Sabtu, 02 Januari 2010

BERITAKANLAH KABAR BAIK BAGI MEREKA YANG SENGSARA (Yesaya 61:1-3)


Pendahuluan
Saya pernah bertemu dengan salah seorang jemaat di tempat saya stage (praktek kejemaatan). Kurang tahu dimulai dari mana tiba-tiba saja dia berkata kepada saya: “Dis, saya heran kenapa kalau kita berdoa, dalam mendoakan orang-orang yang kekurangan atau yang sedang berbeban berat kita kebanyakan berkata :Ya Tuhan, kiranya Engkau menolong mereka dan Engkau cukupi kebutuhan mereka dan Engkau gerakkanlah orang-orang untuk membantu mereka. Lalu saya tanya: “ada apa dengan Doa ini?” Lalu dia menjawab: “coba perhatikan, dalam doa kita selalu menyuruh Allah untuk menolong orang miskin dan kekurangan dan yang kedua kita selalu menyuruh supaya orang lain yang tergerak di dalam membantu mereka !”. Kenapa kita ndak pernah berdoa: “Ya Tuhan, mampukanlah kami agar kami tergerak di dalam membantu mereka yang kekurangan. Bukankah kita sendiri yang diutus Tuhan untuk menyatakan kasih yang Ia sendiri telah nyatakan kepada kita terlebih dahulu? Mengapa kita seakan-akan punya otoritas dalam hal mengutus. Kita yang diutus, bukan yang mengutus! Apakah mungkin karena keyakinan bahwa Allah “BISA” melakukan apapun yang akhirnya membuat kita, sebagai yang diutus menjadi saksi-saksi Tuhan melepaskan tanggungjawab dalam melayani mereka yang kekurangan dan berbeban berat. Kenapa kita ndak berdoa: “Ya Tuhan, mampukanlah kami untuk tergerak membantu!” [atau sekali lagi: Tuhan kan punya kuasa, Tuhan bisa kasih jalan keluar! Biarlah Tuhan membebaskan mereka dan biarlah Tuhan pake orang lain, asal jangan saya deh]. Sumber kekuatan ada pada Tuhan (kita meyakini bahwa Tuhanlah yang memberikan kita kekuatan di dalam melayani, semangat dalam menolong orang lain, sehingga pelayanan kita tidak kering dan gersang, tetapi yang dipakai untuk menjadi saluran berkat adalah “kita sendiri”.

Siapa mereka yang sengsara?
Ketika kita berbicara tentang mereka yang sengsara karena kemiskinan, pasti ada orang yang bersukacita karena kecukupan, ketika kita berbicara tentang mereka yang remuk hatinya, tentu ada orang yang tidak remuk hatinya, dan ketika kita bicara tentang orang-orang yang tertawan berarti ada orang yang ndak tertawan. Pertanyaannya sekarang, mana yang lebih baik, menjadi orang yang sengsara atau yang bersukacita, menjadi orang yang remuk atau orang yang hidup normal, menjadi orang yang tertawan atau yang bebas? Pasti kita akan memilih yang lebih baik: sukacita, hidup normal dan menjadi orang bebas. Tetapi saudara-saudara yang terkasih dalam Kristus, realitanya dunia sekarang ini, tidak terkecuali bangsa dan negara kita, penuh dengan berbagai macam persoalan kehidupan yang mirip dengan keadaan yang dihadapi oleh nabi Yesaya. Orang-orang sengsara, orang yang remuk hatinya, orang-orang tawanan (yang ada dalam penjara). Dalam konteks nabi Yesaya dicatat demikian. Namun dalam konteks kita sekarang kita melihat bahwa bukan hanya itu. Meskipun bangsa ini merayakan ulang tahunnya ke-62 (sebuah umur yang sebenarnya sudah cukup matang sebagai sebuahh negara), kita masih melihat bahwa kemerdekaan ini hanya dirasakan oleh segelintir orang saja. Bahkan, kita masih bisa membuat daftar yang lebih panjang yang masuk dalam golongan orang-orang sengsara. Mereka itu ADA dan jangan menganggap mereka tidak ada, atau seolah-oleh menganggap mereka tidak ada, atau tahu ada tapi masa bodohlah, atau sadar bahwa mereka ada tetapi ndak ada simpati sedikit pun. Atau sama seperti doa yang tadi kita panjatkan, biarlah Tuhan yang mengangkat mereka dan saya ya diam saja. Kan Tuhan lebih berkuasa daripada saya. Apakah seperti itu?

