Mengapa dituliskan hal demikian yaitu untuk menunjukkan bahwa tidak mudah untuk memahami dengan singkat pergulatan tentang sufi itu sendiri. Namun meskipun secara etimologi saja orang masih harus bergumul, kita bisa menyimpulkan satu hal yaitu bahwa sufi erat kaitannya dengan kesucian dan kemurnian hati. Pada saat yang sama wikipedia menuliskan hal tentang sufis itu sendiri yaitu “Sufi adalah istilah untuk mereka yang mendalami ilmu tasawwuf, sejenis aliran mistik dalam agama Islam. Tasawuf (Tasawwuf) atau Sufisme (bahasa arab: تصوف , ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi.[2] Abdul Munir Mulkhan menuliskan bahwa sufi adalah sebuah praktik keberagamaan dalam komunitas pemeluk agama Islam yang antara lain berusaha menemukan kesadaran ilahiah autentik, jujur dan manusiawi[3]
“Aku mabuk Allah"
aku mabuk allah
semata-mata allah
segala-galanya allah
tak bisa lain lagi
aku mabuk allah
lainnya tak berhak dimabuki
lainnya palsu, lainnya tiada
nyamuk tak nyamuk
kalau tak mengabarkan allah
langit tak langit
kalau tak menandakan allah
debu tak debu
badai tak badai
kalau tak membuktikan allah
kembang tak mekar
api tak membakar
kalau tak allah
mabuklah aku mabuk allah
tak bisa lihat tak bisa dengar
cuma allah cuma allah
kalau matahari memancar
siapa sebenarnya yang menyinar
kalau malam legam
siapa hadir di kegelapan
kalau punggung ditikam
siapa merasa kesakitan
mabuklah aku mabuk allah
kalau jantung berdegup
siapa yang hidup
kalau menetes puisi
siapa yang abadi
allah semata
allah semata lainnya dusta
Salah satu paham sufi mengatakan bahwa kita dapat bersatu dengan Tuhan.[4] Dalam puisi emha di atas nampak sekali bahwa Emha mencoba menunjukkan bagaimana Ia Mabuk Allah...itu berarti dalam dirinya ada banyak bahkan berlebihan Allah. Bukankah biasanya kita mabuk oleh minuman keras? Jika kita mabuk oleh minuman keras, itu berarti kita memasukkan begitu banyak bahkan berlebihan minuman keras ke dalam tubuh kita. Analogi inilah yang dipakai Emha untuk menunjukkan bahwa di dalam dirinya ada begitu banyak Allah (tentu dari segi kualitatifnya) bahkan berlebihan. Hal ini menunjukkan dengan sangat jelas bahwa puisi emha tersebut sangat berbau sufisme. Disini terjadi simbolisme dimana kemabukan berarti terjadinya ekstase religius.[5]
Tetapi apakah kita bisa mabuk Allah jika kita tidak punya kerinduan dan cinta kepada Allah? Bagaimana mungkin orang akan mengkonsumsi begitu banyak minuman yang jelas-jelas akan membuatnya mabuk jika Ia tidak menyukai bahkan jatuh cinta dengan minuman itu? Mabuk Allah didasari oleh rasa cinta kepada Allah, hanya Allah saja,semata-mata Allah, tidak ada yang lain. Bagi Emha, yang lain itu adalah dusta.
Dalam dunia sufisme, cinta merupakan tema sentral, khususnya cinta kepada Allah. Dr. Javad Nurbakhsh mengatakan bahwa Tuhan harus didekati melalui cinta, dan hanya melalui keagungan dan rahmat Ilahi intimasi bersamaNya bisa tercapai.[6] Lebih lanjut Dr Javad Nurbakhsh menguraikan kemungkinan cara Cinta Ilahi muncul dalam diri Sufi yaitu[7]:
1. melalui daya tarik Ilahi (jazbah). Cinta Ilahi muncul dalam diri sufi secara langsung, tanpa perantara, sehingga sang sufi melupakan segalanya kecuali Tuhan
2. melalui pengembaraan dan kemajuan metodis di atas jalan (sayr wa suluk). Sufi menjadi begitu pasrah jatuh cinta pada guru spritualnya, yang kemudian mengubah cinta ini menjadi cinta ilahi.
Kalau boleh disimpulkan, cinta Ilahi ini dapat terjadi dalam diri seorang Sufi melalui dua jalan yaitu Allah sendiri yang berkenan dan yang kedua adalah adanya usaha untuk menggapai cinta Ilahi. Kita tidak tahu dalam posisi yang mana Emha berdiri (atau memang dia sama sekali tidak memposisikan dirinya), tetapi yang jelas dari puisinya tersebut, mabuk Allah adalah ungkapan paling dalam hanya dalam diri Allah saja. Tentu kalau kita melacak jejak spritual Emha, Ia pun berguru pada seorang guru yang sangat Ia kagumi bernama Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat memengaruhi perjalanan Emha berikutnya.[8]
Hal lain yang menarik dari puisi Emha tersebut adalah hal “Allah saja” titik! Tak ada yang lain selain Allah saja. Yang lain hanyalah penanda (kalau boleh disebutkan demikian) akan siapa Allah. Tujuannya hanya Allah saja. Fokusnya Allah saja! Hal inipun menyiratkan bagaimana sufisme mempengaruhi puisi Emha tersebut. Dr. Javad Nurbakhsh mengatakan bahwa kebanyakan orang mencari karunia Tuhan, sementara sufi mencari Dia semata, yang merindukan keintimanNya. Yang lain puas dengan pemberianNya; kaum sufi hanya puas dengan Dia[9]
Kita memang belum melihat ada tulisan ataupun orang yang mengatakan bahwa Emha adalah seorang sufis. Namun yang jelas, pengaruh sufisme dalam puisinya tersebut setidaknya menggambarkan kecenderungannya untuk mencoba menggambarkan pencarian akan Allah saja. Allah semata. Hanya Dia saja. Kecenderungan sufisme mencari Allah saja kelihatan sekali dalam puisi Emha tersebut. “Cuma-Cuma Allah”, “Allah semata” bukan yang lain. Yang lain: nyamuk, langit, debu, badai, kembang, api, matahari, malam legam, kesakitan, jantung berdegup, hanyalah penanda akan Allah. Dengan ini, Emha ingin menunjukkan bahwa segala sesuatu fokus dan tertuju kepada Allah, bukan yang lain. [10]
Bagaimana dengan teologi? Jika kita menganggap bahwa puisi Emha tersebut memiliki nilai sufisme, maka dengan jelas teologi yang muncul dipengaruhi oleh sikap kaum sufis yang menaruh perhatian kepada Allah dan bagaimana terjadinya kesatuan dengan Allah. Kesatuan dengan Allah hanya dapat tercapai jika di dalamnya ada cinta “hanya” kepada Allah.
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Sufisme
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Sufisme. Lebih lanjut dituliskan bahwa Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam.
[3] Abdul Munir Mulkhan, Sufi Pinggiran,Yogyakarta: Kanisius, 2007, hlm. 13
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Sufisme
[5] lihat Sa'duddin Mahmud Syabistari dalam sufinews.com. dia menguraikan beberapa simbol sufi seperti tidur adalah kontemplasi, pelukan dan ciuman adalah pesona-pesona ilahi dsb.
[6] Dr. Javad Nurbakhsh, “Ciri-ciri khas utama Sufisme dalam periode awal Islam” dalam Leonard Lewisohn (ed), Warisan Sufi. Sufisme Persia Klasik dari permulaan hingga Rumi (700-1300). Buku pertama, (Yogyakarta:Pustaka Sufi) 2002, hlm. 3
[7] Dr. Javad Nurbakhsh, “Ciri-ciri khas utama Sufisme dalam periode awal Islam” dalam Leonard Lewisohn (ed), Warisan Sufi. Sufisme Persia Klasik dari permulaan hingga Rumi (700-1300). Buku pertama, (Yogyakarta:Pustaka Sufi) 2002, hlm. 3
[8] www.duniasastra.com
[9] Dr. Javad Nurbakhsh, “Ciri-ciri khas utama Sufisme dalam periode awal Islam” dalam Leonard Lewisohn (ed), Warisan Sufi. Sufisme Persia Klasik dari permulaan hingga Rumi (700-1300). Buku pertama, (Yogyakarta:Pustaka Sufi) 2002, hlm. 4
[10] Penilaian tentang karya-karya Emha dipengaruhi oleh sufistik dituliskan misalnya oleh Indra Tjahyadi “Puisi sufistik paslu, gelap dan dekade 1980-an” dengan mengutip Harry Aveling yang mengatakan bahwa pada dekade 1980an telah terjadi wabah “sufi” dalam lapangan perpuisian di Indonesia dan Emha Ainun Nadjib adalah salah seorang tonggaknya (www.suarakarya-online.com). Hal yang sama juga dituliskan oleh Ahmad Fatoni “sentuhan sufisme dalam sastra Indonesia” (www.hupelita.com). Hal ini juga diungkapkan oleh Julia Day Howell, Sufism and the Indonesian Islamic Revival yang juga mencantumkan nama Emha Ainun Nadjib yang adalah generasi muda sebagai tonggaknya melalui karya-karyanya disamping misalnya Abdul Hadi,Taufiq Ismail, and Sutardji Caljoum Bachri dsb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar