Selasa, 19 April 2011

Rekonstruksi Pemikiran dengan Kacamata Perempuan


Simone de Beauvoir pernah mengatakan bahwa perempuan haruslah menjadi dirinya sendiri. Perempuan, baginya, selama ini menjadi perempuan dalam konstruksi (bentukan) laki-laki. Perempuan pada akhirnya tidak lagi otonom. Ia menjadi ‘the other’. Dan itu semua disebabkan oleh karena kebertubuhan perempuan. Perempuan menjadi ‘the other’ hanya karena tubuhnya (perempuan). Maka, perempuan haruslah membebaskan dirinya dari bentukan yang datangnya dari luar.

Doa seorang Yahudi misalnya yang luar biasa fanatik berbunyi:
‘Saya berterimakasih kepadamu ya Tuhan karena Engkau tidak menjadikan saya sebagai orang berdosa, pemungut cukai dan perempuan’.
Luar biasa biasnya doa yang seperti ini. Dalam doa ini terlihat bagaimana seorang perempuan adalah hal yang disamakan dengan pendosa. Perempuan dalam masyarakatnya Yesus adalah perempuan yang tak berharga sama sekali dan bahkan kebertubuhan perempuan dianggap sebagai aib. Padahal pada awal kitab kita melihat bagaimana laki-laki dan perempuan diciptakan sama sebagai gambar Allah (Kej. 1:27). Dan nampaknya ideologi Patriarkhi dijadikan sebagai sudut pandang dalam memandang teks-teks yang justru menunjukkan kesetaraan tersebut sehingga perempuan justru dianggap sebagai kelas yang lebih rendah dari laki-laki. Hal ini tidaklah mengagetkan karena lingkungan memang didominasi oleh laki-laki. Maka kacamata yang dipakai adalah kacamata laki-laki.

Silvana seorang dosen teologi di STT Jakarta pernah mengatakan bahwa
‘jadi laki-laki dan perempuan itu merupakan konstruksi gender, dalam kualitas psikologis, moral yang diharapkan berlaku sebagaimana mestinya. seperti laki-laki tidak boleh menangis sebaliknya perempuan boleh’.
Konstruksi yang seperti inilah yang kadang menyebabkan perempuan dianggap sebagai makhluk Tuhan yang lebih rendah dari laki-laki. Mereka di tempatkan sebagai seorang yang interior dan lebih mengutamakan emosi daripada logika. So, anda bisa lihat bagaimana gender dikonstruksi sedemikian rupa sehingga melahirkan ketidaksetaraan. Anda tentu sering menemukan dalam masyarakat kita bagaimana laki-laki dipersepsikan sebagai orang yang tegar dan kalau kelihatan mengeluarkan air mata, itu akan dianggap sebagai yang cengeng dan tidak pantas menjadi laki-laki. Mengeluarkan air mata adalah sesuatu yang sudah ditempelkan kepada perempuan dan bagi masyarakat adalah hal wajar jika perempuan menangis. Lagi-lagi masalah konstruksi bukan? Hal lain misalnya juga kita temukan dalam berbagai kesempatan misalnya ada orang yang bilang kalau ‘pekerjaan dapur’ adalah kodrat perempuan. Hah, kodrat? Kodrat adalah sesuatu yang sudah ada dari sononya. Padahal pekerjaan dapur yang digeluti perempuan adalah konstruksi dan bukan kodrat. Lagi-lagi konstruksi bukan?

Namun, ideologi Patriarkhi ini tidak mesti dipunyai laki-laki. Banyak perempuan juga punya ideologi Patriarkhi. Saya punya teman seorang perempuan yang sudah menamatkan sekolah Teologi. Ketika ia akan melamar sebagai seorang pendeta, ia agak kesulitan karena masih banyak gereja yang belum bisa menerima perempuan sebagai pemimpin gereja. Dan anehnya, penolakan tersebut kebanyakan dilakukan oleh perempuan. Mereka tidak bisa menerima kalau pemimpin gereja itu adalah perempuan.

Anda bisa melihat bahwa penolakan perempuan bukan karena alasan lain, tetapi hanya karena mereka adalah perempuan. Lebih parahnya penolakan terhadap kebertubuhan perempuan didukung oleh perempuan sendiri. Jadi luar biasa ideologi Patriarkhi ini telah tertanam dalam tubuh perempuan sendiri.