Dalam tulisanya di Kompas, 21 Juli 2007, dengan judul: Pekikan Hak “Anak-anak Pinggiran”, F. Budi Hardiman seorang Dosen di STF Driyarkara menuliskan bahwa “anak-anak pinggiran” yang adalah anak jalanan, pengamen, joki three in one, pemulung cilik, pengasong, berusia 5-17 tahun. Sebagian lain bekerja sebagai buruh pabrik. Bayangkan bahwa masa kecil mereka dihabiskan tidak seperti anak kebanyakan, yang selalu berwajahkan senang dan bahagia. Jangan bisa bermain, malah mereka harus mencukupi kebutuhan mereka sendiri dalam usia yang masih belia seperti ini. Mereka yang oleh Hadirman sebagai KORBAN ada diantara wajah kita, tampak di persimpangan jalan, di pabrik, dalam angkutan umum, di perkebunan dan di dekat timbunan sampah. Mereka sering kali kita lihat, namun kita melihat mereka “seperti modus melihat lalat, yakni melihat serentak mengabaikan”. Padahal, mereka ini sebenarnya adalah korban orang dewasa, korban pasar yang dikendalikan oleh kapital-kapital besar dan punya uang, mereka adalah korban dari negara yang melihat mereka setengah mata, korban masyarakat yang sangat egoistik, korban keluarga yang dipenuhi dengan pertengkaran dan konflik , bahkan korban dari gereja yang hanya memikirkan dirinya sendiri, dan mungkin juga korban dari lembaga pendidikan yang hanya berurusan dengan bangunan dan fasilitas kemegahan kampus, dsb.

Bagaimana tanggapan kita?
Bagaimana kita menanggapi ini? Apakah kita harus menunggu Tuhan datang ke dunia supaya membebaskan mereka (gila, harus berapa kali Tuhan datang ke dunia?), ataukah kita sadar bahwa kita adalah tangan-tangannyanya Tuhan, yang diutus ke dalam dunia memberitakan khabar baik yang membebaskan dan melegakan. Nabi Yesaya diurapi dan diutus oleh Tuhan untuk memberitakan khabar baik? Bagaimana dengan kita yang mengaku adalah saksi Kristus di dunia, yang juga telah diutus ke dalam dunia dalam Imamat Am orang percaya, sudahkah kita menyampaikan khabar baik yang membebaskan?

Kita adalah murid-murid Tuhan (Imamat Am) yang diutus untuk menjadi saksiNya, maka juga kita punya tanggungjawab dalam mewartakan khabar baik yang membebaskan, mulai dari keluarga, tempat kita kerja, tempat kita kuliah, di lingkungan kita berada, dalam pergaulan dengan teman dan sahabat bahkan di gereja kita dituntut untuk menjadi duta-duta yang mewartakan khabar sukacita yang membebaskan. Jangan sampai pengakuan kita bertolakbelakang dengan apa yang kita lakukan, yang karenanya kita bukannya menjadi duta-duta Tuhan namun menjadi duta-duta yang penuh dengan batu sandungan. Banyak orang di sekeliling kita membutuhkan kehadiran kita, membutuhkan kehadiran duta-duta Tuhan yang mewartakan sukacita di tengah-tengah penderitaan dan kemalangan serta beban berat yang dialami. Maka sudah seharusnya hidup kita bermakna dan berarti bagi mereka yang tertawan dalam penderitaan dan beban berat

Pdt (alm) Eka Darma Putra pernah menuliskan dan menggambarkan bagaimana kita terlalu sibuk sehingga lupa pada tugas dan tujuan kita. Ia mengatakan bahwa kita itu seperti orang yang lagi menunggu kereta api di stasiun. Sementara ia menunggu, ia melihat sebuah kancing bajunya lepas. Segera diperbaikinya. Selesai itu, wah, tali sepatunya putus. Segera dibelinya yang baru. Hey, ternyata celananya terusap lumpur! Dicarinya air untuk membersihkannya. Dan begitu seterusnya. Dan akibatnya, ia lupa untuk apa ia sebenarnya ia ada di stasiun tersebut. Kereta api yang ditunggunya sudah datang. Bahkan sudah berangkat lagi! Namun begitu sibuknya, semua itu tidak disadarinya. Kedatangannya ke stasiun itu menjadi sia-sia. Kata seorang teman saya: ndak kok mas, gereja itu peduli kok, tetapi sifatnya pragmatis. Artinya selama itu berpengaruh terhadap keberadaannya ia akan ngomong dengan lantang. Namun jika ndak, yang diam saja. Lihat saja permasalahan lumpur Lapindo, kan ndak ada pengaruhnya. Yang kena lumpurnya kan bukan gereja, apalagi yang ada di Jogja, atau lihatlah gereja yang dibakar di sebuah kota di Jawa Barat, kan bukan gerejanya, jadi ngapain dipikirin. Toh ndak pengaruh. Dan mungkin juga, ndak dosa. Kebetulan belum terdaftar di sepuluh Hukum Taurat (namanya aja sepuluh, ya sepuluh). Jangan ditambah!!

Dengan berat hati, kita harus mengakui bahwa kemerdekaan kita masih belum membebaskan. Dan mungkin karena anda dan saya yang terlalu sibuk, dan lupa akan tujuan kita ada di dunia ini. Kita sebagai duta (apalagi duta wacana yang adalah duta firman) harus mau berusaha untuk memberitakan khabar baik bagi siapa saja, dimulai dari DOA yang benar bahwa kita diutus bukan mengutus Tuhan, senyuman yang tulus kepada mereka yang kita anggap musuh dan benci, dan sebagai mahasiswa, seperti saya yang masih belum menjadi (maha)siswa, mari atur waktu dengan baik sehingga seperti kata nagabo dalam film naga bonar, dengan kehadiran dan kesuksesan, kita telah mengurangi orang-orang sengsara di negara yang mengaku merdeka ini.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar