Rabu, 29 September 2010

Tidak hanya sekedar toleransi

Dalam kamus bahasa Indonesia, kata toleran (toleransi) diartikan sebagai sikap tolerir terhadap apa yang dikukan orang lain. Dari kata ini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kata toleran berkaitan dengan sikap kita yang “membiarkan” orang lain melakukan apa yang ingin ia lakukan. Kita membiarkan orang lain bersikap dan bertindak.



Kata toleran inilah yang sering kita dengar dalam berbagai media massa dan tv ketika sudah berbicara soal keyakinan (baca: agama) yang berbeda. Kata toleran menjadi tumbuh subur, mengingat potensi konflik dalam hubungannya dengan agama sangat santer untuk dibicarakan. Tidak sedikit dari kita untuk mengatakan “toleran” terhadap keyakinan orang lain.



Namun, dari kata inilah kita justru dibawa masuk dalam sebuah situasi yang “hanya” sekedar tolerir terhadap orang lain. Membiarkan orang lain melakukan kegiatan keagamaannya, melakukan ritual keagamaan. “membiarkan” inilah yang selalu kita pegang, demi menjaga kedamaian dan terhindarkan dari berbagai ancaman kekerasan dan keributan. Akhirnya, kita hanya melihat orang lain dari jauh, tak bersentuhan dengan mereka, karena membiarkan menjadikan kita tolerir terhadap tindakan orang lain.



Dalam tolerir tidak ada penghargaan, tidak ada pengenalan (saling kenal). Yang ada hanyalah sikap yang “membiarkan” orang lain melakukan sesuatu selama itu tidak bersinggungan dengan kepentingan dan kebebasan kita. Apakah sikap yang demikian yang diperlukan? Apakah toleran saja cukup untuk membangun masyarakat Indonesia yang majemuk?



Tidak, kita tidak hanya butuh “pembiaran” tetapi kita butuh pengenalan dan pemahaman. Hanya dengan mengenal dan memahamilah kita bisa menghargai. Toleran adalah pembiaran dan bukan penghargaan!

Jumat, 24 September 2010

What if Asian Women Stop Working?

If someone ask about ur wife
u may say
"oh she doesn't work"
but open wide ur eyes
I'm truly a slave
in the kitchen
in the factory
not a soul to help me
dirty pots
brooms
brushes
are all that stand around me
all the time

The day begins
amidst the wails of the young ones

"are my clothes washed?"
"mother, clean me"
"Please, mother, comb my hair"

"did u buy my book?"
"a pencil, i need a pencil"
"come on soon, u must take ur medicine"
"listen, is the meal ready?"
"it's very late...where's my lunch?"
"My shirt is crushed,
quick, just run the iron over it
gosh-aren't my shoes polished yet?
what a slow coach this woman is!"

At last they've all gone
i'm late too
looks like i've missed the train
crept onto a bus after waging a last fight,
stood on one foot
clinging like a bat to the pole
and who is this leaning against me
fun for them-agony for us
and if i don't make it to the market in the evening
we'll starve tomorrow

Here he comes, my man,
staggering home after work
and maybe next
he'll be punching me like a sack of grain

My body collapses
unable to bear all this
and yet I rise
again and again
to clean the house
and wash the clothes
no rest for me

And then
the night shift
and of course
overtime that must be done
some of my precious hours of rest
are swallowed up there

Truly
I am a machine
in the domestic factory
engaged in non-stop production

When will ur ever realize
that woman
belongs to that category of workers
who are truly essential for society to survive

[This poem was published by the woman's education and training Institute in Sri Langka on a leaflet distributed on the International Woman's Day in 1992]

Kamis, 23 September 2010

We Shall Overcome

We shall overcome, we shall overcome,
We shall overcome someday;
Oh, deep in my heart, I do believe,
We shall overcome someday.

The Lord will see us through, The Lord will see us through,
The Lord will see us through someday;
Oh, deep in my heart, I do believe,
We shall overcome someday.

We're on to victory, We're on to victory,
We're on to victory someday;
Oh, deep in my heart, I do believe,
We're on to victory someday.

We'll walk hand in hand, we'll walk hand in hand,
We'll walk hand in hand someday;
Oh, deep in my heart, I do believe,
We'll walk hand in hand someday.

We are not afraid, we are not afraid,
We are not afraid today;
Oh, deep in my heart, I do believe,
We are not afraid today.

The truth shall set us free , the truth shall set us free,
The truth shall set us free someday;
Oh, deep in my heart, I do believe,
The truth shall set us free someday.

We shall live in peace, we shall live in peace,
We shall live in peace someday;
Oh, deep in my heart, I do believe,
We shall live in peace someday.


