Minggu, 24 April 2011

Puisi Paskah (Oleh : Ulil Absar Abdala)


Ia yang rebah,
di pangkuan perawan suci,
bangkit setelah tiga hari, melawan mati.
Ia yang lemah,
menghidupkan harapan yg nyaris punah.
Ia yang maha lemah,
jasadnya menanggungkan derita kita.

Ia yang maha lemah,
deritanya menaklukkan raja-raja dunia.
Ia yang jatuh cinta pada pagi,
setelah dirajam nyeri.
Ia yang tengadah ke langit suci,
terbalut kain merah kirmizi: Cintailah aku!

Mereka bertengkar
tentang siapa yang mati di palang kayu.
Aku tak tertarik pada debat ahli teologi.
Darah yang mengucur itu lebih menyentuhku.

Saat aku jumawa dengan imanku,
tubuh nyeri yang tergeletak di kayu itu,
terus mengingatkanku:
Bahkan, Ia pun menderita, bersama yang nista.

Muhammadku, Yesusmu, Krisnamu, Buddhamu, Konfuciusmu,
mereka semua guru-guruku,
yang mengajarku tentang keluasan dunia, dan cinta.

Penyakitmu, wahai kaum beriman:
Kalian mudah puas diri, pongah,
jumawa, bagai burung merak.
Kalian gemar menghakimi!

Tubuh yang mengucur darah di kayu itu,
bukan burung merak.
Ia mengajar kita, tentang cinta,
untuk mereka yang disesatkan dan dinista.

Penderitaan kadang mengajarmu
tentang iman yang rendah hati.
Huruf-huruf dalam kitab suci,
kerap membuatmu merasa paling suci.

Ya, Jesusmu adalah juga Jesusku.
Ia telah menebusku dari iman,
yang jumawa dan tinggi hati.
Ia membuatku cinta pada yang dinista!

[Saya ndak habis pikir seorang muslim seperti Mas Ulil bisa membuat puisi sedalam itu. Aku sendiri yang seorang Kristen (baca: pengikut Kristus) tak bisa merefleksikan Yesus yang mati dan bangkit itu dalam puisi yang menyentuh seperti ini. Semoga Allah yang berkuasa itu menyertai Mas Ulil dalam perjuangan untuk terus membela keberagaman di atas tanah air yang kita cintai bersama ini :D ]

sumber: http://www.facebook.com/?ref=hp#!/notes/peduli-yasmin/puisi-paskah-oleh-ulil-absar-abdala/192794757426557

Jumat, 22 April 2011

Jumat Agung dan Para Korban




Kematian Yesus sering kali dipahami sempit. (semua) yang berdosa sudah diampuni. Jadi, mereka yang nyakitin hati orang lain, sudah berniat jahat sama orang, buat menderita orang dengan kata dan tindakannya, sekarang sudah diampuni. Bersih, suci dan tak bernoda (kayak iklan deterjen pakaian). Benarkah demikian?

Jika kita punya pikiran kayak gini, kita mengkondisikan Yesus sebagai manusia yang tak berpihak kepada korban. Kita sudah nyakitin hati orang dan dengan gampangnya kita merasa sudah terampuni dosanya. ‘Kan Yesus sudah gantiin aku di posisi terdakwa’. Enak banget ya!!

Tetapi coba anda di posisi korban. Anda bisa bayangkan kalo tindakan pengorbanan Yesus adalah tindakan menyakiti para korban. Karena orang yang bersalah dengan gampangnya terbebas dengan darah Yesus. Bukan hanya itu, jika ini yang kita pahami, maka hubungan terdakwa dan korban terputus begitu saja.

So, saya punya pemahaman lain soal pengorbanan Yesus. Anda tidak harus setuju dengan saya! Dalam pemahaman saya, Yesus tidak berdiri di posisi terdakwa melainkan berdiri di posisi korban. Ia tidak berpihak kepada mereka yang disebut pelaku. Ia bukanlah Allah yang tak berperasaan dengan mengabaikan hati para korban. Justru sebaliknya, pengorbanan Yesus adalah tindakan keberpihakannya kepada para korban. Ia bisa merasakan bagaimana rasanya disakiti, dibuat menderita, ditindas dan itulah yang membuat Dia mengambil keputusan untuk bersama dengan mereka.

Dengan berdiri bersama mereka para korban, Allah menjadi Allah para korban. Maka kita yang tergolong sebagai ‘terdakwa’, yang suka menindas orang lain, yang suka berniat jahat kepada orang lain, mesti menanggapin kematian Yesus dengan meminta maaf kepada mereka para korban. Kita harus melakukan rekonsiliasi dengan mereka yang disebut para korban. Perjumpaan inilah yang seharusnya terjadi ketika kita merayakan Paskah.

Rabu, 20 April 2011

obrolan pagi dengan ipiL dalam sms


(sebelumnya aku sms my schat ipiL kalo aku mau mandi)

ipiL: Tumben mandi?

upiL: Oh jadi gitu ya..jd selama ini kamu mau bilang kalo aku ndak pernah mandi…bagus..bagus (pake gayanya OVJ sambil ketawa-ketiwi habis itu main lempar2an gabus…hahahha)

ipiL: Aku lempar kamu pake bakiak dari kayu trus pas itu bakiak mendarat di jidatmu yang luas aku tereak I LOVE U PIL..wkwkwkwk

upiL: Bakiak itu apa pil? (yang lempar kesal dan ndak jd lempar lagi…sambil berkata ’ah, kamu ndak asik, masa mau lempar pake nanya segala’)

ipiL: Uh, masa bakiak aja g tahu! Bakiak itu sodarane bakpia!yang satune dari kayu, yang satu dari kacang ijo *tatapan tajam sambil mengibaskan rambut plus tangan lagi asah clurit*

upiL: Kalo bakiak itu sodarane bakpia, bisa dimakan ndak? (yang mau lempar kesal ’ah ndak asik ndak asik’..sambil matahin clurit yang terbuat dari gabus)

ipiL: *semakin cepat mengasah clurit* Upil terima ini* clurit melayang mengenai jidat dan berdarah*

Dalang (imajinasi upiL): begitulah akhir ceritanya. Sang Raden Mas Abdiz kena clurit boongan dari Nyai Ratu Clurit dr pantai sbelah selatan agak ke kiri dikit..

