Dalam kamus bahasa Indonesia, kata toleran (toleransi) diartikan sebagai sikap tolerir terhadap apa yang dikukan orang lain. Dari kata ini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kata toleran berkaitan dengan sikap kita yang “membiarkan” orang lain melakukan apa yang ingin ia lakukan. Kita membiarkan orang lain bersikap dan bertindak.
Kata toleran inilah yang sering kita dengar dalam berbagai media massa dan tv ketika sudah berbicara soal keyakinan (baca: agama) yang berbeda. Kata toleran menjadi tumbuh subur, mengingat potensi konflik dalam hubungannya dengan agama sangat santer untuk dibicarakan. Tidak sedikit dari kita untuk mengatakan “toleran” terhadap keyakinan orang lain.
Namun, dari kata inilah kita justru dibawa masuk dalam sebuah situasi yang “hanya” sekedar tolerir terhadap orang lain. Membiarkan orang lain melakukan kegiatan keagamaannya, melakukan ritual keagamaan. “membiarkan” inilah yang selalu kita pegang, demi menjaga kedamaian dan terhindarkan dari berbagai ancaman kekerasan dan keributan. Akhirnya, kita hanya melihat orang lain dari jauh, tak bersentuhan dengan mereka, karena membiarkan menjadikan kita tolerir terhadap tindakan orang lain.
Dalam tolerir tidak ada penghargaan, tidak ada pengenalan (saling kenal). Yang ada hanyalah sikap yang “membiarkan” orang lain melakukan sesuatu selama itu tidak bersinggungan dengan kepentingan dan kebebasan kita. Apakah sikap yang demikian yang diperlukan? Apakah toleran saja cukup untuk membangun masyarakat Indonesia yang majemuk?
Tidak, kita tidak hanya butuh “pembiaran” tetapi kita butuh pengenalan dan pemahaman. Hanya dengan mengenal dan memahamilah kita bisa menghargai. Toleran adalah pembiaran dan bukan penghargaan!
If someone ask about ur wife u may say "oh she doesn't work" but open wide ur eyes I'm truly a slave in the kitchen in the factory not a soul to help me dirty pots brooms brushes are all that stand around me all the time
The day begins amidst the wails of the young ones
"are my clothes washed?" "mother, clean me" "Please, mother, comb my hair"
"did u buy my book?" "a pencil, i need a pencil" "come on soon, u must take ur medicine" "listen, is the meal ready?" "it's very late...where's my lunch?" "My shirt is crushed, quick, just run the iron over it gosh-aren't my shoes polished yet? what a slow coach this woman is!"
At last they've all gone i'm late too looks like i've missed the train crept onto a bus after waging a last fight, stood on one foot clinging like a bat to the pole and who is this leaning against me fun for them-agony for us and if i don't make it to the market in the evening we'll starve tomorrow
Here he comes, my man, staggering home after work and maybe next he'll be punching me like a sack of grain
My body collapses unable to bear all this and yet I rise again and again to clean the house and wash the clothes no rest for me
And then the night shift and of course overtime that must be done some of my precious hours of rest are swallowed up there
Truly I am a machine in the domestic factory engaged in non-stop production
When will ur ever realize that woman belongs to that category of workers who are truly essential for society to survive
[This poem was published by the woman's education and training Institute in Sri Langka on a leaflet distributed on the International Woman's Day in 1992]
We shall overcome, we shall overcome, We shall overcome someday; Oh, deep in my heart, I do believe, We shall overcome someday.
The Lord will see us through, The Lord will see us through, The Lord will see us through someday; Oh, deep in my heart, I do believe, We shall overcome someday.
We're on to victory, We're on to victory, We're on to victory someday; Oh, deep in my heart, I do believe, We're on to victory someday.
We'll walk hand in hand, we'll walk hand in hand, We'll walk hand in hand someday; Oh, deep in my heart, I do believe, We'll walk hand in hand someday.
We are not afraid, we are not afraid, We are not afraid today; Oh, deep in my heart, I do believe, We are not afraid today.
The truth shall set us free , the truth shall set us free, The truth shall set us free someday; Oh, deep in my heart, I do believe, The truth shall set us free someday.
We shall live in peace, we shall live in peace, We shall live in peace someday; Oh, deep in my heart, I do believe, We shall live in peace someday.
Lagu ini membuat aku terharu. Lagu ini memang tercipta oleh Martin Luther King dalam usahanya melawan praktek diskriminasi di Amerika. Andai saja kita sadar bahwa ke'damai'an itu jauh lebih penting dari pada menganggap yang lain musuh. Andai saja kita mau mengaggap yang lain sebagai saudara. Tetapi sebagaimana lagu ini bilang, suatu hari nanti kita akan hidup dalam damai. Karena dalam dunia yang begitu gelap, masih ada orang-orang yang berjuang untuk menciptakan damai
Kenyataan Alkitab penuh dengan teks-teks yang berbau kekerasan, perintah perang, keterlibatan YHWH dalam perang, masalah perbudakan, dominasi terhadap perempuan dsb. hal-hal ini menyebabkan di satu sisi ada yg menganggap bahwa kewibawaan Alkitab tidak ada. tetapi ada yang mengatakan bahwa itulah konteks masyarakat waktu itu. Alkitab justru dengan jujur meceritakan realitas yang ada.
Tetapi bagaimana kemudian kita memahami cerita-cerita ini dengan konteks sekarang. Bagaimana kita membaca teks. Apakah kita membiarkan teks berbicara ataukah kita yang memasukkan makna ke dalam teks. Inilah yang disebut proses hermeneutis. Proses hermeneutis menjadi penting dalam membaca teks-teks tersebut.
Maka teks-teks itu perlu di tempatkan dalam konteksnya. KIta harus mengerti dengan baik konteks tersebut apalagi cerita-cerita itu terjadi 2000 tahun yang lalu, jauh dari konteks kita sekarang.
Bagi saya sendiri, kekerasan adalah bencana, dan yang namanya bencana, ia butuh bantuan ‘segera’ dan ‘mendesak’ untuk diselesaikan. Mengapa? Karena kekerasan hanya akan mengakibatkan luka, tidak hanya pada pihak korban tetapi kepada ke’manusia’an itu sendiri. Kekerasan, dalam bentuk apapun adalah sikap merendahkan ke’manusia’an itu sendiri, yang justru oleh Tuhan, dibentuk ‘segambar’ dan ‘serupa’ dengan Dia. ketika kita melakukan kekerasan, bagi saya itulah ketika kita merusak gambar Allah yang ada dalam diri kita. Apalagi dalam masyarakat yang sangat majemuk dan heterogen, seperti Indonesia, kekerasan mudah sekali muncul, terutama karena ‘saat ini’ kekerasan sudah tidak lagi bertalian dengan apakah seseorang beragama apa tidak, toh semua orang [dari pengamatan saya] punya potensi untuk melakukannya. Apalagi jika sudah terkait dengan berbagai macam kepentingan entah itu ekonomi dan kekuasaan.
Saya melihat bahwa keKristenan yang kita dapati sekarang kenyataan telah dipengaruhi oleh persoalan politis dan kekuasaan. Di awal keKristenan, keKristenan jelas adalah pasifisme. Mereka menjunjung tinggi sikap Yesus yang tak melakukan perlawanan apapun bahkan ketika kesempatan itu datang. Yang dilakukannya justru melampaui apa yang normatif. Memang kita perlu melihat bagaimana konteks gereja perdana waktu itu yang berhadapan keyakinan-keyakinan mereka berhadapan dengan banyak hal semisal kekaisaran romawi, penganiayaan yang terjadi sampai keyakinan akan ‘eskatologis’. Terlepas dari penafsiran kita seperti apa, saya kira memang benar Yesus adalah seorang pasifisme sejati. Gerakan kepada ‘gerakan tidak melakukan perlawanan’. Tetapi gerakan pasifisme sendiri perlu didengar bahkan perlu diteriakkan besar-besaran di tengah-tengah masyarakat sekarang ini yang sudah menganggap biasa tindakan kekerasan.
Namun, ketika keKristenan bercampur dengan politik, terkhusus ketika keKristenan mendapat tempat yang sungguh amat agung sebagai agama negara, maka keKristenan tidak lepas dari dunia politis. KeKristenan sekarang ini menjadi agama politik karena kebijakannya sedikit banyak dipengaruhi oleh sikap negara dan pemegang kekuasaan [Kaisar], apalagi ketika itu berhubungan dengan dominasi kekaisaran Roma [Roman Emperor] sebagai sebuah kekaisaran yang sedang berhadapan dengan banyak musuh. Maka sejarah akhirnya mencatat bagaimana kemudian bentuk pasifisme itu berusaha di’modofikasi’ sedemikian rupa, yang akhirnya melahirkan bentuk penyesuaian pasifisme itu sendiri dengan kenyataan bangsa Roma yang sedang ber’perang’ dengan musuh. Karakter kekaisaran Roma inilah yang akhirnya menjadi sejarah keKristenan selanjutnya. Mentalitas menantang musuh, mentalitas ingin mendominasi akhirnya menjadi karakter keKristenan. Ruh pasifisme tertelan oleh semangat dominasi kekuasaan dan pihak tak mau kalah [lihatlah bagaimana perang salib justru dikobarkan dengan membawa panji keagamaan]
Logika berpikir kita mesti diubah sedemikian rupa. Menurut saya kita harus menerapkan logika berpikir Yesus. Logika berpikir kita sekarang ini adalah bahwa perang [dan tindakan sejajar seperti tindakan kekerasan dengan alasan militer] akan dapat menyelesaikan masalah. Maka yang terjadi, kita terbiasa menempuh jalan berpikir ini sebagai ‘langkah pertama’. Di benak kita sudah terbiasa berpikir seperti ini, apalagi di tengah beredarnya film-film bergenre perang, yang selalu mengisahkan perang dan pengerahan kekuatan militer dianggap sebagai sesuatu yang baik. Kita diarahkan berpikir seperti ini sampai sekarang. Kalau dulu legitimasi didapat dari gereja yang berselingkuh dengan negara, sekarang secara tidak sadar, legitimasi itu sebenarnya didapat lewat media yang membenarkan dan menganggap biasa dan [bahkan] memberhalakan perang dan kekerasan.
Maka menurut saya, logika yang kita pakai adalah logika berpikir Yesus. Yesus tidak pernah menerapkan kekerasan sebagai cara dia menghadapi lawannya. Padahal, ia hidup di tengah-tengah masyarakat Israel yang masih hidup di bawah penjajahan Roma. Tentu, bisa saja sikap nasionalistiknya muncul seperti kelompok zelot. Ia bisa saja memilih sikap seperti kebanyakan orang Indonesia yang geram dengan Malaysia dengan menyerang dan mengobarkan perang dengan negara yang katanya serumpun itu. Belum lagi Yesus yang seorang Yahudi, tentu Ia sangat paham dengan kitab perjanjian lama yang berisikan kisah-kisah kepahlawanan dan perang. Tetapi mengapa ia tidak memilih itu? Apakah Yesus bukan seorang Yahudi tulen ataukah Ia tidak senasionalistik kelompok zelot. Bagi Yesus, ada cara lain yang bisa dilakukan untuk menunjukkan bahwa lawan-lawannya bisa dikalahkan bukan dengan cara melegalkan kekerasan tetapi justru menunjukkan kepada siapapun, entah kepada penjajahan Roma entah dengan mush-mush yang sebangsa dengan dia, bahwa kekerasan hanya bisa dilawan dengan menghayati hidup sebagai seorang yang tidak setuju dengan kekerasan itu sendiri. Jadi logika berpikir Yesus adalah logika yang tidak ‘terlebih dulu’ memilih jalan kekerasan sebagai jalan untuk menyelesaikan masalahnya. Itu dibuktikan Yesus dengan tanpa melakukan perlawanan ketika ia ditangkap sampai kepada ia disalibkan. Gerakan nir kekerasan inilah yang dihayati oleh orang kristen perdana.
Logika berpikir perang dan kekerasan juga terbukti tidak pernah menyelesaikan masalah. Perang dan kekerasan akan selalu melahirkan masalah-masalah yang baru. Kita bisa melihat ini dengan kasat mata dengan apa yang terjadi dengan keinginan oleh USA dibawah kepemimpinan Bush untuk menciptakan perdamaian dengan Irak dan Afganistan. Kampanye against terror telah melahirkan sebuah paradigma berpikir bahwa teror bisa dikalahkan dengan mengobarkan perang dan memakai tindakan kekerasan. Tetapi apakah berhasil? Kita bisa melihat Irak sekarang yang bertambah parah dan agfanistan yang tak pernah sepi dengan bom. Justru hal sebaliknya terjadi dengan Gandi yang menerapkan sikap pasifisme dalam melawan penjajahan Inggris dan berhasil.
Apalagi saya melihat bahwa ada kesempatan yang besar bagi komunitas Kristen yang sekarang ini tidak terlibat langsung dan berhubungan dengan negara sebagaimana terjadi di zaman Konstantin. Artinya, komunitas Kristen bisa dengan lebih greget untuk memperjuangkan masyarakat yang nir kekerasan dimulai dari gereja sendiri. Dengan tak berhubungan dengan negara secara langsung dan kesempatan untuk berselingkuh dengannya sedikit, maka gerakan nir kekerasan harus dapat mengimbangi gerakan yang mengutamakan kekerasan sebagai jalan menyelesaikan masalahnya. Seperti Yesus yang mengubah paradigma di zamannya, selalu ada jalan lain yang bisa di tempuh di luar jalan angkat senjata. Seperti membangun diplomasi. Atau kita bisa belajar dari seorang KH. Ahmad Dahlan yang melawan kolonialisme dengan pendidikan, bukan dengan kekerasan.
Maka yang mau saya katakan adalah, sebagai sebuah komunitas yang [katanya] melanjutkan ke’teladan’an Yesus, harus dapat mengimbangi masyarakat yang menganggap bahwa perang, dan kekerasan sebagai yang baik untuk ditempuh. Selalu ada jalan yang bisa ditempuh di luar perang dan kekerasan. Dan itu hanya bisa terjadi jika kita bisa menghayati keteladanan Yesus dan belajar dari gerakan keKristenan perdana yang pasifis.
Ada yang menarik ketika kita membaca kitab Perjanjian Pertama khususnya ketika kita membaca kisah penciptaan. Kisah penciptaan yang mengisahkan tentang ‘refleksi’ tentang asal-muasalnya dunia ini beserta isinya, menunjukkan bahwa Tuhanlah yang meng’ada’kan semuanya ini, termasuk kita manusia. Refleksi yang mengantarkan manusia kepada pengakuan kemahakuasaan Tuhan inilah yang menarik untuk diperhatikan.
Disana kita membaca bahwa Tuhan menciptakan dunia ini dalam 6 hari dan pada hari ke 7 ia beristrahat. Yang menarik untuk diperhatikan adalah bertalian dengan penciptaan manusia yang disebutkan ‘segambar dan serupa’ dengan Tuhan. Segambar dan serupa dengan Tuhan ini banyak ditujukan kepada manusia sebagai ciptaan yang sempurna dan lebih baik dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Bahkan dikemudian hari banyak orang menyalahartikan ke’segambaran dan keserupaan’ ini sebagai bentuk ‘kekuasaan’ dan kesewenang-wenangan manusia terhadap ciptaan lain.
Bahkan kalau kita melihat teks selanjutnya, kita diantarkan pada pengesahan kuasa, kesewenang-wenangan kalau tidak disebut ‘dominasi’. Mulai dari hak memberi nama sampai kepada perkataan ‘....kuasailah dan taklukanlah itu’. Kata-kata ini, oleh banyak yang peduli kepada ekologis melihat bahwa teks ini telah disalahgunakan oleh mereka yang berusaha untuk menaklukan bumi sehingga rusak sampai sekarang. Keistimewaan lainnya dari manusia yang segambar dan serupa dengan Allah ini juga adalah mereka bisa masuk ke dalam taman firdaus, meskipun dengan catatan bahwa mereka tidak boleh ‘memakan buah pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat’.
Namun apa yang terjadi kemudian? Manusia justru melanggarnya. Larangan untuk tidak memakan buah pengetahuan itu telah mengantarkan manusia kepada perlawanan dan penentangan akan perintah Tuhan yang justru telah menciptakan mereka. Apa yang diharapkan oleh Tuhan pada diri manusia yang diciptakan lebih baik dari yang lain itu justru sekarang berbalik melakukan perlawanan kepada perintah Allah. Apa yang dilakukan oleh sang empunya taman? Ia lalu mengusir manusia dan menghukum mereka. Mirip semacam kutukan, yang akan menyertai manusia di segala abad dan tempat. Manusia yang tadinya isitmewa di hadapan Allah, skarang justru terusir oleh yang menciptakannya sendiri.
Apa yang terjadi dengan proses penciptaan tersebut? Apakah Allah salah telah menciptakan manusia? Apakah Allah salah menempatkan manusia sebagai ciptaan yang istimewa dan sempurna sehingga keistimewaan itu membawa manusia pada sikap tak hormat kepada sang pencipta? Saya tak tahu. Hanya Allah sendiri yang tahu apa yang terjadi dengan ciptaannnya itu.
Namun yang menarik untuk diperhatikan adalah bahwa keinginan dan harapan Allahpun juga ‘bisa’ tak tercapai. Ia mengharapkan sesuatu yang baik dengan ciptaannya tetapi apa yang terjadi, ciptaannya sendiri sekarang berubah menjadi yang menghancurkan. Ciptaan yang pada awalnya Ia lihat sebagai ciptaan yang ‘sungguh amat baik’ ternyata tidak. Bahkan kalau kita melangkah pada teks-teks setelahnya kita melihat bagaimana manusia justru dengan teganya melakukan pembunuhan kepada manusia lain. Setidaknya hal ini melukiskan bahwa keinginan Allah tak terwujud. Ia berharap yang baik tetapi nyatanya tidak. Ia berharap bahwa Ia akan melihat ciptaannya manusia akan patuh dengan perkataannya, tetapi nyatanya tidak. Keinginan Allahpun kadang tak terkabulkan.
Keinginan kita kadangkala membuat kita stress, marah, dan bahkan jatuh pada penyalahan Tuhan dan kadang penyalahan setan. Kita tidak bisa menerima kalau keinginan kita tak terwujud. Apalagi kalau kita sudah pasang target, kita bisa lebih marah dan stess. Andaikan kita tahu bahwa Allah sendiri, dalam hubungannya dengan manusia kadang kala tidak terwujud oleh kebebalan manusia, maka kita seharusnya bersikap rendah hati terhadap apapun yang kita terima. Karena dalam hidup ini, keinginan yang baik kadangkala dalam realitasnnya justru tak terlihat bahkan mungkin jauh lebih menyakitkan.
Aq tdk pnh memimpikan perjalanan tnp pertikaian, amarah,masalah tp aq meminta HATI YG LUAS UNTUK MENAMPUNG SEGALA HAL, HATI YG JERNIH UNTK MEMANDANG SGL HAL SHG MENGALIRLAH CINTA YG MEMBUAT KITA BAHAGIA, SLG MENGHORMATI DAN PERCAYA BHKAN KETIKA HDP TERASA TAK MASUK AKAL... [dee, 6 september 2010]
Kasus video Ari*l dkk sentak membuat orang2 yang hidup di atas tanah ibu pertiwi ini kaget dan marah. Marah karena video itu tak bermanfaat dan malah [katanya] membuat generasi penerus bangsa ini yang masih muda belia [akan] mengalami [katanya] degradasi moral. Bangsa yang menempatkan sila ke”Tuhan”an sebagai sila pertama mendadak sibuk, bahkan Pre**den SiBuYung pun ikut berceloteh ria dengan gayanya yang munafik, bersikap bahwa hal itu ndak senonoh. Semua menghakimi Ari*l. Semua tak suka videonya Arie*l. Tak terkecuali kaum agamawan yang sok soleh bakmalaikat setengah Tuhan. Hmm....
Saya sendiri sih ndak kaget dengan video macam begini. Ribuan kasus yang sama telah terbukti hanya menyita waktu dan energi. Mungkin hal ini tak berlaku bagi para penikmat gosip. Bagi mereka, Videonya Arie* dkk adalah hal yang patut untuk diperbincangkan dan didiskusikan [efek positif dari gosip katanya adalah berlatih untuk berdiskusi..hahahaha]. hanya saja, sosok Ari*l dkk sebagai publik figur tentu punya nilai lebih. Apalagi [katanya] videonya diproduksi sendiri [wah, mumpung pemerintah sedang menggalakkan tahun kreatif bukan?].
Media punya peran yang sangat besar dalam menentukan seberapa jauh videonya Ari*l ini akan menjadi bahan perbincangan dan olok-olokkan dalam masyarakat. Jika media terus menerus menayangkan berita ini, tentu selama itu masyarakat yang sudah terbiasa akrab dengan kota box hitam ini akan terus-menerus mengkonsumsi berita tersebut.
Tanpa menghakimi, media saya kira sudah seharusnya mulai berpikir untuk menayangkan berita-berita dan info yang berbobot, berkualitas dan bijak, bukan hanya karena pertimbangan ranting semata. Apalagi, ketika video ini menjadi bahan berita bagi media, mulailah dihubungkan video mesum lain yang terjadi di sudut-sudut tanah ibu pertiwi. Dengan gampangnya media kemudian menanamkan semacam sebuah tesis: kasus video [Arie* dkk] menyebabkan beberapa orang melakukan hal yang sama. Hal ini mirip dengan kasusnya In*l. Pantatnya In*l katanya menyebabkan beberapa orang melakukan kasus pencabulan.
Tesis macam apa ini. Ingat!! Media punya pengaruh yang sangat luas dan tajam untuk membentuk dan membangun opini dan cara berpikir dalam masyarakat. Jika media terus-menerus melakukan startegi penayangan semacam ini, jangan salahkan jika ada sebagian orang yang kemudian mencemooh Aril*l dkk. Jangan salahkan “polisi agama” yang tak berdosa itu [hahah...kayak Tuhan saja ndak berdosa] melakukan tindak kekerasan terhadap beberapa tempat usahanya L*na.
Media seharusnya lebih objektif dan bijak dalam melakukan strategi penayangaan berita. Bukankah media juga punya tanggungjawab sosial di dalam membangun dan menjadikan bangsa ini [semoga] menjadi lebih besar.
Semua melihat ke arah Ari*l dkk, dan semua beramai-ramai menuduh bahwa Arie*l dkk tak lebih tak kurang, seperti seekor binatang. Jenis apa tak tahu. Yang pasti nada marah dan menghakimi nampak dari saudara-saudari kita yang sok suci itu.
Jika anda seorang Kristen atau anda pernah menonton film Perempuan berkalung sorban, anda tentu ingat kisah tentang perempuan yang beramai-ramai akan dilempar. Dalam Injil diterangkan bahwa seorang perempuan berzinah akan dilempar dengan batu [sesuia dengan hukum waktu itu]. Tetapi Yesus dengan bijak mengatakan bahwa jika kamu memang tidak punya dosa, silahkan lempar. Akhirnya orang-orang ini tidak melakukannya. Karena siapa sih yang ndak punya dosa. Dibanding dengan para pejabat kita yang tampangnya suci dan tulus itu, yang ternyata bajingan dan tukang korup, siapakah yang paling bermoral?
Kita dengan gampangnya menghakimi Ari*l dkk. Betul, bahwa ada kesalahan mereka ya. Tetapi apakah kita lebih baik dari Ari*l. Kita menunjuk Ari*l dkk dengan satu jari telunjuk, padahal 3 jari yang lain menunjuk kita.
Biarlah kasusnya Ari*l menjadi bahan pembelajaran buat kita. Bukan dengan menghakiminya tetapi dengan tetap belajar agar kasus seperti ini tidak terulang [mungkin] pada diri kita dan keluarga kita.
Secara etimologi, wikipedia menuliskan beberapa sumber perihal etimologi dari kata "Sufi". “Pandangan yang umum adalah kata itu berasal dari Suf (صوف), bahasa Arab untuk wol, merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para asetik Muslim. Namun tidak semua Sufi mengenakan jubah atau pakaian dari wol. Teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata dari Sufi adalah Safa (صفا), yang berarti kemurnian. Hal ini menaruh penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa. Teori lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie artinya ilmu ketuhanan. Yang lain menyarankan bahwa etimologi dari Sufi berasal dari "Ashab al-Suffa" ("Sahabat Beranda") atau "Ahl al-Suffa" ("Orang orang beranda"), yang mana dalah sekelompok muslim pada waktu Nabi Muhammad yang menghabiskan waktu mereka di beranda masjid Nabi, mendedikasikan waktunya untuk berdoa.”[1]
Mengapa dituliskan hal demikian yaitu untuk menunjukkan bahwa tidak mudah untuk memahami dengan singkat pergulatan tentang sufi itu sendiri. Namun meskipun secara etimologi saja orang masih harus bergumul, kita bisa menyimpulkan satu hal yaitu bahwa sufi erat kaitannya dengan kesucian dan kemurnian hati. Pada saat yang sama wikipedia menuliskan hal tentang sufis itu sendiri yaitu “Sufi adalah istilah untuk mereka yang mendalami ilmu tasawwuf, sejenis aliran mistik dalam agama Islam. Tasawuf (Tasawwuf) atau Sufisme (bahasa arab: تصوف , ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi.[2] Abdul Munir Mulkhan menuliskan bahwa sufi adalah sebuah praktik keberagamaan dalam komunitas pemeluk agama Islam yang antara lain berusaha menemukan kesadaran ilahiah autentik, jujur dan manusiawi[3]
“Aku mabuk Allah"
aku mabuk allah
semata-mata allah
segala-galanya allah
tak bisa lain lagi
aku mabuk allah
lainnya tak berhak dimabuki
lainnya palsu, lainnya tiada
nyamuk tak nyamuk
kalau tak mengabarkan allah
langit tak langit
kalau tak menandakan allah
debu tak debu
badai tak badai
kalau tak membuktikan allah
kembang tak mekar
api tak membakar
kalau tak allah
mabuklah aku mabuk allah
tak bisa lihat tak bisa dengar
cuma allah cuma allah
kalau matahari memancar
siapa sebenarnya yang menyinar
kalau malam legam
siapa hadir di kegelapan
kalau punggung ditikam
siapa merasa kesakitan
mabuklah aku mabuk allah
kalau jantung berdegup
siapa yang hidup
kalau menetes puisi
siapa yang abadi
allah semata
allah semata lainnya dusta
Salah satu paham sufi mengatakan bahwa kita dapat bersatu dengan Tuhan.[4] Dalam puisi emha di atas nampak sekali bahwa Emha mencoba menunjukkan bagaimana Ia Mabuk Allah...itu berarti dalam dirinya ada banyak bahkan berlebihan Allah. Bukankah biasanya kita mabuk oleh minuman keras? Jika kita mabuk oleh minuman keras, itu berarti kita memasukkan begitu banyak bahkan berlebihan minuman keras ke dalam tubuh kita. Analogi inilah yang dipakai Emha untuk menunjukkan bahwa di dalam dirinya ada begitu banyak Allah (tentu dari segi kualitatifnya) bahkan berlebihan. Hal ini menunjukkan dengan sangat jelas bahwa puisi emha tersebut sangat berbau sufisme. Disini terjadi simbolisme dimana kemabukan berarti terjadinya ekstase religius.[5]
Tetapi apakah kita bisa mabuk Allah jika kita tidak punya kerinduan dan cinta kepada Allah? Bagaimana mungkin orang akan mengkonsumsi begitu banyak minuman yang jelas-jelas akan membuatnya mabuk jika Ia tidak menyukai bahkan jatuh cinta dengan minuman itu? Mabuk Allah didasari oleh rasa cinta kepada Allah, hanya Allah saja,semata-mata Allah, tidak ada yang lain. Bagi Emha, yang lain itu adalah dusta.
Dalam dunia sufisme, cinta merupakan tema sentral, khususnya cinta kepada Allah. Dr. Javad Nurbakhsh mengatakan bahwa Tuhan harus didekati melalui cinta, dan hanya melalui keagungan dan rahmat Ilahi intimasi bersamaNya bisa tercapai.[6]Lebih lanjut Dr Javad Nurbakhsh menguraikan kemungkinan cara Cinta Ilahi muncul dalam diri Sufi yaitu[7]:
1.melalui daya tarik Ilahi (jazbah). Cinta Ilahi muncul dalam diri sufi secara langsung, tanpa perantara, sehingga sang sufi melupakan segalanya kecuali Tuhan
2.melalui pengembaraan dan kemajuan metodis di atas jalan (sayr wa suluk). Sufi menjadi begitu pasrah jatuh cinta pada guru spritualnya, yang kemudian mengubah cinta ini menjadi cinta ilahi.
Kalau boleh disimpulkan, cinta Ilahi ini dapat terjadi dalam diri seorang Sufi melalui dua jalan yaitu Allah sendiri yang berkenan dan yang kedua adalah adanya usaha untuk menggapai cinta Ilahi.Kita tidak tahu dalam posisi yang mana Emha berdiri (atau memang dia sama sekali tidak memposisikan dirinya), tetapi yang jelas dari puisinya tersebut, mabuk Allah adalah ungkapan paling dalam hanya dalam diri Allah saja. Tentu kalau kita melacak jejak spritual Emha, Ia pun berguru pada seorang guru yang sangat Ia kagumi bernama Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat memengaruhi perjalanan Emha berikutnya.[8]
Hal lain yang menarik dari puisi Emha tersebut adalah hal “Allah saja” titik! Tak ada yang lain selain Allah saja. Yang lain hanyalah penanda (kalau boleh disebutkan demikian) akan siapa Allah. Tujuannya hanya Allah saja. Fokusnya Allah saja! Hal inipun menyiratkan bagaimana sufisme mempengaruhi puisi Emha tersebut. Dr. Javad Nurbakhsh mengatakan bahwa kebanyakan orang mencari karunia Tuhan, sementara sufi mencari Dia semata, yang merindukan keintimanNya. Yang lain puas dengan pemberianNya; kaum sufi hanya puas dengan Dia[9]
Kita memang belum melihat ada tulisan ataupun orang yang mengatakan bahwa Emha adalah seorang sufis. Namun yang jelas, pengaruh sufisme dalam puisinya tersebut setidaknya menggambarkan kecenderungannya untuk mencoba menggambarkan pencarian akan Allah saja. Allah semata. Hanya Dia saja. Kecenderungan sufisme mencari Allah saja kelihatan sekali dalam puisi Emha tersebut. “Cuma-Cuma Allah”, “Allah semata” bukan yang lain. Yang lain: nyamuk, langit, debu, badai, kembang, api, matahari, malam legam, kesakitan, jantung berdegup, hanyalah penanda akan Allah. Dengan ini, Emha ingin menunjukkan bahwa segala sesuatu fokus dan tertuju kepada Allah, bukan yang lain. [10]
Bagaimana dengan teologi? Jika kita menganggap bahwa puisi Emha tersebut memiliki nilai sufisme, maka dengan jelas teologi yang muncul dipengaruhi oleh sikap kaum sufis yang menaruh perhatian kepada Allah dan bagaimana terjadinya kesatuan dengan Allah. Kesatuan dengan Allah hanya dapat tercapai jika di dalamnya ada cinta “hanya” kepada Allah.
