Rabu, 28 Oktober 2009

Gagasan Sunder warumbe


Sunder Warumbe adalah gagasan mengenai mencintai Tuhan tanpa alasan mengapa. Hal ini diterangkan oleh Dorothee Soelle bertalian dengan pemikiran Meister Eckhart. Dikatakannya “They alone can teach us how to live, in Meister Eckhart's words, sunder warumbe, without a why or wherefore” (Soelle :p. 59). Mencintai Tuhan tanpa alasan mengapa...aku mencintai Tuhan hanya karena Tuhan sendiri..tidak ada alasan lain kecuali cinta pada Tuhan sendiri..bukan karena aku menginginkan surga..ataupun aku mendapatkan pertolonganNya semata, rejeki yang berlimpah dan kesuksesan dalam hidup..bukan itu..aku mencintai Tuhan hanya karena Tuhan sendiri!

Bagi Eckhart, “hidup tanpa alasan mengapa” berarti hidup dan mencintai seperti halnya Tuhan hidup dan mencintai (Almirzanah: hlm. 203). Sunder warumbe ini sering digambarkan seperti bunga mawar. Dengan mengutip Angelus Silesius dan John Caputto, Almirzanah menuliskan :”Bunga mawar [ada] tanpa alasan “mengapa”, mekar karena mekar. Tidak memerhatikan dirinya sendiri, dan tidak minta dilihat” (Almirzanah: hlm. 203)

Jika kita membuat daftar tentang mengapa kita mencintai Tuhan, maka alasan-alasan itulah yang dihindari dalam sunder warumbe. Bukan karena ini dan itu lalu aku mencintai Tuhan. Bukan karena bahwa Tuhan akan memberkati aku..bukan..bukan itu..tetapi aku mencintai Tuhan hanya karena Tuhan sendiri. Bukan karena imbalan yang akan diberikan Tuhan kepadaku..bukan..tetapi hanya karena Tuhan sendiri...

Tetapi dalam kenyataannya, betapa banyak alasan yang ada di dalam hati dan pikiran kita untuk mencintai Tuhan. Mengapa kita mencintai Tuhan? Karena Ia akan memberikan ini dan itu..Ia akan mencukupi ini dan itu...Jika saya mencintai Tuhan, maka saya akan sukses dalam karir, dalam usaha saya, dalam segala macam keinginan saya. Ada banyak alasan mengapa kita mencintai Tuhan. Akhirnya kita mencintai Tuhan bukan karena Tuhan sendiri tetapi karena sederet alasan tersebut.

Tentu kita tidak bisa menyangkal bahwa kita berharap akan ditolong Tuhan dalam segala usaha kita, dalam segala keinginan kita, dan dalam segala macam pergumulan kita. Tetapi yang diharapkan dari kita adalah agar jangan sampai kita terjebak dalam sederet alasan mengapa kita mencintai Tuhan tetapi hanya karena Tuhan itu sendiri. Cinta kita kepada Tuhan bukan dengan pamrih tetapi karena cinta terhadap Tuhan sendiri. Yang diharapkan dalam gagasan sunder warumbe adalah agar kita tetap mengarahkan diri dan segala macam hal tentang cinta kita “hanya” kepada Tuhan sendiri-bukan karena alasan “mengapa”!

Referensi:
Almirzanah, Syafaatun, When Mystic Masters Meet (Jakarta: Gramedia) 2009
Soelle, Dorothee, The Silent Cry: Mysticism and Resistance (Minneapolis: Fortress Press,) 2001 (Translated by Barbara and Martin Rumscheidt)

Selasa, 27 Oktober 2009

Tanggapan terhadap pikiran-pikiran Meister Eckhart dalam buku SYAFAATUN ALMIRZANAH, PH.D, D.MIN, “WHEN MYSTIC MASTERS MEET”, Gramedia, 2009


 Paradoks: Sebuah sikap mengambil jarak

Kesan awal, saya mengira (bahkan mencurigai) Eckhart ini bersifat dualistis (atau setidaknya menganut paham dualistis). Mengapa? Karena Ia [kelihatannya] berusaha mengajak kita untuk mempunyai sikap mengambil jarak atau tidak lekat . Dan kesan ini semakin kuat dalam pemaparannya tentang “Para pedagang dan Sang Perawan/Istri” [h.180]. Labelisasi pedagang sebagai manusia yang menaruh perhatian pada hal duniawi yang selalu mengharapkan imbalan memang identik dengan pedagang. Mereka ingin melakukan tawar-menawar dengan Tuhan [band. h.183]. Eckhart mengatakan bahwa kenisah sama dengan jiwa manusia yang diciptakan menyerupai Tuhan sendiri [h.180-181]. Maka pengusiran para pedagang dari kenisah ditafsirkan oleh Eckhart sebagai keinginan Tuhan agar dalam kenisah yang ada hanyalah Tuhan sendiri. Pengusiran Yesus merupakan gambaran sikap mengambil jarak atau tidak lekat-jiwa manusia harus dibersihkan secara total agar dapat menerima sang Ilahi secara maksimal [h.181]. Manusia harus bebas dari segala macam keinginan agar sang Ilahi sendiri dapat masuk ke dalam kenisah yang adalah [identik] jiwa manusia. Bila Tuhan diharapkan masuk, makhluk harus keluar (h.181]. Eckhart berpendapat bahwa kita harus meninggalkan cara para pedagang (yang sering berbater dengan Tuhan) dan menjadi orang yang mempunyai sikap mengambil jarak serta tidak lekat [h.181]