Di sana gunung di sana gunung. Di tengah2nya Pulau Jawa. Dalangnya bingung, apalagi yang nulis sms ini…makin bingung :p

Franky: Rumah Kita Pancasila

Aku sendiri tak mengenal dengan baik musisi yang satu ini. Terkenal sih, cuman belum jadi salah satu penggemarnya (fanslah mungkin bahasa kerennya). Meski aku tahu bahwa dia adalah seorang penyanyi kondang dan terkenal bersahabat dengan semua orang dari berbagai latar belakang yang berbeda. Franky Sahilatua hari ini mengakhiri perjalanannya di dunia dengan meninggalkan sebuah prasasti (setidaknya buat aku) akan kenyataan bahwa bangsa ini memang berdiri di atas keberbedaan :)

Salah satu lagu dari Franky yang mungkin aku sendiri ndak begitu kenal berjudul ‘Rumah Kita PancasiLa’. Nah, seorang teman memberitahukan kepada saya melalui FB bahwa lagu ini pernah dibawakan oleh Glenn Fredly dalam rangka mendukung perjuangan GKI Taman Yasmin di Bogor yang selama ini (sepertinya) mendapat perlakuan kurang adil terkait pembangunan gereja di tempat tersebut meskipun sudah mendapat keputusan tetap dari MA.

Pancasila rumah kita, rumah untuk kita semua
Nilai dasar Indonesia, rumah kita selamanya
Untuk semua, puji namaNya
Untuk semua, cinta sesama
Untuk semua, warna menyatu
Untuk semua, bersambung rasa
Untuk semua, berbagi rasa
Bagi setiap insan, sama dapat sama rasa

Videonya disini

Selasa, 19 April 2011

Rekonstruksi Pemikiran dengan Kacamata Perempuan


Simone de Beauvoir pernah mengatakan bahwa perempuan haruslah menjadi dirinya sendiri. Perempuan, baginya, selama ini menjadi perempuan dalam konstruksi (bentukan) laki-laki. Perempuan pada akhirnya tidak lagi otonom. Ia menjadi ‘the other’. Dan itu semua disebabkan oleh karena kebertubuhan perempuan. Perempuan menjadi ‘the other’ hanya karena tubuhnya (perempuan). Maka, perempuan haruslah membebaskan dirinya dari bentukan yang datangnya dari luar.

Doa seorang Yahudi misalnya yang luar biasa fanatik berbunyi:
‘Saya berterimakasih kepadamu ya Tuhan karena Engkau tidak menjadikan saya sebagai orang berdosa, pemungut cukai dan perempuan’.
Luar biasa biasnya doa yang seperti ini. Dalam doa ini terlihat bagaimana seorang perempuan adalah hal yang disamakan dengan pendosa. Perempuan dalam masyarakatnya Yesus adalah perempuan yang tak berharga sama sekali dan bahkan kebertubuhan perempuan dianggap sebagai aib. Padahal pada awal kitab kita melihat bagaimana laki-laki dan perempuan diciptakan sama sebagai gambar Allah (Kej. 1:27). Dan nampaknya ideologi Patriarkhi dijadikan sebagai sudut pandang dalam memandang teks-teks yang justru menunjukkan kesetaraan tersebut sehingga perempuan justru dianggap sebagai kelas yang lebih rendah dari laki-laki. Hal ini tidaklah mengagetkan karena lingkungan memang didominasi oleh laki-laki. Maka kacamata yang dipakai adalah kacamata laki-laki.

Silvana seorang dosen teologi di STT Jakarta pernah mengatakan bahwa
‘jadi laki-laki dan perempuan itu merupakan konstruksi gender, dalam kualitas psikologis, moral yang diharapkan berlaku sebagaimana mestinya. seperti laki-laki tidak boleh menangis sebaliknya perempuan boleh’.
Konstruksi yang seperti inilah yang kadang menyebabkan perempuan dianggap sebagai makhluk Tuhan yang lebih rendah dari laki-laki. Mereka di tempatkan sebagai seorang yang interior dan lebih mengutamakan emosi daripada logika. So, anda bisa lihat bagaimana gender dikonstruksi sedemikian rupa sehingga melahirkan ketidaksetaraan. Anda tentu sering menemukan dalam masyarakat kita bagaimana laki-laki dipersepsikan sebagai orang yang tegar dan kalau kelihatan mengeluarkan air mata, itu akan dianggap sebagai yang cengeng dan tidak pantas menjadi laki-laki. Mengeluarkan air mata adalah sesuatu yang sudah ditempelkan kepada perempuan dan bagi masyarakat adalah hal wajar jika perempuan menangis. Lagi-lagi masalah konstruksi bukan? Hal lain misalnya juga kita temukan dalam berbagai kesempatan misalnya ada orang yang bilang kalau ‘pekerjaan dapur’ adalah kodrat perempuan. Hah, kodrat? Kodrat adalah sesuatu yang sudah ada dari sononya. Padahal pekerjaan dapur yang digeluti perempuan adalah konstruksi dan bukan kodrat. Lagi-lagi konstruksi bukan?

Namun, ideologi Patriarkhi ini tidak mesti dipunyai laki-laki. Banyak perempuan juga punya ideologi Patriarkhi. Saya punya teman seorang perempuan yang sudah menamatkan sekolah Teologi. Ketika ia akan melamar sebagai seorang pendeta, ia agak kesulitan karena masih banyak gereja yang belum bisa menerima perempuan sebagai pemimpin gereja. Dan anehnya, penolakan tersebut kebanyakan dilakukan oleh perempuan. Mereka tidak bisa menerima kalau pemimpin gereja itu adalah perempuan.

Anda bisa melihat bahwa penolakan perempuan bukan karena alasan lain, tetapi hanya karena mereka adalah perempuan. Lebih parahnya penolakan terhadap kebertubuhan perempuan didukung oleh perempuan sendiri. Jadi luar biasa ideologi Patriarkhi ini telah tertanam dalam tubuh perempuan sendiri.

Salah satu hal yang bisa kita lakukan untuk mengurangi (dan syukur kalau terhapus) kacamata patriarkhi adalah dengan mempertimbangkan dan menerapkan sudut pandang baru-kaca mata baru dalam melihat teks-teks Alkitab. Sewaktu saya mengikuti kulian Teologi Feminis di S1 dulu selalu ditekankan bagaimana kami harus punya yang namanya ‘sensivitas perempuan’. Anda tidak harus menjadi perempuan untuk melihat dari sudut pandang perempuan.

Tetapi dengan mempertimbangkan pembacaan dari sudut pandang perempuan dalam teks, kita akan terbebas dari sikap dominasi (ideologi patriarkhi) yang kurang memperhatikan sudut pandang perempuan.

Saya memberikan contoh tentang bagaimana melihat teks dari kacamata perempuan yang disampaikan oleh Pdt. Tabitha Kartika Christiani Ph.D, seorang dosen saya di UKDW yang berjudul ‘Kepemimpinan Perempuan: Tinjauan Teologi dan Pendidikan Kristiani: yang disampaikan pada seminar “Gender, Feminist dan Leadership” tanggal 29 Maret 2010 di Aula Rumah Sakit Bethesda, Yogyakarta.

Dia mencontohkan salah seorang perempuan dalam Alkitab yaitu Maria Magdalena. Kebanyakan dari kita menganggap bahwa Maria magdalena adalah pelacur yang pada akhirnya menjadi murid yang ada di sekeliling Yesus. Apakah memang benar Maria Magdalena ini adalah pelacur? darimana kita mendapat informasi ini? Padahal dalam Alkitab tidak ada ayat yang mengatakan bahwa Maria Magdalena adalah seorang Pelacur. Keterangan satu-satunya tentang Maria Magdalena ada dalam Lukas 8:2 yang telah dibebaskan dari tujuh roh jahat. Sama seperti perempuan-perempuan lain yang juga disembuhkan dari roh jahat atau berbagai penyakit. Jadi roh jahat adalah penyakit.

Tetapi heremenutis Feminis yang memakai kacamata perempuan melihat kemungkinan yang lain: Maria adalah pemimpin komunitas Perempuan murid-murid Yesus. Maka nama Maria Magdalena selalu muncul, khususnya di sekitar kematian dan kebangkitan Yesus. Maka terjadi persaingan antara Maria Magdalena dan Petrus: siapa murid Yesus yang terbesar dan pemimpin tertinggi di antara para murid. Dalam persaingan itu Petrus yang menang. Maka Maria Magdalena diberi keterangan: dirasuk tujuh roh jahat, jauh lebih parah dibanding perempuan-perempuan lain. Juga Injil Yohanes ditambahi bagian akhir (pasal 21) yang memulihkan kedudukan Petrus, sehingga ada dua penutup (20:30-31 dan 21:24-25). Dan dalam perkembangannya kita menemukan bahwa ada kitab-kitab di luar Alkitab yang menggambarkan Maria Magdalena sebagai pemimpin, bahkan lebih tinggi dari Petrus. Bahkan Petrus minta Maria Magdalena mengatakan ajaran-ajaran Yesus yang hanya diberitahukanNya kepada Maria Magdalena (Kinukawa:92-123).

Jadi dengan pemaparan ini kita disadarkan bahwa jangan cepat-cepat mengaitkan Maria Magdalena yang adalah perempuan dengan pelacur. sebab Alkitab kita tidaklah pernah mengatakan bahwa Maria Magdalena adalah pelacur.

Maka yang mau saya katakan adalah kebetubuhan perempuan janganlah sampai direndahkan. Kita harus merekonstruksi pemikiran kita selama ini yang sudah sangat patriarkhi sehingga selalu melihat perempuan sebagai makhluk yang lebih rendah dan bahkan tak segan-segan melebelkan mereka dengan sesuatu yang kurang baik-seperti Maria Magdalena adalah pelacur.

Hanya karena Maria Magdalena adalah perempuan maka kita dengan gampang mengatakan ‘oh, dialah pelacur’. Percakapan dengan sudut pandang perempuan haruslah dibangun dengan kritis terhadap kosntruksi-konstruksi dan budaya dalam masyarakat yang sering sekali merendahkan perempuan. Begitupun gereja, harus melakukan pembacaan dari perspektif perempuan agar kita mendapatkan berita Alkitab yang lebih utuh. Kita tentu harus kritis dengan berbagai macam ajaran-ajaran gereja yang tidak menghargai kesetaraan agar kita terhindar dari bias gender dalam masyarakat.

Senin, 18 April 2011

Penjudi vs PendeTa


Seorang penjudi tentu sangat tahu apa baiknya berjudi dan apa buruknya berjudi. Kalo suatu kali dia menasehati anda tentang baik dan buruknya berjudi, sudah tentu didapatnya dari pengalaman dia berjudi.

Tetapi apakah seorang Pendeta atau Pemuka Agama harus berjudi dulu untuk tahu dan merasakan apa baik dan buruknya berjudi? dan kemudian berkhotbah tentang itu…

saya ingat dulu ketika kami harus mengikuti kuliah teologi sosial. kami harus Live-in di sebuah tempat, di sebuah perkampungan yang notabene jauh dari segalanya. Tujuannya adalah agar kami dapat merasakan bagaimana jadi orang susah. Ya, mirip2 acarane ‘jika aku menjadi’.Jadi dari tinggal bersama mereka, kami bisa membangun sebuah refleksi yang memadai tentang itu. Kami diajak untuk semaksimal mungkin merasakan penderitaan sesama dan kemudian bicara tentang itu.

Membangun refleksi seharusnya bertolak dari sebuah pengalaman yang otentik. Bukan dari sesuatu yang abstrak apalagi absurd (apalagi ini). Berapa banyak pemuka agama yang berkhotbah tanpa membangun sebuah refleksi yang memadai ketika dia berkhotbah. Ia bahkan tak pernah melihat kartu remi dan mungkin jika ditanya ‘mengapa joker tak mau sendirian dalam kartu?’ hahahah…so, agaknya saya mau bilang bahwa anda tak harus berjudi untuk berkhotbah tentang baik buruknya berjudi. Tapi setidaknya cobalah beli kartu remi dan perhatikanlah mengapa joker ndak serian dalam kartu tersebut? :D

Sabtu, 02 April 2011

Legend of the Guardians: The Owls of Ga’Hoole


Kata temanku filmnya bagus. Sudah sekian bulan, barulah aku punya kesempatan menontonnya. Itupun hasil copian dari hardisknya temanku itu yang ‘doyan’ ngoleksi film. So, hari ini ada waktu ‘malas’ jadi ya nonton aja (daripada merasa bersalah karena membuang-buang waktu..heheh)

Ternyata film ini tak seperti dugaanku semula. Film animasi yang dikemas (katanya-soalnya nontonnya ndak di Bioskop) dengan 3D ini sungguh tak seperti ekspetasiku sebelum menontonya. Aku menduga temanku mungkin tersihir oleh animasinya yang memang wah sehingga lupa bahwa cerita film ini tak lebih baik (kalau bukan terkesan klise) dari film2 lain yang bercerita tentang kisah kepahlawanan yang lebih menonjolkan kalahnya kejahatan oleh kebaikan. Aku pun menduga bahwa film animasi ini sengaja dikemas tanpa jalan cerita yang berbelit-belit dan justru mencoba memanjakan kita dengan efek2 animasi yang luar biasa. Apalagi ketika di akhir Soren mendadak jadi pahlawan yang luar biasa karena dialah yang membunuh Metalbeak, pimpinan burung hantu jahat. Seolah tak ada proses yang rumit bagi seorang Soren yang pada awalnya begitu susah untuk terbang dan adakadabra dalam waktu singkat ia bisa terbang dan mengalahkan seorang Metalbeak.

Tapi begitulah kisah ini yang dimulai dari sebuah episode menarik tentang dongeng dari ayahnya Soren. Mungkin dunia dongeng pada awal film ini sengaja dimunculkan karena betapa banyak di antara kita begitu tidak percaya dengan dongeng. Bahkan Kludd saudara Soren pun sering menggerutu dengan Soren dan adik perempuannya yang bernama Eglantine yang percaya akan cerita tentang burung hantu penjaga dari kerajaaan Ga’Hoole yang disebut The Guardian. Tetapi ada dialog yang menarik buat saya ketika Kludd mempertanyakan itu kepada ayahnya apakah ayahnya pernah menyaksikan dan melihat sendiri para Guardian tersebut. Jawaban dari ayahnya ‘kamu tidak harus melihat untuk percaya’. Ya pada akhirnya sebuah kisah (dongeng) tidak harus diakui kebenaran ceritanya sendiri tetapi pesan yang mau disampaikan lewat dongeng tersebut.

Sekilas memang ceritanya Klise, namun betapa film ini memberi pesan (yang tidak henti2nya disampaikan) bahwa kebenaran akan mengalahkan kejahatan. Kita hanya bisa memilih apakah kita mau menjadi seorang Metalbeak ataukah dalam diri sendiri kita tumbuhkan sikap mau berkorban untuk sebuah kebenaran dan keselamatan banyak orang. Pesan yang disampaikan sejak zaman dulu bahwa dunia ini adalah medan pertempuran antara yang baik dan yang jahat. Dan film animasi ini agaknya bisa menarik perhatian anak2 dan dengan demikian, sejak usia dini mereka belajar menyadari bahwa dunia yang mereka tinggali memang penuh dengan kejahatan. Mereka hanya perlu berdiri di sisi kebaikan dan menjadi seperti Soren yang mau berkorban untuk itu. Semoga!!


Jumat, 01 April 2011

Ketika NH mendapat espulso



Akhirnya, si NH di’kartumerah’kan oleh si Andi. Kartu merah itulah yang selama ini ditunggu-tunggu oleh banyak penggila bola di Indonesia. Ya mungkin ndak semua...tapi termasuk sayalah....Mengapa? Karena si NH tuh sudah melakukan banyak pelanggaran2 yang membuat kita gerah dan bertanya ‘kok belum juga dikartumerahkan?’ Tetapi setuju atau tidak si NH benar2 melakukan pelanggaran atau tidak toh si Andi sudah ngangkat kartu merah tanda dikeluarkannya si NH dari lapangan PSSI. Dan seperti kebanyakan pemain yang ‘merasa’ dirinya belum melakukan pelanggaran, si NH malah nyerang balik si Andi dan bilang ‘kamu ndak cakap jd menteri. Kepada bapak SBY saya minta pecat si Andi’. Saya hanya membayangkan jika si NH di lapangan hijau, mungkin si wasit bakalan digebukin-atau si NH akan nyuruh official lapangan untuk ganti si wasit karena ‘ndak cakap’..hahahah


Jika anda suka dengan liga Italia, mungkin anda mengenal kata ammonito dan espulso. Biasanya kebanyakan kita mengartikan ammonito dengan ‘kartu kuning’ dan espulso dengan ‘kartu merah’. Namun jika menilik dari arti kata aslinya, ammonito berarti ’memperingatkan’ sedangkan espulso diartikan ’diusir’. Maka dari itu, jika pelanggaran yang dilakukan oleh pemain masih bisa ditolerir maka ia hanya diberi peringatan saja dan mendapatkan kartu kuning. Tetapi jika peringatan itu diacuhkan dan kembali melakukan pelanggaran, tentunya wasit akan bilang ’aku kan sudah peringatkan dikau, kenapa diulangin lagi’. Maka pada saat itulah wasit akan mengeluarkan kartu merah. Atau juga jika pelanggaran dirasa keterlaluan oleh wasit, tentu ia tidak akan mengeluarkan peringatan tetapi langsung mengusir sang pemain dan mendapat kartu merah.


Apa yang terjadi dengan si NH? Si NH ini sebenarnya bukan orang sembarangan meski pernah jadi Napi. Dia pernah menjadi anggota DPR dan (kata temanku) membawa klub PSM menjadi juara Liga Super Indonesia. Meski tanpa prestasi selama di PSSI, di bawah kepemimpinannyalah kita melihat kembali bagaimana masyarakat begitu antusias dengan sepakbola dalam kejuaran AFF beberapa bulan lalu. Meski harus kalah dengan Malingsial, toh banyak diantara kita memberikan apresiasi dengan kerja keras mereka. Entah dukung si NH apa tidak, kita harus mengakui bahwa tentu ada hal positif yang patut kita hargai.


Namun, minimnya prestasi dan banyaknya (katanya) pelanggaran yang dilakukan oleh si NH dan antek2nya, menjadikan para pejabat PSSI ini sebagai sasaran hujatan dari masyarakat khususnya dari mereka yang cinta banget nonton bola...wkwkwkwkwkw...para penggila bola menginginkan si NH mendapat espulso tetapi pemerintah dan FIFA tidaklah demikian. Pemerintah dan FIFA ternyata adalah wasit yang baik meski kadang dicap tidak tegas. Maka meski sudah kacau balau, penuh dengan kebohongan (mengubah statuta FIFA) toh Si NH dan antek2nya hanya mendapat ammonito. Namun kesempatan itu ternyata tidak dimanfaatkan dengan baik. Ricuhnya pelaksanaan kongres di Pekan Baru membuat pemerintah meng’kartumerah’kan si NH dan langsung mendapat espulso.


Andaikan si NH sadar bahwa ammonito itu adalah semacam warning untuk tidak melakukan kesalahan yang sama, mungkin saja ia akan terhindar dari espulso si Andi..mungkin!!


Gambar: www.matanews.com

Selasa, 15 Maret 2011

(membudayakan) budaya instan

Mahasiswa itu gemar makan mie. Mengapa demikian, karena gampang buatnya, tinggal seduh saja, tunggu lima menit selesai. Tetapi yang namanya mie tetap aja mie. belum 10 menit udah lapar lagi. itulah mie, gampang buatnya tapi ndak tahan lama. ia tidak bisa memenuhi keinginan paling dalam dari kita, yaitu hilangnya rasa lapar.

Tidak sedikit orang di negeri ini hidup dalam “budaya instan”. Banyak alasan yang tentunya dijadikan kambing hitam. entah karena perkembangan teknologi yang membantu suburnya budaya instan ini, entah itu tuntutan persaingan yang menjadikah segalanya halal untuk dilakukan. Manusia akhirnya mengingkari kebiasaan buruknya dan mengkambing hitamkan yang lain. tanpa sadar kita hidup dalam dunia yang serba instan, yang akhirnya menjadikan kita sendiri pengennya cepat tanpa harus tahu apakah cara yang kita gunakan tergolong kedalam istilah “halal apa haram”

Budaya ini semakin berakar dalam darah dan daging kita, hingga tak tahu lagi apakah ia sesuatu yang datangnya dari luar diri kita, atau ia telah kita klaim sebagai “bawaan sejak lahir”. Budaya yang semestinya kita tolak, sekarang malah kita klaim sebagai sifat naluri paling dasar dari diri kita, yang otomatis kita anggap sebagai hal yang lumrah. jadi, kalau ada saudara kita yang mirip dengan apa yang kita lakukan, itu tidak menjadi masalah. Toh kita menganggap itu sebagai sesuatu yang dasariah dari orang tersebut. Sama halnya ketika ada orang hidup dalam budaya yang tidak mengutamakan budaya instan, kita pun sama.

Budaya yang dari awal datangnya dari luar diri kita, sekarang mendarah daging dalam diri kita bahkan kita klaim sebagai saudara kandung darah dan daging kita. Akhirnya kita tidak bisa melihat, yang mana yang seharusnya kita tolak dan mana yang seharusnya kita terima. Saudara(entah dekat ataupun jauh) karena punya budaya yang sama, menjadi saudara kandung yang turut serta melestarikan budaya ini. Kita menganggap mereka sebagai teman se-klan, yang seharusnya punya rasa solidaritas satu dengan yang lain.

Fenomena yang paling menarik dalam perkembangan korupsi di negeri ini adalah selalu melibatkan sekelompok orang, tidak satu individu. Hidup dalam sebuah komunitas yang cinta “budaya instan” menjadikan mereka tidak lagi mau saling menegur, malah saling mendukung. Akhirnya, uang orang lain raib dibawa lari. Kebahagian, kekayaan dan sukses bisa diraih seperti membalikkan telapak tangan. Orang gemar ‘potong kompas’ demi meraih untung yang cepat tanpa harus bersusah payah. Ini terjadi juga di beberapa instansi pemerintah. Teman yang ndak pernah mau datang ke kantor, tetapi gaji tetap lancar, ndak pernah mau ditegur. Mengapa? Karena ia punya gen yang sama, satu komunitas, satu klen pencinta budaya instan. Akhirnya, kita tidak lagi bisa melihat pegawai yang menjunjung tinggi aturan main dan etiket tertentu.

Kembali ke mie instan, ia gampang dibuat, ia juga sangat mudah di dapat, tapi ingat ia tidak akan bertahan lama. Ia akan membuat kita lapar lagi. Mungkin bagi sebagian orang korupsi adalah lumrah untuk dilakukan, namun ingat, ia tidak akan bisa memenuhi keinginanmu paling dalam, yaitu kedamaian, damai dengan diri sendiri, keluarga dan orang lain. Budaya instan menyebabkan ‘pendangkalan hidup’. Engkau akan selalu dikejar oleh suara batinmu yang paling dalam. Tidak sedikit para koruptor di negeri ini, sisa umurnya dihabiskan dalam urusan pengadilan dan sel tahanan. Rasa malu harus dihadapi, sebagai tanggung jawab yang awalnya sepele. Mendarah-dagingkan budaya instan sebagai naluri paling dasar.

Lukas 6: 46-49 menyebutkan bahwa rumah yang baik adalah yang fondasinya kuat dan kokoh ketika banjir datang. Sehingga kalo air bah datang apalagi tsunami, ia tetap berdiri kokoh. Begitupun kalo kita hidup dengan dasar yang tidak kuat-seperti mie instan. Ketika banjir datang kita dengan gampangnya ambruk. Persoalan apapun jika kebiasaan menyelesaikannya dengan jalan ‘potong kompas’ akan membuat kita mudah ambruk atas persoalan hidup yang mungkin sepele. Namun penulisis Injil Lukas mengajak kita untuk tidak ‘asal’ namun berjuang untuk memiliki fondasi hidup yang kuat dan kokoh. Keinginan untuk menjadi unggul dan berprestasi seharusnya dibangun atas nilai dan dasar hidup yang kuat!

Minggu, 07 November 2010

The Church’s Witness to Peace


disampaikan oleh Robert J. Suderman [Mennonite Church Canada/ Mennonite World Conference]. Seminar diadakan pada tanggal 29 Oktober 2010 di Kapel UKDW

Ada beberapa hal yang saya kira penting untuk diperhatikan dalam seminar ini.

Di dalam Pendekatan sejarah yang digunakan oleh Robert Suderman menunjukkan bahwa kekristenan telah terdistorsi sebagai agama yang beringas dan barbar. Saling membunuh di antara kelompok-kelompok Kristen ’diaminkan’ hanya karena perbedaan aliran teologis. Sesat menyesatkan, campur aduk dengan kekuasaan menjadikan kekristenan sebagai 'monster' yang menakutkan dan mematikan. ’Kasihilah musuhmu’ tiba-tiba dikembalikan kepada ’bencilah musuhmu’. Dengan mengangkat surat Efesus 2:14-18, Suderman menunjukkan bahwa gereja seharusnya ’mempersatukan’, ’tidak ada tembok pemisah’, dan menciptakan damai sejahtera. Namun apakah tugas gereja ini sudah terlaksana? Suderman sebagai seorang barat mengaitkannya dengan perang dan kekerasan.

Namun, perlu dipikirkan apa tanggapan dari Prof. Banawiratma yang menyinggung konteks Indonesia yang justru kekerasannya bersifat struktural. Dengan menyadari ini, tugas gereja bukanlah semakin mudah tetapi semakin susah karena gereja akan berhadapan dengan kekuasaan dari negara. Dengan semakin banyaknya orang miskin dan diikuti dengan tindakan korupsi para pejabat, gereja mau tidak mau harus berupaya untuk menghadirkan syalom, justru dengan bersedia berhadapan dengan kekuasaan yang menindas tersebut. Tetapi Suderman mengatakan bahwa tugas gereja memang provokatif dan berbahaya.



Memang yang disampaikan oleh Suderman dan Prof. Bana menarik. Tetapi itu sangat terbalik dengan kenyataan. Berapa banyak sih gereja yang berteriak tentang bencana lumpur lapindo? Berapa banyak gereja yang berteriak tentang ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat Papua? Semua diam!! Mengapa? Karena rasa aman itu menyenangkan. Daripada berhadapan dengan kekuasaan negara yang bisa saja mengancam keamanan gereja, gereja lebih memilih menghadirkan syalom khusus bagi dirinya sendiri. Namun apakah itu syalom? Bukankah syalom adalah untuk semua orang? Dengan kenyataan yang seperti ini, gereja sebenarnya ikut andil di dalam ’membunuh’ sesama manusia dengan diam atas tindakan tak berpihak terhadap rakyat. Damai sejahtera yang diawali oleh Suderman ternyata tak bersambut gayung dengan kenyataan masyarakat Indonesia yang semakin menderita. Kata ’damai’ yang terucap lebih dari 100 kali dalam PB saja ternyata belum bisa terwujud dalam masyarakat Indonesia. Sebagaimana dikatakan oleh Suderman, kita harus memikirkan dan merefleksikan ulang tentang tugas panggilan gereja dalam konteks Indonesia. Sudahkah gereja melakukannya???


Hal menarik lainnya dari paparan Suderman adalah ceritanya tentang rekonsiliasi diantara mereka yang selama ini berselisih paham. Dia menyebutkan Katolik-Menonite, Katolik-Lutheran, Lutheran-Menonite, dengan Para pemimpin Islam dunia. Mengapa menarik? Karena inilah yang merupakan perwujudan kerajaan Allah dan damai itu sendiri yang dibawa dan ada dalam diri Yesus. Ia mengembalikan mereka yang semula bermusuh dan saling terpisah. Tetapi tidak hanya sampai di situ, Yesus juga menciptakan satu komunitas baru dimana keterpisahan dan batas-batas sosial dihancurkan. Keberbedaan aliran teologis bukan alasan bagi kita untuk menganggap yang lain sebagai musuh yang harus dihancurkan tetapi justru sebagai sesama mitra Allah yang berusaha mewujudkan syalom di muka bumi. Dan inilah yang dikatakan oleh Suderman bahwa rekonsiliasi dan perdamaian merupakan jantung dari Injil. Desmond Tutu pernah mengatakan ’without forgiveness there is no future’. Dengan paparan Sudermann ini kita melihat sikap positif untuk bersama-sama membangun masa depan yang lebih baik dengan terlebih dahulu masuk dalam proses saling mengampuni.


Martin Luther King Jr berkata”keadilan rasial yang dicapai dengan jalan kekerasan, sama sekali tidak berguna dan tidak bermoral. Kekerasan tidak ada gunanya karena hanya akan menciptakan kebencian yang dibawa turun-temurun yang pada akhirnya menghancurkan semua pihak”. Maka untuk memutus siklus kekerasan, perlu apa yang disampaikan oleh Suderman “jangan membunuh”. Berhentilah!! Jangan memperjuangkan keadilan dengan kekerasan. Dalam kaitan menciptakan ’damai’ dan berusaha membangun komunitas pantang kekerasan, di Indonesia saya kira alangkah lebih baiknya jika membangun kerjasama antar agama sebagai kekuatan civil society dengan bersama-sama berkomitmen untuk menciptakan perdamaian dan menghindari kekerasan. Akhir-akhir ini, perang terhadap terorisme yang dilancarkan oleh pemerintah Indonesia dan terakhir mendapat pujian dari PM Australia Julia Gillard tidak mendapat perhatian dari gereja-gereja di Indonesia dan komunitas-komunitas keagamaan. Mengapa seolah-olah tindakan bersenjata sampai mengerahkan kekuatan yang luar biasa tersebut justru membuat gereja tidak mengambil peran apa-apa? Takutkah berhadapan kekuasan.

Maka dari itu saya kira apa yang disampaikan oleh Suderman bahwa gereja-gereja harus punya visi seperti Yesus yang fokus pada penciptaan kedamaian dan pantang kekerasan. Suderman mengusulkan dengan istilah ‘ecclesial sphere’. Maka dari itu, gereja harus memprakarsai sebuah proklamasi perdamaian melalui tindakannya sendiri. Gereja harus menyadari bahwa inilah tugas dan tanggungjawabnya yaitu dengan menyaksikan Kristus lewat tindakan-tindakannya


Kita jangan lupa bahwa kita masih tinggal dalam dunia yang masih terjangkiti kejahatan. Maka gereja sebagai saksi terus akan bergumul dengan perang dan kekerasan yang selalu akan mengancam usaha perdamaian. Dengan dua dunia yang seperti ini, gereja sebagai yang melanjutkan visi Yesus harus mampu menunjukkan eksistensinya dan bukannya malah tenggelam dalam tindakan-tindakan kekerasan.


Penting juga memperhatikan apa yang disampaikan oleh Suderman yang mengatakan bahwa tindakan kekerasan sering sekali justru mendapatkan legitimasi dari Kitab Suci yang membenarkan tindakan mereka. Maka dari itu, Suderman mengatakan betapa pentingnya ‘hermeneutic suspicion’ terhadap teks-teks yang berbicara tentang perang dan kekerasan. Dengan heremeneutic suspicion, kita akan selalu ‘waspada’ terhadap teks-teks yang terkesan mendukung perang dan kekerasan.


sumber gambar: peacechurch.ning.com

Jumat, 05 November 2010

Budaya Perdamaian


Jika kita kembali pada awal-awal keKristenan nampak bahwa keKristenan sejatinya adalah pacifis. Sebagai sebuah gerakan pacifis, ia tentu tidak berpihak pada perang dan kekerasan apalagi menjadikan perang dan kekerasan sebagai satu-satunya jalan keluar untuk menyelesaikan masalah.
Theodore J. Koontz mengatakan bahwa pacifisme Kristen adalah sebuah bentuk usaha dalam mencapai kemenangan hanya saja kemenangan tersebut mengikuti Yesus sendiri.
Dalam sejarahnya kaum pacifis adalah orang-orang yang ‘aktif’ dalam menentang kebijakan-kebijakan yang merengut kemanusiaan manusia seperti perang, tindakan-tindakan pengekangan dan otoriterisme, penjajahan dsb. Hal ini merujuk pada sikap Yesus sendiri yang adalah seorang pacifis.
Bahkan sebagaimana juga disinggung oleh Theodore J. Koontz, kemenangan Yesus di atas kayu salib adalah bukti bahwa Yesus menang atas kekuasaan. Kekuasaan yang digunakan sebagai alat represif telah dibungkam oleh Yesus yang justru tanpa perlawanan menelanjangi kekuatan dan kekuasaan yang dilakukan atasNya.
Kekuasan yang disebutnya didasarkan atas ketakutan untuk lepas dari kekuasaan itu sendiri telah menyebabkan rapuhnya sebuah pemerintahan. Ketidakmampuan mengatasi ketakutan telah melahirkan kepura-puraan dan pertahanan diri dan kekuasaan yang naif. Dalam hal inilah Koontz mencoba menunjukkan bahwa sejarah telah didominasi orang-orang yang punya mentalitas yang bertolak belakang dengan sikap pacifis Yesus sendiri, dengan asumsi-asumsi bahwa kadang-kadang perang diperlukan untuk untuk melindungi dan menyerahkan tindakan tersebut kepada negara dan penguasa untuk melakukannya yang memang punya kekuatan dan paksaan.

Dalam mengembalikan tradisi pacifis yang sudah ternoda oleh kegetiran dan ego manusia yang ditunjukkan lewat perang dan kekerasan tersebut, Koontz mengajak kita untuk kembali pada ruh pacifis itu sendiri. Disini dia menyebutkan bahwa kita harus terhindar dari berbagai macam ‘ketakutan-ketakutan’ yang sudah mencengkrama kita karena menurutnya perang adalah bentuk ekspresi dari ketakutan yang sudah mendominasi kita. Dalam hal ini dia mengikuti apa yang dikatakan Henri Nouwen yang mengatakan bahwa ‘cinta lebih kuat daripada rasa takut’. Kasih dari Allahlah yang mengusir ketakutan dari dalam diri kita. Mencintai dan berdoa bagi musuh adalah bagian dari sikap Yesus yang perlu dihidupkan. Karena Injil sendiri mengajak kita untuk mencintai, mengampuni dan bahkan berdoa bagi mereka yang menganiaya kita. Dari ini kemudian Koontz menceritakan sebuah cerita yang amat terkenal di dalam tradisi Menonite, seorang yang bernama Dirk Willems. Willems adalah seorang yang mau menunjukkan cintanya terhadap tentara yang mengejar dan ingin menangkapnya tetapi mau tenggelam dalam lapisan es. Willems tidak membiarkannya tenggelam bahkan mengulurkan tangannya untuk mengangkat tentara itu. Meskipun akhirnya Willems dijebloskan kembali ke dalam penjara dan dihukum mati. Ia tahu resiko dari cinta yang ia tunjukkan kepada tentara itu, tetapi Willems tetap memilih untuk mencintai.

Namun Koontz mencoba menunjukkan kepada kita pula betapa Niat baik selalu mendustakan niat tersebut. Niat untuk mencintai dipakai untuk melegalkan perang dengan alasan-alasan tertentu. Seperti untuk menghindari jatuhnya korban, untuk menciptakan perdamaian. Bagaimana kita mau mencintai dengan membunuh. Hal ini nampak misalnya dalam ‘perang terhadap terorisme’ yang diusung oleh Bush. Bagaimana mungkin memerangi terorisme dengan teror itu sendiri. Dalam hal inilah Koontz menurut saya berbeda pendapat dengan Agustinus, dengan justru memberi penekanan kepada tindakan nyata mencari yang terbaik untuk mencintai dan tidak semata-mata didasarkan atas motivasi dan perasaan saja. Tidakkah ini penuh dengan kebohongan? Koontz mengutip Surat Yakobus 2:17 yang mengatakan bahwa ‘Jika iman tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati’. Inilah yang saya kira menjadi poin penting bagi gereja untuk membangun budaya perdamaian. Kualitas iman kita dibuktikan dan nampak dalam tindakan kita sendiri. Karena dengan demikian, kata Koontz kita menyaksikan dan mengkomunikasikan kasih Allah. Artinya, gereja akan mampu menciptakan budaya perdamaian jika gereja sendiri membudayakan iman yang dibuktikan dalam tindakan nyata.

Gereja pada awal kelahirannya memang sudah penuh dengan resiko. Yesus yang adalah tokoh sentral dalam gereja menerima resiko dari sikap mencintai yang ia tunjukkan. Begitu pula dengan martir-martir yang harus menanggung resiko kematian ketika mereka menunjukkan iman mereka untuk mencintai. Mencintai adalah memeluk resiko dan bukan dengan takut kepadanya. Mencintai memampukan kita menciptakan budaya perdamaian. Dan itu mesti ditunjukkan dari kualitas tindakan yang ia lakukan. Dalam dunia yang merasa bahwa perang dan kekerasan akan menyelesaikan masalah dan menciptakan perdamaian, entah itu dengan motif yang baik sekalipun telah menjebak kita masuk dalam siklus perang dan kekerasan yang tidak pernah putus. Pada kenyataannya juga tidak ada teori perang yang telah berhasil menciptakan perdamaian di dunia ini.

Pacifis Kristen haruslah menjadi bagian dari kehidupan gereja itu sendiri. Seringkali menurut Koontz prinsip ini dihadapkan dengan kasus-kasus ekstrim tetapi pada situasi normal, orang sering kali melupakannya. Artinya, sikap pacifis adalah sikap yang menurut saya proaktif dalam menciptakan perdamaian itu sendiri. Ia mulai dari hal-hal yang kecil, dari dalam keluarga, dari sebuah komunitas masyarakat termasuk dalam gereja. Inilah termasuk tantangan yang sering sekali dihadapi oleh mereka yang bersikap pacifis. Padahal tujuan dari pada pacifis itu sendiri adalah bagaimana kita menghidupi diri dan komunitas kita dengan gaya hidup yang berpihak pada yang namanya damai dan nir kekerasan. Pacifis tidak menunggu perang untuk berpihak pada nir kekerasan. Makanya Koontz mengatakan mengapa kita justru tidak berfokus pada diplomasi? Mengapa kita tidak mengarahkan pikiran dan tenaga kita untuk membangun dan memelihara? Mengapa kita tidak menghabiskan uang untuk mendukung PBB membangun perdamaian? Mengapa justru kita menghabiskan uang begitu banyak untuk persenjataan hanya demi pertahan diri sendiri? Hanya dengan meninggalkan ‘rumah ketakutan’ dimana ada kecurigaan, kebencian dan perang dan melangkahkan kaki ke ‘rumah cinta’ dimana ada rekonsiliasi, penyebuhan dan perdamaian, kita bisa hidup.

Gereja, menurut saya harus mampu mengembalikan identitasnya sebagai ‘pembawa damai’ dan membudayakan damai itu sendiri dalam komunitasnya secara konstan dan terus-menerus bahkan ketika harus menghadapi resiko bertalian dengan keamanan diri sendiri. Gereja adalah komunitas yang tidak berfokus pada pertahanan dirinya sendiri tetapi melestarikan kehidupan itu sendiri termasuk di luar dirinya. Gereja sejatinya adalah ‘komunitas pacifis’ yang mengarahkan segenap hati dan pikirannya untuk membangun dan menciptakan perdamaian. Karena kita tidak diciptakan untuk saling perang, saling membunuh dan saling meniadakan, tetapi dengan berpusat pada ajaran Yesus kita diajak untuk hidup dalam masyarakat yang bebas dari rasa takut dan hidup dalam cinta. Kita bisa menyebut Matin Luther King, Thomas Merton dsb adalah orang-orang yang tidak menyimpan Firman Tuhan itu sendiri dalam batas-batas aman dan pribadi saja. Gereja juga seyogiyanya tidak menyimpan Firman itu sendiri pada dirinya sendiri.

Sumber gambar: peacechurch.ning.com