Salah satu hal yang bisa kita lakukan untuk mengurangi (dan syukur kalau terhapus) kacamata patriarkhi adalah dengan mempertimbangkan dan menerapkan sudut pandang baru-kaca mata baru dalam melihat teks-teks Alkitab. Sewaktu saya mengikuti kulian Teologi Feminis di S1 dulu selalu ditekankan bagaimana kami harus punya yang namanya ‘sensivitas perempuan’. Anda tidak harus menjadi perempuan untuk melihat dari sudut pandang perempuan.

Tetapi dengan mempertimbangkan pembacaan dari sudut pandang perempuan dalam teks, kita akan terbebas dari sikap dominasi (ideologi patriarkhi) yang kurang memperhatikan sudut pandang perempuan.

Saya memberikan contoh tentang bagaimana melihat teks dari kacamata perempuan yang disampaikan oleh Pdt. Tabitha Kartika Christiani Ph.D, seorang dosen saya di UKDW yang berjudul ‘Kepemimpinan Perempuan: Tinjauan Teologi dan Pendidikan Kristiani: yang disampaikan pada seminar “Gender, Feminist dan Leadership” tanggal 29 Maret 2010 di Aula Rumah Sakit Bethesda, Yogyakarta.

Dia mencontohkan salah seorang perempuan dalam Alkitab yaitu Maria Magdalena. Kebanyakan dari kita menganggap bahwa Maria magdalena adalah pelacur yang pada akhirnya menjadi murid yang ada di sekeliling Yesus. Apakah memang benar Maria Magdalena ini adalah pelacur? darimana kita mendapat informasi ini? Padahal dalam Alkitab tidak ada ayat yang mengatakan bahwa Maria Magdalena adalah seorang Pelacur. Keterangan satu-satunya tentang Maria Magdalena ada dalam Lukas 8:2 yang telah dibebaskan dari tujuh roh jahat. Sama seperti perempuan-perempuan lain yang juga disembuhkan dari roh jahat atau berbagai penyakit. Jadi roh jahat adalah penyakit.

Tetapi heremenutis Feminis yang memakai kacamata perempuan melihat kemungkinan yang lain: Maria adalah pemimpin komunitas Perempuan murid-murid Yesus. Maka nama Maria Magdalena selalu muncul, khususnya di sekitar kematian dan kebangkitan Yesus. Maka terjadi persaingan antara Maria Magdalena dan Petrus: siapa murid Yesus yang terbesar dan pemimpin tertinggi di antara para murid. Dalam persaingan itu Petrus yang menang. Maka Maria Magdalena diberi keterangan: dirasuk tujuh roh jahat, jauh lebih parah dibanding perempuan-perempuan lain. Juga Injil Yohanes ditambahi bagian akhir (pasal 21) yang memulihkan kedudukan Petrus, sehingga ada dua penutup (20:30-31 dan 21:24-25). Dan dalam perkembangannya kita menemukan bahwa ada kitab-kitab di luar Alkitab yang menggambarkan Maria Magdalena sebagai pemimpin, bahkan lebih tinggi dari Petrus. Bahkan Petrus minta Maria Magdalena mengatakan ajaran-ajaran Yesus yang hanya diberitahukanNya kepada Maria Magdalena (Kinukawa:92-123).

Jadi dengan pemaparan ini kita disadarkan bahwa jangan cepat-cepat mengaitkan Maria Magdalena yang adalah perempuan dengan pelacur. sebab Alkitab kita tidaklah pernah mengatakan bahwa Maria Magdalena adalah pelacur.

Maka yang mau saya katakan adalah kebetubuhan perempuan janganlah sampai direndahkan. Kita harus merekonstruksi pemikiran kita selama ini yang sudah sangat patriarkhi sehingga selalu melihat perempuan sebagai makhluk yang lebih rendah dan bahkan tak segan-segan melebelkan mereka dengan sesuatu yang kurang baik-seperti Maria Magdalena adalah pelacur.

Hanya karena Maria Magdalena adalah perempuan maka kita dengan gampang mengatakan ‘oh, dialah pelacur’. Percakapan dengan sudut pandang perempuan haruslah dibangun dengan kritis terhadap kosntruksi-konstruksi dan budaya dalam masyarakat yang sering sekali merendahkan perempuan. Begitupun gereja, harus melakukan pembacaan dari perspektif perempuan agar kita mendapatkan berita Alkitab yang lebih utuh. Kita tentu harus kritis dengan berbagai macam ajaran-ajaran gereja yang tidak menghargai kesetaraan agar kita terhindar dari bias gender dalam masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar