Paradoks: Sebuah sikap mengambil jarak
Kesan awal, saya mengira (bahkan mencurigai) Eckhart ini bersifat dualistis (atau setidaknya menganut paham dualistis). Mengapa? Karena Ia [kelihatannya] berusaha mengajak kita untuk mempunyai sikap mengambil jarak atau tidak lekat . Dan kesan ini semakin kuat dalam pemaparannya tentang “Para pedagang dan Sang Perawan/Istri” [h.180]. Labelisasi pedagang sebagai manusia yang menaruh perhatian pada hal duniawi yang selalu mengharapkan imbalan memang identik dengan pedagang. Mereka ingin melakukan tawar-menawar dengan Tuhan [band. h.183]. Eckhart mengatakan bahwa kenisah sama dengan jiwa manusia yang diciptakan menyerupai Tuhan sendiri [h.180-181]. Maka pengusiran para pedagang dari kenisah ditafsirkan oleh Eckhart sebagai keinginan Tuhan agar dalam kenisah yang ada hanyalah Tuhan sendiri. Pengusiran Yesus merupakan gambaran sikap mengambil jarak atau tidak lekat-jiwa manusia harus dibersihkan secara total agar dapat menerima sang Ilahi secara maksimal [h.181]. Manusia harus bebas dari segala macam keinginan agar sang Ilahi sendiri dapat masuk ke dalam kenisah yang adalah [identik] jiwa manusia. Bila Tuhan diharapkan masuk, makhluk harus keluar (h.181]. Eckhart berpendapat bahwa kita harus meninggalkan cara para pedagang (yang sering berbater dengan Tuhan) dan menjadi orang yang mempunyai sikap mengambil jarak serta tidak lekat [h.181]
Namun dalam tulisan selanjutnya, kesan yang mencurigai bahwa Eckhart adalah seorang penganut dualistik ternyata tidak begitu tepat. Hal ini dapat ditemukan dalam tafsirannya terhadap Luk.10:38-39 yang berbicara tentang Maria dan Marta. Tafsir Eckhart justru memperlihatkan bahwa sikap tidak lekat bukanlah sikap yang tidak bersentuhan dengan permasalahan dunia. Dalam tafsirannya, Eckhart justru menempatkan Marta > Maria karena Marta dianggap sebagai perawan sekaligus istri. Marta tidak hanya berpikir tentang mendengar sabda Tuhan, tetapi ia justru melakukan itu dengan melayani tamu-tamunya. Dalam tafsir tradisional, Maria dianggap lebih baik dari Marta karena Maria dianggap lebih memilih mendengar sabda Tuhan. Tetapi menurut Eckhrat, apa yang dilakukan oleh Maria merupakan sikap lekat terhadap apa yang ia inginkan. Karena Maria masih mencari apa yang menjadi keinginannya.
Saya berpikir bahwa Eckhart justru membangun sebuah pemahaman yang sifatnya paradoks. Mengapa? karena dia mencoba menunjukkan bahwa sikap lekat terhadap dunia adalah sikap yang tidak akan membawa kita pada Tuhan sebagaimana adanya Dia. Jadi kita harus lepas dan bebas (atau bersikap tidak lekat). Namun pada saat yang sama Eckhart justru menaruh perhatian yang amat sangat pada permasalahan dunia. Ia mengatakan “Ketika aku sedang bermeditasi, dan pada saat yang sama ada orang miskin yang meminta sop kepadaku, hal yang harus aku lakukan adalah meninggalkan meditasi dan memerhatikan orang miskin tadi [h.197]. Perikop tentang Maria dan Marta merupakan contoh yang sama. Maria dianggapnya sebagai seorang kontemplatif yang menolak kehidupan sehari-hari (sehingga belum sempurna dan dewasa), sedangkan Marta dianggap sebagai seorang yang sudah matang dan sempurna spritualnya [h. 224]. Hal ini dapat dimengerti karena bagi Eckhart sendiri, tujuan transformasi spritual bukanlah kontemplasi, tetapi lebih merupakan hasilnya, yang harus dicerminkan dalam kehidupan sehari-hari [h.224]. Maka menurut saya, pikiran Eckhart tentang sikap mengambil jarak dan tercerminnya sikap mengambil jarak dalam kehidupan sehari-hari adalah sebuah sikap yang paradoks, meskipun merupakan dua hal yang berbeda, namun tetap harus dilihat dalam sebuah kesatuan yang utuh (atau persisnya tidak seperti Maria yang hanya mementingkan kontemplatif saja). Bagi Eckhart inti ketidaklekatan terletak pada konsistensi bahwa-apapun kegiatan dan keadaan lingkungannya-kita melakukan apa yang kita lakukan demi Tuhan, serta hanya demi Tuhan sendiri [h.197]. Dalam kaitannya dengan kontemplatif, Syafaatun mengatakan bahwa konsep Eckhart tentang ketidaklekatan adalah “asketisisme kontemplatif” yang melihat keberadaan dunia dalam keberadaan ilahi, dan dengan demikian tidak menolak dunia [h.198]. Atau dengan kata lain, tidak menarik diri dari dunia, melainkan hidup di dunia, tetapi tidak menjadi bagian dunia [h.226]
Lalu bagaimana dengan kegiatan-kegiatan meditasi, puasa, sujud dsb? Menurutnya, itu adalah cara yang bisa dipakai untuk mencapai sikap tidak lekat. Namun bagi Echart apa yang dilakukan jangan sampai dianggap sebagi ketidaklekatan itu sendiri. Itu dapat membantu. Eckhart menuliskan bahwa jangan sampai orang menemukan jalan tetapi tidak menemukan Tuhan [h.199]. Bagi Eckhart Tuhan bersifat mutlak [h.199]. Atau dalam bahasanya K.H. Mustofa Bisri, kegiatan-kegiatan seperti ini disebut sebagai wasilah (jalan menuju tujuan), sedangkan ghoyahnya (tujuan akhirnya) adalah Tuhan sebagaimana adanya Dia. Jadi, peringatan Eckhart: jangan sampai terjebak dan menganggap bahwa kegiatan-kegiatan tersebut sama dengan Tuhan sendiri.
Membebaskan diri dari Tuhan dan berdoalah kepada Tuhan agar terbebas dari Tuhan
Saya melihat bahwa apa yang disampaikan oleh Eckhart ini sejalan dengan apa yang diyakini oleh Budhist. Beberapa waktu yang lalu saya ketemu dengan penganut Budhist dan mereka mengatakan bahwa mereka bukan tidak percaya kepada Tuhan melainkan "menghindar"kan diri bicara tentang Tuhan. Karena bagi mereka, bicara tentang Tuhan adalah sesuatu yang tidak mungkin. Tuhan lebih besar daripada sebuah konsep yang kita ciptakan. Konsep tentang Tuhan yang selama ini ada adalah konsep yang terbatas dan makanya orang sering sekali berdebat tentang “konsep” ini (cari di kamus kata Tuhan dan itulah Tuhan-sebatas konsep yang justru dibuat oleh manusia sendiri). Perdebatan itu justru membuktikan bahwa konsep kita tentang Tuhan justru terbatas. Padahal kita sedang membuat kesalahan akan Tuhan karena membatasi Tuhan sebatas "konsep". [saya masih ingat beberapa tahun terakhir-dan mungkin sampai sekarang, orang masih berdebat tentang penggunaan nama Allah, dan siapa yang paling berhak menggunakannya]
Echart justru mengajak kita untuk berpikir kembali tentang hal ini dengan mengatakan bahwa kita harus membebaskan diri dari Tuhan [h.232]. Saya melihat bahwa Tuhan yang kita sembah selama ini adalah Tuhan yang "sesuai dengan keinginan kita". Tuhan yang kita ciptakan dan bukan Tuhan itu sendiri. Maka wajar saja jika Echart mengatakan bahwa kita harus membebaskan diri dari Tuhan (yang kita konsepkan) dan beralih kepada Tuhan sebagaimana adanya Dia. Kita tidak boleh berhenti pada Tuhan sebagaimana yang kita yakini selama ini (yang diturunkan lewat tradisi dan pengajaran dan dalam tulisannya syafaatun ada istilah "Tuhan yang terkukung dalam bahasa tertentu, yang telah menghasilkan bentuk kendali sosial tertentu bukanlah Tuhan tetapi telah menjadi ideologi agama [h. 233]) tetapi lebih dari itu kita diharuskan untuk berani “melangkah” dan “melompat” mencari Tuhan sebagaimana adanya Dia. Artinya kita harus berani membebaskan Tuhan (konsep kita) ke Tuhan sebagaimana adanya Dia [band. dengan pengantar Banawiratma yang menyamakan 2 master mistik ini dengan mistik jawa "manunggaling kawula gusti"].
Memang kita tidak bisa begitu saja melepaskan diri dari teks Kitab suci karena justru kita mengenal yang [A]da, meski dalam bentuk konsep justru dari teks tersebut. Artinya, meskipun terkungkung dalam bahasa, budaya, toh kita menjadikannya sebagai bagian dari proses kita untuk mengenal Allah sebagaimana adanya Dia. Saya kira, yang paling penting yang mau disampaikan oleh Eckhart adalah bagaimana kita terus menerus menggali bentuk hubungan kita dengan "TUHAN" demi untuk menemukan Tuhan itu sendiri dalam wajah aslinya. Ketika kita berhenti pada pemahaman yang sifatnya doktriner, maka kita justru menaruh dan membiarkan diri bergantung kepada Tuhan konsep. Eckhart ingin mengajak kita untuk melampaui bentuk hubungan/relasi kita yang stagnan dan tradisional kepada penemuan Allah dalam bentuknya yang asli (mendekati aslinya, sebagaimana adanya DIA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar