allah adalah sebuah pertaruhan.

Dalam Perjanjian Lama, contoh yang paling jelas terlihat adalah kisah tentang Ayub. Dianne Bergant, CSA. & Robert J. Karris, OFM dalam Tafsir Kitab Perjanjian Lama mengatakan: ‘Kitab itu gambaran jelas dari penderitaan dan perjuangannya untuk memahami Keadilan Allah menghadapi pengalamannya sendiri yang kacau’(2002:403). Pengalaman Ayub berhadapan dengan Keadilan Allah adalah sesuatu yang cukup mengejutkan karena bagaimana mungkin Ayub yang dalam ceritanya disebutkan bersikap saleh dan jujur, mencintai Allah, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan (Ayub 1:1) dalam hidupnya bisa mengalami ‘hukuman’ dari Allah? Tetapi, sebagaimana Ayub mengalaminya, hidup kita dalam kenyataannya tidaklah jauh dari kisah seperti itu. Selalu saja ada hal atau kejadian dimana kita mengatakan: Tuhan, bukankah aku telah melakukan segala perintahMu? Tetapi mengapa justru bukan kebaikan yang aku dapat?

Pengalaman yang tidak mudah ini oleh Soelle disebut sebagai ‘sunder warumbe’ atau yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan ‘without a why’. Sarah Katherine Pinnock (ed.) dalam bukunya berjudul The Theology of Dorothee Soelle mengatakan bahwa:’to live ‘without a why’ means to live without intentions, goals, purposes, or power’ (2003:175). Dan dalam kaitannya dengan Ayub, kecintaannya kepada Tuhan tercermin dari sikapnya kepada Allah. Misalnya kita temukan ini dalam pertanyaan yang diajukan oleh Iblis kepada Tuhan dengan mengatakan: apakah dengan tidak mendapat apa-apa Ayub takut akan Allah?(Ayub 1:9). Pertanyaan ini sejajar dengan apa yang ada dalam sunder warumbe. Apakah kita bisa mencintai Tuhan jika kita tidak mendapat kebaikan dari Tuhan? Apakah kita masih bisa mencintai Tuhan jika kita tidak mendapat berkat dari Tuhan? Tentu ini pertanyaan yang muncul dari kebiasaan kita beragama yang baru ‘beriman’ kepada Tuhan kalau kita mendapatkan sesuatu dari Dia. Hidup beragama yang seperti inilah yang disebut sebagai ‘teologi take and give-memberi untuk mendapatkan sesuatu.

‘Modus’ berpikir manusia sama dengan seorang pemain judi yang ahli dalam mengotak-ngatik kartu. Kita mendesain sedemikian rupa tindakan kita agar ‘kebaikannya’ Allah menjadi bagian kita. Boleh saja sih berpikir begitu! Tetapi, tentu Allah bukanlah sosok yang dapat kita atur apalagi dengan mengaturnya memakai pola pikir manusia. Allah bukanlah objek yang dapat dimanipulasi. Karena sejak awal, nenek moyang kita dalam berbagai macam iman dan tradisi, telah membuktikan dan mengalami sendiri bahwa berelasi dengan Allah adalah sebuah tindakan yang tidak mudah dan berjalan mulus begitu saja.

Dengan kejadian ini saya ingat apa yang dikatakan oleh seorang teman: hidup dengan Allah tidaklah linier tetapi seperti roller coster yang berputar ke atas dan kebawah. Kita bisa saja mengira bahwa memberi dan beramal hidup kita akan mulus bak mengendarai kendaraan di jalan tol. Kita bisa saja berpikir bahwa menolong orang yang kelaparan adalah tindakan yang akan mendapat pahala dari Allah. Tetapi apakah kita masih bisa melakukan itu tanpa mengharapkan apapun? Apakah kita masih bisa dan mau berelasi dengan Allah dengan tidak berharap apapun? Inilah pertaruhan itu, mau mencintai Allah saja, dengan atau tanpa imbalan apapun. Titik!

Rabu, 08 Juni 2011

Doa peziarah doa yang menyatukan


Dulu waktu kecil, saya selalu bertanya mengapa orang dewasa pergi ke gereja yang berbeda dengan kami anak kecil. Karena di kampung saya dulu, ada 2 gereja yang satu dipakai untuk kebaktian orang dewasa dan yang satunya dipakai untuk anak seperti kami-di depannya ada sebuah papan putih bertuliskan ‘Sekolah Minggu’ (SM). Di sekolah inilah saya belajar banyak tentang siapa Tuhan Yesus, bagaimana saya harus mengasihi sesama, membaca Alkitab dan bagaimana caranya berdoa. Untuk melatih bagaimana caranya berdoa, ada sebuah lagu yang masih sedikit saya ingat teksnya berbunyi: lipat tangan tutup mata. Selain dari keluarga, dari sekolah minggu inilah saya diajarkan untuk berdoa.

Setelah umur saya mulai banyak bertambahnya, dan mulai banyak mengenal orang saya menemukan bahwa doa bukanlah ‘miliknya’ orang Kristen saja. Ternyata teman-teman saya yang bukan Kristen juga mengenal yang namanya ‘doa’. Baik saudara-saudara saya yang Muslim, Budha dan Hindu saya juga menemukan kata ‘doa’ dalam keseharian mereka. Lalu saya sadar bahwa ternyata kita umat manusia disamakan dan dipertemukan dalam doa. Tentu cara dan apa yang disampaikan berbeda-beda, dari agama yang satu ke agama yang lain, dari budaya yang satu ke budaya yang lain. Tetapi, sebagaimana yang disampaikan oleh Lama Surya Das alam bukunya ‘Awakening to the Sacred’ (2002: 287) mengatakan:’tema umumnya (yang dia maksud doa-tambahan saya) dalam semua tradisi berkisar di sekitar kemauan manusia wajar untuk membuka hati kita dan berkomunikasi dengan prinsip suci, kekuasaan yang lebih tinggi atau sumber Ilahi’. Kita dalam agama dan tradisi yang berbeda selalu digerakkan oleh hati terdalam dan jiwa kita untuk selalu terhubung dengan yang Ilahi.

Jika setiap kita yang berbeda agama dan tradisi ini dengan sadar bahwa ternyata kita sama-sama mengakui ‘kekuasaan’ di luar diri kita, maka dengan sendirinya kita juga seharusnya sadar bahwa kita adalah manusia-manusia yang sedang berziarah dalam dunia, yang penuh dengan ketidakpastian, penuh dengan kelemahan dan pada saat yang sama selalu ‘berusaha’ mengarahkan diri dan hidup kepada Dia yang kita percayai sebagai yang Maha segalanya. Dalam doa, kita semua berserah dan mengaku bahwa dalam perjalanan yang berliku kayak roller coaster ini kita perlu pegangan. Doa adalah usaha kita untuk tetap berjalan dengan berharap akan kekuatan sang Ilahi. Doa adalah kesadaran kita sebagai manusia ciptaan yang sedang berziarah dalam dunia. Rm. DR. Tom Jacobs, S.J dalam bukunya “Teologi Doa” (2010:18) pernah menuliskan bahwa:’syarat mutlak untuk doa adalah ‘masuk dalam dirinya sendiri’, menyadari diri sedalam-dalammnya sebagai makhluk ciptaan, menyadari bahwa hidup yang kita hidupi ini bukanlah berasal dari diri kita sendiri.’

Di setiap Adzan berkumandang, saya diingatkan akan kebesaran Tuhan. Saya tahu bahwa Adzan adalah panggilan bagi saudara saya Muslim untuk sholat. Tetapi, kesadaran bahwa kita sama-sama mengakui akan kebesaran sang Ilahi, tentu itu juga panggilan untuk saya mengumandangkan kesadaran lebih bahwa sang Ilahi yang dipanggil dengan nama berbeda dan berbagai cara itu juga sedang menunggu kesediaan saya untuk masuk dalam ‘doa’. Maka, sekarang ini bukanlah hal yang aneh jika kekristenan khususnya protestan tidak lagi mempermasalahkan yang namanya ‘meditasi’ yang justru merupakan tradisi doa yang berkembang dalam agama Budhis atau ziarah-ziarah ke tempat suci yang merupakan tradisi dari Katolik.

Karena doa adalah pertanda bahwa kita sebagai manusia yang sedang berziarah dalam ketidakpastian seraya tetap berharap akan pertolongan sang Ilahi