[5]lihat Sa'duddin Mahmud Syabistari dalam sufinews.com. dia menguraikan beberapa simbol sufi sepertitidur adalah kontemplasi, pelukan dan ciuman adalah pesona-pesona ilahi dsb.
[6]Dr. Javad Nurbakhsh, “Ciri-ciri khas utama Sufisme dalam periode awal Islam” dalam Leonard Lewisohn (ed), Warisan Sufi. Sufisme Persia Klasik dari permulaan hingga Rumi (700-1300). Buku pertama, (Yogyakarta:Pustaka Sufi) 2002, hlm. 3
[7]Dr. Javad Nurbakhsh, “Ciri-ciri khas utama Sufisme dalam periode awal Islam” dalam Leonard Lewisohn (ed), Warisan Sufi. Sufisme Persia Klasik dari permulaan hingga Rumi (700-1300). Buku pertama, (Yogyakarta:Pustaka Sufi) 2002, hlm. 3
[9]Dr. Javad Nurbakhsh, “Ciri-ciri khas utama Sufisme dalam periode awal Islam” dalam Leonard Lewisohn (ed), Warisan Sufi. Sufisme Persia Klasik dari permulaan hingga Rumi (700-1300). Buku pertama, (Yogyakarta:Pustaka Sufi) 2002, hlm. 4
[10] Penilaian tentang karya-karya Emha dipengaruhi oleh sufistik dituliskan misalnya oleh Indra Tjahyadi “Puisi sufistik paslu, gelap dan dekade 1980-an” dengan mengutip Harry Aveling yang mengatakan bahwa pada dekade 1980an telah terjadi wabah “sufi” dalam lapangan perpuisian di Indonesia dan Emha Ainun Nadjib adalah salah seorang tonggaknya (www.suarakarya-online.com). Hal yang sama juga dituliskan oleh Ahmad Fatoni “sentuhan sufisme dalam sastra Indonesia” (www.hupelita.com). Hal ini juga diungkapkan oleh Julia Day Howell, Sufism and the Indonesian Islamic Revival yang juga mencantumkan nama Emha Ainun Nadjib yang adalah generasi muda sebagai tonggaknya melalui karya-karyanyadisamping misalnya Abdul Hadi,Taufiq Ismail, and Sutardji Caljoum Bachri dsb.
Aljazair = Les Fennecs, The Dessert Foxes (Rubah Gurun)
Amerika Serikat = Sam’s Army
Argentina = Albiceleste (Putih dan Biru)
Australia = Socceroos
Belanda = De Oranje
Brasil = Selecao (Selection atau yang terpilih)
Cile = La Roja (Si Merah)
Denmark = Olsens Elleve, Olsen’s Eleven (Merujuk pada pelatih Morten Olsen. Sebelumnya, lantaran keberhasilan pada 1992, Denmark dijuluki Tim Dinamit)
Ghana = The Black Stars
Honduras = La H (merujuk pada lambang H di logo para pemain timnas)
Inggris = The Three Lions (merujuk pada jumlah singa di lambang FA)
Italia = Gli Azzuri (karena warna kostu timnas yang berwarna biru= azzuri)
Jerman = Der Panzer (merujuk kepada perang dunia Jerman menggunakan panzer untuk bertempur), Natioanl Mannschaft (timnas), DFB Elf (DFB Eleven), atau National Elf. Die Mannschaft biasanya digunakan oleh media-media di luar Jerman
Jepang = Blue Samurai
Kamerun = Indomitable Lions (Singa Perkasa)
Korea Utara = Chollima (Tokoh mistis Korea berbentuk kuda)
Korea Selatan = Taegeuk Warriors, Red Devils
Meksiko = El Tri (kependekan dari “tricolor” yang merujuk pada komposisi bendera negara)
Nigeria = Super Eagles
Paraguay = La Albiroja (Putih-Merah), Guarani (dari suku asli Paraguay)
Pantai Gading = Les Elephants, The Elephants
Perancis = Les Bleus, The Blues (Karena kostum timnas berwarna biru)
Portugal = Seleccao das Quinas (merujuk pada 5 perisai di lambang Portugal)
Selandia Baru = All Whites (Uniknya, tim rugbi negara tersebut dijuluki All Blacks)
Serbia = Beli Orlovi, White Eagles (Merujuk pada kepala elang di logo seragam Serbia)
Slovakia = Repre
Slovenia = Igralci (tim nasional)
Spanyol = La Furia Roja (Merah Menyala)
Swiss = Scweizer Nati (timnas Swiss)
Uruguay = La Celeste (Biru Langit)
Yunani = Galanoleyki To Piratiko (Kapal Bajak Laut, sejak keberhasilam menjuarai Euro 2004)