Namun dalam tulisan selanjutnya, kesan yang mencurigai bahwa Eckhart adalah seorang penganut dualistik ternyata tidak begitu tepat. Hal ini dapat ditemukan dalam tafsirannya terhadap Luk.10:38-39 yang berbicara tentang Maria dan Marta. Tafsir Eckhart justru memperlihatkan bahwa sikap tidak lekat bukanlah sikap yang tidak bersentuhan dengan permasalahan dunia. Dalam tafsirannya, Eckhart justru menempatkan Marta > Maria karena Marta dianggap sebagai perawan sekaligus istri. Marta tidak hanya berpikir tentang mendengar sabda Tuhan, tetapi ia justru melakukan itu dengan melayani tamu-tamunya. Dalam tafsir tradisional, Maria dianggap lebih baik dari Marta karena Maria dianggap lebih memilih mendengar sabda Tuhan. Tetapi menurut Eckhrat, apa yang dilakukan oleh Maria merupakan sikap lekat terhadap apa yang ia inginkan. Karena Maria masih mencari apa yang menjadi keinginannya.

Saya berpikir bahwa Eckhart justru membangun sebuah pemahaman yang sifatnya paradoks. Mengapa? karena dia mencoba menunjukkan bahwa sikap lekat terhadap dunia adalah sikap yang tidak akan membawa kita pada Tuhan sebagaimana adanya Dia. Jadi kita harus lepas dan bebas (atau bersikap tidak lekat). Namun pada saat yang sama Eckhart justru menaruh perhatian yang amat sangat pada permasalahan dunia. Ia mengatakan “Ketika aku sedang bermeditasi, dan pada saat yang sama ada orang miskin yang meminta sop kepadaku, hal yang harus aku lakukan adalah meninggalkan meditasi dan memerhatikan orang miskin tadi [h.197]. Perikop tentang Maria dan Marta merupakan contoh yang sama. Maria dianggapnya sebagai seorang kontemplatif yang menolak kehidupan sehari-hari (sehingga belum sempurna dan dewasa), sedangkan Marta dianggap sebagai seorang yang sudah matang dan sempurna spritualnya [h. 224]. Hal ini dapat dimengerti karena bagi Eckhart sendiri, tujuan transformasi spritual bukanlah kontemplasi, tetapi lebih merupakan hasilnya, yang harus dicerminkan dalam kehidupan sehari-hari [h.224]. Maka menurut saya, pikiran Eckhart tentang sikap mengambil jarak dan tercerminnya sikap mengambil jarak dalam kehidupan sehari-hari adalah sebuah sikap yang paradoks, meskipun merupakan dua hal yang berbeda, namun tetap harus dilihat dalam sebuah kesatuan yang utuh (atau persisnya tidak seperti Maria yang hanya mementingkan kontemplatif saja). Bagi Eckhart inti ketidaklekatan terletak pada konsistensi bahwa-apapun kegiatan dan keadaan lingkungannya-kita melakukan apa yang kita lakukan demi Tuhan, serta hanya demi Tuhan sendiri [h.197]. Dalam kaitannya dengan kontemplatif, Syafaatun mengatakan bahwa konsep Eckhart tentang ketidaklekatan adalah “asketisisme kontemplatif” yang melihat keberadaan dunia dalam keberadaan ilahi, dan dengan demikian tidak menolak dunia [h.198]. Atau dengan kata lain, tidak menarik diri dari dunia, melainkan hidup di dunia, tetapi tidak menjadi bagian dunia [h.226]

Lalu bagaimana dengan kegiatan-kegiatan meditasi, puasa, sujud dsb? Menurutnya, itu adalah cara yang bisa dipakai untuk mencapai sikap tidak lekat. Namun bagi Echart apa yang dilakukan jangan sampai dianggap sebagi ketidaklekatan itu sendiri. Itu dapat membantu. Eckhart menuliskan bahwa jangan sampai orang menemukan jalan tetapi tidak menemukan Tuhan [h.199]. Bagi Eckhart Tuhan bersifat mutlak [h.199]. Atau dalam bahasanya K.H. Mustofa Bisri, kegiatan-kegiatan seperti ini disebut sebagai wasilah (jalan menuju tujuan), sedangkan ghoyahnya (tujuan akhirnya) adalah Tuhan sebagaimana adanya Dia. Jadi, peringatan Eckhart: jangan sampai terjebak dan menganggap bahwa kegiatan-kegiatan tersebut sama dengan Tuhan sendiri.

 Membebaskan diri dari Tuhan dan berdoalah kepada Tuhan agar terbebas dari Tuhan

Saya melihat bahwa apa yang disampaikan oleh Eckhart ini sejalan dengan apa yang diyakini oleh Budhist. Beberapa waktu yang lalu saya ketemu dengan penganut Budhist dan mereka mengatakan bahwa mereka bukan tidak percaya kepada Tuhan melainkan "menghindar"kan diri bicara tentang Tuhan. Karena bagi mereka, bicara tentang Tuhan adalah sesuatu yang tidak mungkin. Tuhan lebih besar daripada sebuah konsep yang kita ciptakan. Konsep tentang Tuhan yang selama ini ada adalah konsep yang terbatas dan makanya orang sering sekali berdebat tentang “konsep” ini (cari di kamus kata Tuhan dan itulah Tuhan-sebatas konsep yang justru dibuat oleh manusia sendiri). Perdebatan itu justru membuktikan bahwa konsep kita tentang Tuhan justru terbatas. Padahal kita sedang membuat kesalahan akan Tuhan karena membatasi Tuhan sebatas "konsep". [saya masih ingat beberapa tahun terakhir-dan mungkin sampai sekarang, orang masih berdebat tentang penggunaan nama Allah, dan siapa yang paling berhak menggunakannya]

Echart justru mengajak kita untuk berpikir kembali tentang hal ini dengan mengatakan bahwa kita harus membebaskan diri dari Tuhan [h.232]. Saya melihat bahwa Tuhan yang kita sembah selama ini adalah Tuhan yang "sesuai dengan keinginan kita". Tuhan yang kita ciptakan dan bukan Tuhan itu sendiri. Maka wajar saja jika Echart mengatakan bahwa kita harus membebaskan diri dari Tuhan (yang kita konsepkan) dan beralih kepada Tuhan sebagaimana adanya Dia. Kita tidak boleh berhenti pada Tuhan sebagaimana yang kita yakini selama ini (yang diturunkan lewat tradisi dan pengajaran dan dalam tulisannya syafaatun ada istilah "Tuhan yang terkukung dalam bahasa tertentu, yang telah menghasilkan bentuk kendali sosial tertentu bukanlah Tuhan tetapi telah menjadi ideologi agama [h. 233]) tetapi lebih dari itu kita diharuskan untuk berani “melangkah” dan “melompat” mencari Tuhan sebagaimana adanya Dia. Artinya kita harus berani membebaskan Tuhan (konsep kita) ke Tuhan sebagaimana adanya Dia [band. dengan pengantar Banawiratma yang menyamakan 2 master mistik ini dengan mistik jawa "manunggaling kawula gusti"].

Memang kita tidak bisa begitu saja melepaskan diri dari teks Kitab suci karena justru kita mengenal yang [A]da, meski dalam bentuk konsep justru dari teks tersebut. Artinya, meskipun terkungkung dalam bahasa, budaya, toh kita menjadikannya sebagai bagian dari proses kita untuk mengenal Allah sebagaimana adanya Dia. Saya kira, yang paling penting yang mau disampaikan oleh Eckhart adalah bagaimana kita terus menerus menggali bentuk hubungan kita dengan "TUHAN" demi untuk menemukan Tuhan itu sendiri dalam wajah aslinya. Ketika kita berhenti pada pemahaman yang sifatnya doktriner, maka kita justru menaruh dan membiarkan diri bergantung kepada Tuhan konsep. Eckhart ingin mengajak kita untuk melampaui bentuk hubungan/relasi kita yang stagnan dan tradisional kepada penemuan Allah dalam bentuknya yang asli (mendekati aslinya, sebagaimana adanya DIA)

Terasing dengan diriku sendiri...


Suatu waktu..aku merasa terasing dengan diriku...Perasaan terasing ini muncul kadang kala aku melihat diriku. Entah kapan, tapi akhir-akhir ini, hal tersebut begitu sering muncul. Aku menempatkan diriku dengan jelas di luar diriku..dan yang mengerikan..aku [kadang] merendahkan diriku yang aku lihat..dan kemudian mencoba memetakan apa saja kelemahannnya dan mencari tahu mengapa demikian..meskipun kadang tak menemukan jawaban! Relasi aku dengan diriku bukan lagi relasi yang sejajar dan seimbang (meskipun kadang aku bertanya apakah harus demikian)..yang terjadi, aku justru "mengobjekkan" diriku sendiri. Bahkan sampai pada titik tertentu, aku merasa terasing dengan diriku tersebut sampai aku mengatakan...”aku bahkan tak mengenalmu. Mengapa kamu bisa seburuk ini”?

Tujuan awalnya sebenarnya adalah baik. Aku menempatkan diriku di luar diriku untuk mencoba memetakan hal apa saja yang sudah aku lakukan, apakah telah sesuai dengan yang aku inginkan, apakah sudah sesuai dengan tujuan dan visi hidup ke depan. Dalam bahasa lain, momen ini adalah momen refleksi. Aku mencoba berpikir kritis atas diriku, demi menemukan aku yang “mendekati” tujuan hidup yang aku inginkan. Tetapi, momen ini justru membawaku ke dalam pengobjekkan diriku sendiri..ketika aku merasa bahwa ternyata diriku tak lebih baik, tak ada perubahan sama sekali, ketika tujuan hidup yang aku inginkan, jangankan mendekatinya bahkan sekarang aku menemukan tujuan tersebut makin kabur dan tak jelas. Aku kemudian mengolok-olokkan diriku sendiri, menyalahkan diriku sendiri...hingga aku merasa terasing dengan diriku sendiri. Aku bahkan tak mengenalmu..mengapa bisa seperti ini..mengapa kamu bisa seburuk ini???

Aku tidak tahu apakah perasaan terasing ini adalah sesuatu yang alamiah dalam pergulatan batin setiap manusia. Aku tidak tahu!! Yang jelas perasaan terasing ini di satu sisi membawaku ke dalam pengenalan “yang jelas” tentang siapa aku dan apa yang aku lakukan tetapi di sisi lain hal ini menjadikanku merasa terasing dengan diriku: mengapa kamu bisa seburuk ini, hai diriku??

BTI: asLi produk Indonesia


Saya baru saja mendengar lagu Saykoji yang berjudul "Merah Putih". Ada sepenggal kalimat yang menarik perhatian saya yaitu:
Bhinneka Tunggal Ika kami yang pertama

Nah mengapa menarik? Karena seharusnya masyarakat Indonesia sadar betul bahwa sebelum orang mengenal yang namanya pluralisme [atau skarang populer dengan sebutan multikulturalisme] Indonesia sudah mengenal Bhinneka Tunggal Ika [BTI]. Dalam sebuah perbincangan yang diadakan Interfidei, salah seorang peserta mengatakan bahwa Pluralisme atau multikulturalisme adalah barang impor yang sedang ngetren di kalangan segenap elit bangsa ini. Padahal Indonesia justru punya produk sendiri yang jauh lebih dekat dan sesuai dengan jiwa berbangsa dan bernegara yaitu "Bhinneka Tunggal Ika". Barang impor tersebut [pluralisme atau multikulturalisme] sudah berhenti menjadi bahan omongan di tempat asalnya...dan kita sekarang sedang gencar-gencarnya berbicara tentang itu [bukannya saya menolak istilah ini...saya hanya menunjukkan bahwa BTI menjadi jiwa kemajemukan bangsa ini]

Bhinneka Tunggal Ika adalah produk asli Indonesia, yang tidak ada tandingannya di dunia. Kenyataan bangsa ini beraneka ragam telah disadari jauh sebelum orang berbicara pluralisme ataupun multikulturalisme!! Maka marilah berbangga sebagai bangsa Indonesia:) Bhinneka Tunggal Ika..kami yang pertama...

Berdoa tanpa berpikir


Mungkinkah kita berdoa tanpa berpikir...? aku bukan menyangkal apa yang dikatakan r. descartes "Cogito, ergo sum". tentu aku menghargai pikiran. namun, [ter]kadang doa kita terlaLu banyak dipenuhi dengan pikiran-pikiran dan keinginan diri kita sendiri. ketika kita berdoa, kita memenuhi pikiran kita dengan daftar-daftar "beLanjaan" dengan harapan bahwa Tuhan akan mengabuLkannya. doa kita pahami sebagai kesempatan untuk meminta segala hal kepada Tuhan. dan semua itu kita Lakukan dengan berpikir, diLakukan daLam tingkatan kesadaran kita.

yang aku coba sampaikan adaLah mungkinkah kita berdoa daLam tingkatan ketidaksadaran kita..tanpa berpikir, atau juga bisa dengan asal, sesuatu yang sifatnya spontanitas dan tanpa sadar. tanpa peduli dan sadar bahwa ituLah keinginan terdaLam kita....[menurutku] ketidaksadaran membuat doa itu begitu Lugu di hadapan ALLah. sehingga doa yang kita sampaikan tak satupun berbicara tentang isi pikiran kita yang sudah dipenuhi dengan ratusan banyak daftar beLanjaan tetapi ketidaksadaran, doa asaL dan spontanitas itu menjadikan kita Lupa pada diri kita sendiri, pada apa yang kita inginkan dan masuk daLam hubungan intim dengan Tuhan. doa ketidaksadaran membawa kita pada hubungan yang Lepas dari segaLa keinginan kita, dan bersedia berhadap muka dengan Tuhan. mungkin [lagi-lagi menurutku] doa adaLah membiarkan ALLah meLakukan apa yang ia inginkan, bukan memaksakan isi pikiran kita untuk didengarkan oleh ALLah.

sumber gambar: pixabay.com

Senin, 26 Oktober 2009

Pekabaran Injil dan Gereja di Nias dan Pulau-pulau Lain Lepas Pantai Sumatera (1865-sekarang)

Keadaan umum
Yang terbesar dan paling padat pendudukknya di antara pulau-pulau lepas pantai barat Sumatera ialah Pulau Nias (kini sekitar 550.000). Pulau ini, sama seperti kepulauan Batu, pulau Enggano, dan kepulauan Mentawai, baru dijajah orang Belanda sekitar tahun 1900. Sebelumnya, Belanda hanya menguasai daerah di sekeliling Gunung Sitoli. Penduduknya, khususnya di pulau Nias, tidak menjadi pelaut, tetapi hidup dari usaha bercocok-tanam (Nias) atau dari pemberian alam (Mentawai). Maka masyarakatnya bersifat tertutup dan adat serta agama turun-temurun berpengaruh besar. Di semua pulau itu terdapat sejumlah pendatang dari Sumatera Barat yang beragama Islam. Daerah Nias Utara berbeda dari Nias Selatan dalam hal logat bahasa dan adat.

Permulaan usaha pI
Akibat perang Hidayat (§ 23), sekitar tahun 1860 beberapa tenaga RMG kehilangan tempat kerja. Salah seorang di antara mereka bernama E.L. Denninger. Sebelum diutus ke Kalimantan ia pun telah menjadi tukang sapu cerobong asap rumah-rumah di Berlin. Oleh Pengurus RMG di Barmen, Denninger disuruh pergi ke tanah Batak, tetapi karena istrinya sakit ia terpaksa tinggal di Padang. Di sana ia menjalin hubungan dengan orang-orang Nias di perantauan. Namun, ia sampai ke kesimpulan bahwa lebih bermanfaat kiranya kalau pergi ke Nias sendiri. Pada tanggal 27 September 1865 Denninger mendarat di Gunung Sitoli. Sebelumnya dua Misionaris (Katolik) bangsa Perancis pernah bekerja di Nias (1832-1835), namun karya mereka tidak meninggalkan hasil yang nyata.
Perluasan sampai tahun 1890
Selama 25 tahun pertama (1865-1890), usaha pI di Nias tetap terbatas pada daerah kekuasaan Belanda di sekitar Gunung Sitoli di pantai timur. Pada hari raya Paskah 1874, pertama kali dilayankan sakramen baptisan kepada 25 orang Nias. Pada tahun 1890 jumlah orang Kristen telah meningkat menjadi 706 jiwa. Meskipun demikian, dalam masa itu telah diciptakan sarana-sarana yang memungkinkan perluasan di kemudian hari. Pertama, orang Kristen Nias telah belajar untuk ikut aktif mengabarkan Injil. Salah seorang tokoh Nias yang berperanan besar dalam usaha pI ialah kepala kampung, Ama Mandranga. Di samping itu, terdapat guru-guru serta penatua-penatua yang diangkat oleh zendeling. Pada tahun 1882 didirikan sebuah lembaga pendidikan guru. Tetapi menonjollah bahwa penduduk Nias kalau meminta tenaga penginjil, lebih mengharapkan kedatangan seorang zendeling bangsa Eropa daripada tenaga sesuku mereka. Namun, para zendeling sadar akan peranan penting pembantu-pembantu mereka itu, sehingga mereka tetap berupaya meningkatkan wewenang pembantu itu di mata orang Nias. Pun upaya supaya jemaat-jemaat Nias menjadi swadaya telah dimulai agak dini. Sarana yang hendak disebut terakhir ialah penerjemahan Alkitab dan buku-buku lain ke dalam bahasa Nias (Utara) oleh pekabar Injil H. Sundermann, dengan bantuan Ama Mandranga dan beberapa orang Nias lannya (Injil Lukas, 1874; PB, 1891).
Perluasan 1891-1916
Dalam masa 25 tahun berikutnya, usaha pI maju dengan lebih cepat dan sarana-sarana tersebut di atas diperluas. Sebelum perluasan wilayah kekuasaan Belanda berlangsung, zending sudah maju ke Nias Barat (1892) dan Tengah (1895). Sebaliknya, daerah Nias Selatan dan Utara baru dapat ditempati pekabar Injil setelah ditaklukkan oleh gubernemen. Jumlah orang Kristen meningkat dari 706 menjadi 20.000 pada tahun 1915. Sementara itu, para zendeling menambahkan pada jumlah para guru dan penatua menjadi hampir 500. Diciptakannya pula jabatan sinenge ("rasul"), yang melayani jemaat-jemaat yang tidak mempunyai sekolah. Pada tahun 1906 ditahbiskanlah pendeta Nias yang pertama. Terjemahan seluruh Alkitab selesai dicetak pada tahun 1913. Bidang kegiatan para zendeling luas sekali: mereka membangun jalan-jalan, mendirikan bank tabungan, membuka kebun-kebun kopi, semua dalam rangka melicinkan jalan bagi usaha pI dan meningkatkan daya ekonomi jemaat Kristen. Berkat usaha mereka di bidang kesehatan, jumlah orang Kristen meningkat oleh pertumbuhan alamiah (masih terlepas dari masuknya orang yang bukan Kristen), sedangkan jumlah penduduk pulau Nias dalam keseluruhannya menurun akibat penyakit-penyakit menular. Dalam pada itu, para zendeling masih kurang senang melihat keadaan jemaat secara batin: penyalahgunaan minuman keras, kekacauan di bidang perkawinan, keengganan untuk memberi sumbangan berupa uang atau benda bagi kehidupan jemaat, masih merajalela. Pun mayoritas orang Nias tetap menolak Injil. Kata seorang zendeling. "Saya merasa bagaikan ular yang berusaha menggigiti besi".
Kebangunan besar
Lalu berlangsunglah gerakan yang, melihat luasnya dan sifatnya yang khas, boleh dikatakan unik (tiada bertanding) dalam sejarah Gereja. Gerakan itu bertolak di jemaat Helefanicha, dekat Humene. Pada tahun 1916 seorang anggota jemaat terpukau oleh Firman Tuhan yang telah didengarnya di gereja. Di dalam hatinya bertumbuh kesadaran bahwa dirinya tidak layak hadir di hadapan Allah dan bahwa karena dosanya tak mungkin ia masuk ke Kerajaan Allah, tetapi harus dibuang ke neraka. Oleh karena itu, orang tersebut menangis terus-menerus. Karena diduga sakit, teman-temannya membawa dia kepada zendeling di Humene. Tetapi zendeling itu berasal dari kalangan pietis di Jerman, sehingga gejala tersebut tidak asing baginya. Maka dinyatakannya bahwa orang yang bersangkutan bukannya sakit, apalagi sakit jiwa, melainkan berbuat demikian karena menyesali dosanya dan bahwa penyesalan itu telah dikerjakan Tuhan di dalam hatinya. Lalu ditegaskannya kepada orang itu, bahwa ia harus membenahi hubungannya dengan orang-orang yang terhadapnya ia telah bersalah. Tetapi ketika orang yang menyesal itu berbuat demikian maka orang lain, yang kepadanya dimintanya ampun, mulai menangis pula karena menyadari dosanya sendiri. Peristiwa itu terulang terus, sehingga makin banyak orang yang terkena. Para zendeling dan penghantar jemaat kewalahan melayani semua orang yang datang kepada mereka memohon bimbingan. Orang-orang itu baru menjadi tenang setelah dalam hati mereka mendapat tanda yang memastikan keampunan dosa kepada mereka. Setelah dengan demikian mereka dibebaskan dari beban dosa, wajah mereka bersinar karena gembira, dan mereka menempuh kehidupan baru.
Hasil-hasilnya
Kebangunan yang berlangsung selama sepuluh tahun lebih itu membawa hasil besar bagi kehidupan jemaat, untuk perseorangan dan untuk persekutuan. Orang menghayati agama Kristen secara lebih mendalam; kabar kesukaan tentang keampunan dosa telah menjadi kenyataan hidup bagi mereka. Pergaulan antara sesama anggota jemaat menjadi santai, bebas, tidak lagi dibuat kaku oleh kenangan akan kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan oleh anggota yang satu terhadap yang lain. Kehidupan persekutuan jemaat diperkaya, sebab, daripada bersikap pasif sambil menunggu tindakan penghantar jemaat, kini anggota jemaat ikut serta dalam segala macam kegiatan persekutuan. Berbagai karunia menyatakan diri, seperti karunia kenabian (1 Kor. 12:10), penyembuhan melalui doa, mimpi-mimpi, keadaan ekstatis. Lahirlah juga sejumlah besar lagu gereja yang baru. Orang melakukan doa syafaat yang satu untuk yang lain. Kuasa adat berkurang. Anggota jemaat bergairah mengabarkan Injil kepada yang belum menerimanya dan mereka ini tertarik pula oleh kehidupan jemaat yang penuh anugerah itu, sehingga jumlah orang Kristen berlipat ganda, dari 20.000 (1915) menjadi 85.000 (1929). Sejumlah anggota jemaat yang berbakat dan giat dapat diangkat menjadi sinenge (guru Injil). Haruslah diakui bahwa di tengah suasana yang penuh emosi itu adakalanya terdapat pula gejala-gejala yang negatif, seperti pembunuhan diri karena putus asa, pemusnahan barang karena hari akhirat dianggap sudah dekat, munculnya nabi-nabi palsu.
Hasil jangka panjang
Sesudah sepuluh tahun, gerakan kebangunan yang besar itu mereda. Lalu dalam banyak hal keadaan semula berlaku kembali. Jemaat kembali menjadi pasif, kerelaan berkorban bagi kehidupan jemaat menghilang lagi, disiplin gereja perlu diterapkan lagi, adat kembali berkuasa di atas hukum Kristen (khususnya dalam hal mas kawin/jujuran yang terlalu tinggi). Dalam dasawarsa-dasawarsa yang kemudian, sebagian dari massa yang masuk Kristen malah memisahkan diri atau berhasil ditarik oleh misi Katolik. Keadaan ini mungkin disebabkan oleh karena kecilnya jumlah para zendeling dan tenaga terdidik bangsa Nias, sehingga sebagian besar orang Kristen yang baru itu tidak sempat menerima pengajaran secara intensif tentang iman Kristen. Setelah luapan emosi berhenti, agaknya tidak ada pengetahuan serta pengalaman Kristen yang dapat menjadi patokan pada jalan yang ditempuh, sehingga kesimpangsiuran tidak bisa dielakkan. Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa peristiwa kebangunan besar kebangunan besar (bahasa Nias: fangesa sebu´a) itu ada pula hasilnya yang tetap. Seperti yang dikatakan seorang Nias, "Injil yang tadinya baru sampai ke kulit kami, kini telah masuk ke dalam hati kami. Seandainya bapak-bapak meninggalkan kami pada tahun 1914 (tahun permulaan Perang dunia I), maka mungkin agama Kristen akan hilang lagi dari Nias. Kini Injil akan tetap tinggal di pulau kami."
Gereja berdiri sendiri (1930/40)
Setelah gerakan kebangunan mereda, para zendeling mulai memikirkan kemandirian gereja. Pada tahun 1936 selesailah mereka merancangkan tata gereja. Lalu diadakan sinode Banua Niha Keriso Protestan (BNKP) yang pertama (November 1936). Sinode itu menerima tata gereja yang telah dirancangkan. Keinginan Pengurus RMG di Barmen supaya semua pekabar Injil bangsa Eropa otomotis menjadi anggota sidang sinode dipenuhi; sebaliknya para zendeling menolak permintaan orang Kristen Nias, agar setiap distrik gereja diperbolehkan mengutus seorang tokoh masyarakat (seorang kepala suku) ke sinode sebagai anggota yang berhak penuh. Pada tahun 1940, semua zendeling bangsa Jerman ditawan oleh gubernemen (§ 41,42). Maka fungsi ketua sinode (Ephorus) diambil alih oleh serang pendeta Nias, bernama Atefona Harefa. pada tahun 1942, para pendeta Belanda yang telah menggantikan orang Jerman yang ditawan itu diinternir pula oleh penguasa Jepang. Maka gereja harus benar-benar berdiri sendiri. Barulah pada tahun 1951 seorang utusan zending dari Jerman (seorang dokter) kembali bekerja di Nias, disusul oleh sejumlah orang Eropa yang lain. Namun, kedudukan mereka ini berbeda dengan kedudukan para zendeling sebelum perang: mereka mendapat status "penasihat".
Gerakan kebangunan baru
Setelah kebangunan mereda, rasa rindu akan terulangnya pengalaman yang hebat itu tidak pernah hilang lagi. Dalam tahun ´30-an, dan terutama pada masa perang yang penuh sengsara itu, timbullah gerakan-gerakan baru yang serupa. Hanya, yang menjadi pusat perhatian dalam gerakan-gerakan ini bukanlah pengampunan dosa, melainkan karunia-karunia Roh dan mukjizat-mukjizat. Terdapat karunia bercakap-bercakap dengan bahasa roh (karunia lidah); di dalam ibadah orang secara mendadak mulai gemetar atau berseru-seru (gejala ekstase). Daripada memperkuat persekutuan gereja, gerakan-gerekan ini mengoyak-ngoyakkannya, sebab menjadi biang perpisahan. Gelombang pertama gerakan kebangunan telah menjadikan BNKP sebagai gereja-rakyat di Nias, tetapi gelombang berikutnya merusak kesatuan gerejawi di pulau itu.
Gereja-gereja di samping BNKP
Pada tahun 1933 gerekan Fa´awosa (=persekutuan) mulai memisahkan diri dari pimpinan zending (kemudian BNKP), karena penganutnya menganggap harus mematuhi suara yang langsung diterimanya dari Roh lebih daripada aturan gerejawi. Setelah melepaskan diri dari induk maka kelainan-kelainan yang muncul tidak mungkin lagi diimbangi pengaruh dari saudara Kristen yang berpendapat lain; akibatnya dalam gerakan Fa´awosa itu (yang kemudian pecah menjadi beberapa kelompok) unsur-unsur agama Kristen semakin tercampur dengan unsur-unsur Islam dan agama suku. Pada tahun 1946 berdirilah kelompok lain, yaitu Angowuloa Masehi Idanoi Niha (kemudian namanya diubah menjadi: Agama Masehi Indonesia Nias, kemudian lagi: Gereja Angowuloa Masehi Indonesia Nias, AMIN juga). Akar perpecahan ini bukanlah gerakan kebangunan, melainkan soal wewenang para kepala suku di dalam gereja, yang muncul pada tahun 1936 itu. Dalam gereja AMIN pengaruh kepala suku itu besar. Hal ini mengingat kita akan bentuk gereja dalam lingkungan suku-suku German di Eropa (tahun 500-1000). Pada tahun 1950 sekali lagi segolongan orang Kristen di Nias Barat memisahkan diri dari BNKP, dengan nama Orahua Niha Keriso Protestan (ONKP). Dalam hal ini soal kedaerahan memainkan peranan disamping unsur kebangunan. Di Nias Selatan, unsur kedaerahan itu ditampung juga oleh misi Katolik Roma, yang mulai bekerja di situ pada tahun 1939. Baik ONKP maupun gereja Katolik Roma kemudian meluas ke seluruh wilayah pulau Nias sambil menyaingi BNKP. Namun, pada akhir abad ke-20 BNKP tetap merupakan gereja mayoritas penduduk Nias, dengan jumlah anggota ± 325.000 (60% penduduk pulau Nias). Di antara gereja-gereja yang telah memisahkan diri dari BNKP, tiga telah diterima menjadi anggota PGI, yaitu AMIN (18.000 anggota), ONKP, dengan 60.000 anggota, dan Gereja Angowuloa Fa´awosa Kho Yesu (AFY, 32.000 anggota). Gereja Katolik Roma di Nias berjumlah 90.000 jiwa.
Kepulauan Batu, Mentawai
Penduduk kepulauan Batu sebagian besar terdiri dari suku yang serumpun dan sebahasa dengan penduduk Nias. Usaha pekabaran Injil dimulai pada tahun 1889 oleh Lembaga pI Lutheran di Negeri Belanda (§ 30). Pada masa perang, gereja di situ berdiri sendiri di bawah pimpinan seorang kepala suku; seusai perang orang Kristen di Kepulauan Batu bergabung dengan BNKP. Mengenai permulaan karya pI di Mentawai terdapat kisah sebagai berikut. Menjelang tahun 1900, pimpinana RMG di Barmen mendapat kiriman sebilah tombak, yang disertai surat dari syahbandar Padang (seorang Belanda), "Dengan tombak ini orang Mentawai telah membunuh seorang awak kapal dagang. Penduduk pulau itu masih orang kafir yang buas semua. Masih berapa lama lagi sampai mereka sempat medengar Injil?" Dengan demikian RMG tergugah untuk mengutus seorang zendeling, August Lett (1901). Ia ini dibunuh pada tahun 1909, pada saat hendak mengantarai pertempuran yang mengancam antara penduduk Mentawai dengan pasukan Belanda (bnd. § 39). Dengan bantuan guru-guru serta pendeta-pendeta Batak, di masa kemudian berhasil didirikan sejumlah jemaat. Gereja Kristen Protestan Mentawai (GKPM) berdiri sendiri pada tahun 1968. Walaupun dihimpit oleh usaha yang kuat dari pihak Islam dan misi KR, namun kini (1997) gereja ini meliputi 75% penduduk Mentawai, yaitu 24.000 jiwa lebih.

Artikel ini diambil dari :
End, Dr. Th. van den. 2001. Ragi Carita 2. PT BPK Gunung Mulia, Jakarta. Halaman 211-217.

Mencintai Tuhan: bersedia menanggung resiko!


Pernahkan kita bertanya: bagaimana mungkin kita bisa mencintai Tuhan sedangkan Ia tidak pernah kita lihat dengan kasat mata? Bagaimana mungkin kita menaruh rasa percaya kepada Dia, sedangkan Dia tidak pernah berhadap muka dengan kita...Tetapi mengapa kita begitu yakin kepada Tuhan dan bahkan menyerahkan segalanya kepada sosok yang belum kita lihat ini...

Mencintai Tuhan adalah mencintai yang tidak kelihatan, dan itu adalah sebuah resiko. Mencintai adalah sebuah resiko..memutuskan untuk mencintainya adalah resiko..mengambil sikap untuk menyerahkan segala sesuatunya kepada Dia adalah sebuah resiko..mengapa kita melakukan itu semua? karena kita [merasa] mencintaiNya..kita akan melakukan apapun demi itu...mencintainya adalah resiko..cinta kepada Allah penuh dengan resiko.

Tuhan adalah misteri..namun mengapa dunia ini menaruh keyakinannya kepada sosok yang tidak pernah kelihatan ini...tidak ada yang tahu..kita bisa mengatakan bahwa kita sudah dilahirkan untuk itu...ada yang bilang karena [bisa] merasakanNya meskipun tidak pernah melihatnya..ada yang bilang karena penyebab utama dunia ini adalah Dia..lalu sebagian lagi mengatakan..karena Tuhan itu ada dalam hatiku dan itu menggerakkan aku untuk mencintaiNya...namun tetap saja Tuhan adalah misteri dan tidak pernah kelihatan.

Entah apapun itu, ketika kita memutuskan untuk mencintai Tuhan itu adalah sebuah resiko..Kita tidak pernah tahu siapa dan bagaimana bentuk dari sosok misteri ini..kita tidak tahu entah apa yang akan terjadi..kita akan tetap menaruh cinta pada sosok misteri ini...mencintai Tuhan adalah kesediaan untuk menanggung resiko, Entah apapun itu?? Tidak mudah untuk melakukannya.. pengalaman dengan Dia terkadang begitu menyakitkan sehingga kita terkadang dan bahkan sering menjadikanNya sasaran amarah dan protes..Tapi sekali lagi..kesediaan untuk mencintaiNya berarti bersedia untuk menanggung resiko, apapun itu!

sumber gambar: pixabay.com