Lagu ini membuat aku terharu. Lagu ini memang tercipta oleh Martin Luther King dalam usahanya melawan praktek diskriminasi di Amerika.
Andai saja kita sadar bahwa ke'damai'an itu jauh lebih penting dari pada menganggap yang lain musuh. Andai saja kita mau mengaggap yang lain sebagai saudara. Tetapi sebagaimana lagu ini bilang, suatu hari nanti kita akan hidup dalam damai. Karena dalam dunia yang begitu gelap, masih ada orang-orang yang berjuang untuk menciptakan damai

Sabtu, 18 September 2010

Proses hermeneutis

Kenyataan Alkitab penuh dengan teks-teks yang berbau kekerasan, perintah perang, keterlibatan YHWH dalam perang, masalah perbudakan, dominasi terhadap perempuan dsb. hal-hal ini menyebabkan di satu sisi ada yg menganggap bahwa kewibawaan Alkitab tidak ada. tetapi ada yang mengatakan bahwa itulah konteks masyarakat waktu itu. Alkitab justru dengan jujur meceritakan realitas yang ada.

Tetapi bagaimana kemudian kita memahami cerita-cerita ini dengan konteks sekarang. Bagaimana kita membaca teks. Apakah kita membiarkan teks berbicara ataukah kita yang memasukkan makna ke dalam teks. Inilah yang disebut proses hermeneutis. Proses hermeneutis menjadi penting dalam membaca teks-teks tersebut.

Maka teks-teks itu perlu di tempatkan dalam konteksnya. KIta harus mengerti dengan baik konteks tersebut apalagi cerita-cerita itu terjadi 2000 tahun yang lalu, jauh dari konteks kita sekarang.

Kamis, 16 September 2010

Menggali kembali gagasan pasifisme Kristen


Bagi saya sendiri, kekerasan adalah bencana, dan yang namanya bencana, ia butuh bantuan ‘segera’ dan ‘mendesak’ untuk diselesaikan. Mengapa? Karena kekerasan hanya akan mengakibatkan luka, tidak hanya pada pihak korban tetapi kepada ke’manusia’an itu sendiri. Kekerasan, dalam bentuk apapun adalah sikap merendahkan ke’manusia’an itu sendiri, yang justru oleh Tuhan, dibentuk ‘segambar’ dan ‘serupa’ dengan Dia. ketika kita melakukan kekerasan, bagi saya itulah ketika kita merusak gambar Allah yang ada dalam diri kita. Apalagi dalam masyarakat yang sangat majemuk dan heterogen, seperti Indonesia, kekerasan mudah sekali muncul, terutama karena ‘saat ini’ kekerasan sudah tidak lagi bertalian dengan apakah seseorang beragama apa tidak, toh semua orang [dari pengamatan saya] punya potensi untuk melakukannya. Apalagi jika sudah terkait dengan berbagai macam kepentingan entah itu ekonomi dan kekuasaan.

Saya melihat bahwa keKristenan yang kita dapati sekarang kenyataan telah dipengaruhi oleh persoalan politis dan kekuasaan. Di awal keKristenan, keKristenan jelas adalah pasifisme. Mereka menjunjung tinggi sikap Yesus yang tak melakukan perlawanan apapun bahkan ketika kesempatan itu datang. Yang dilakukannya justru melampaui apa yang normatif. Memang kita perlu melihat bagaimana konteks gereja perdana waktu itu yang berhadapan keyakinan-keyakinan mereka berhadapan dengan banyak hal semisal kekaisaran romawi, penganiayaan yang terjadi sampai keyakinan akan ‘eskatologis’. Terlepas dari penafsiran kita seperti apa, saya kira memang benar Yesus adalah seorang pasifisme sejati. Gerakan kepada ‘gerakan tidak melakukan perlawanan’. Tetapi gerakan pasifisme sendiri perlu didengar bahkan perlu diteriakkan besar-besaran di tengah-tengah masyarakat sekarang ini yang sudah menganggap biasa tindakan kekerasan.

Namun, ketika keKristenan bercampur dengan politik, terkhusus ketika keKristenan mendapat tempat yang sungguh amat agung sebagai agama negara, maka keKristenan tidak lepas dari dunia politis. KeKristenan sekarang ini menjadi agama politik karena kebijakannya sedikit banyak dipengaruhi oleh sikap negara dan pemegang kekuasaan [Kaisar], apalagi ketika itu berhubungan dengan dominasi kekaisaran Roma [Roman Emperor] sebagai sebuah kekaisaran yang sedang berhadapan dengan banyak musuh. Maka sejarah akhirnya mencatat bagaimana kemudian bentuk pasifisme itu berusaha di’modofikasi’ sedemikian rupa, yang akhirnya melahirkan bentuk penyesuaian pasifisme itu sendiri dengan kenyataan bangsa Roma yang sedang ber’perang’ dengan musuh. Karakter kekaisaran Roma inilah yang akhirnya menjadi sejarah keKristenan selanjutnya. Mentalitas menantang musuh, mentalitas ingin mendominasi akhirnya menjadi karakter keKristenan. Ruh pasifisme tertelan oleh semangat dominasi kekuasaan dan pihak tak mau kalah [lihatlah bagaimana perang salib justru dikobarkan dengan membawa panji keagamaan]

Logika berpikir kita mesti diubah sedemikian rupa. Menurut saya kita harus menerapkan logika berpikir Yesus. Logika berpikir kita sekarang ini adalah bahwa perang [dan tindakan sejajar seperti tindakan kekerasan dengan alasan militer] akan dapat menyelesaikan masalah. Maka yang terjadi, kita terbiasa menempuh jalan berpikir ini sebagai ‘langkah pertama’. Di benak kita sudah terbiasa berpikir seperti ini, apalagi di tengah beredarnya film-film bergenre perang, yang selalu mengisahkan perang dan pengerahan kekuatan militer dianggap sebagai sesuatu yang baik. Kita diarahkan berpikir seperti ini sampai sekarang. Kalau dulu legitimasi didapat dari gereja yang berselingkuh dengan negara, sekarang secara tidak sadar, legitimasi itu sebenarnya didapat lewat media yang membenarkan dan menganggap biasa dan [bahkan] memberhalakan perang dan kekerasan.

Maka menurut saya, logika yang kita pakai adalah logika berpikir Yesus. Yesus tidak pernah menerapkan kekerasan sebagai cara dia menghadapi lawannya. Padahal, ia hidup di tengah-tengah masyarakat Israel yang masih hidup di bawah penjajahan Roma. Tentu, bisa saja sikap nasionalistiknya muncul seperti kelompok zelot. Ia bisa saja memilih sikap seperti kebanyakan orang Indonesia yang geram dengan Malaysia dengan menyerang dan mengobarkan perang dengan negara yang katanya serumpun itu. Belum lagi Yesus yang seorang Yahudi, tentu Ia sangat paham dengan kitab perjanjian lama yang berisikan kisah-kisah kepahlawanan dan perang. Tetapi mengapa ia tidak memilih itu? Apakah Yesus bukan seorang Yahudi tulen ataukah Ia tidak senasionalistik kelompok zelot. Bagi Yesus, ada cara lain yang bisa dilakukan untuk menunjukkan bahwa lawan-lawannya bisa dikalahkan bukan dengan cara melegalkan kekerasan tetapi justru menunjukkan kepada siapapun, entah kepada penjajahan Roma entah dengan mush-mush yang sebangsa dengan dia, bahwa kekerasan hanya bisa dilawan dengan menghayati hidup sebagai seorang yang tidak setuju dengan kekerasan itu sendiri. Jadi logika berpikir Yesus adalah logika yang tidak ‘terlebih dulu’ memilih jalan kekerasan sebagai jalan untuk menyelesaikan masalahnya. Itu dibuktikan Yesus dengan tanpa melakukan perlawanan ketika ia ditangkap sampai kepada ia disalibkan. Gerakan nir kekerasan inilah yang dihayati oleh orang kristen perdana.

Logika berpikir perang dan kekerasan juga terbukti tidak pernah menyelesaikan masalah. Perang dan kekerasan akan selalu melahirkan masalah-masalah yang baru. Kita bisa melihat ini dengan kasat mata dengan apa yang terjadi dengan keinginan oleh USA dibawah kepemimpinan Bush untuk menciptakan perdamaian dengan Irak dan Afganistan. Kampanye against terror telah melahirkan sebuah paradigma berpikir bahwa teror bisa dikalahkan dengan mengobarkan perang dan memakai tindakan kekerasan. Tetapi apakah berhasil? Kita bisa melihat Irak sekarang yang bertambah parah dan agfanistan yang tak pernah sepi dengan bom. Justru hal sebaliknya terjadi dengan Gandi yang menerapkan sikap pasifisme dalam melawan penjajahan Inggris dan berhasil.

Apalagi saya melihat bahwa ada kesempatan yang besar bagi komunitas Kristen yang sekarang ini tidak terlibat langsung dan berhubungan dengan negara sebagaimana terjadi di zaman Konstantin. Artinya, komunitas Kristen bisa dengan lebih greget untuk memperjuangkan masyarakat yang nir kekerasan dimulai dari gereja sendiri. Dengan tak berhubungan dengan negara secara langsung dan kesempatan untuk berselingkuh dengannya sedikit, maka gerakan nir kekerasan harus dapat mengimbangi gerakan yang mengutamakan kekerasan sebagai jalan menyelesaikan masalahnya. Seperti Yesus yang mengubah paradigma di zamannya, selalu ada jalan lain yang bisa di tempuh di luar jalan angkat senjata. Seperti membangun diplomasi. Atau kita bisa belajar dari seorang KH. Ahmad Dahlan yang melawan kolonialisme dengan pendidikan, bukan dengan kekerasan.

Maka yang mau saya katakan adalah, sebagai sebuah komunitas yang [katanya] melanjutkan ke’teladan’an Yesus, harus dapat mengimbangi masyarakat yang menganggap bahwa perang, dan kekerasan sebagai yang baik untuk ditempuh. Selalu ada jalan yang bisa ditempuh di luar perang dan kekerasan. Dan itu hanya bisa terjadi jika kita bisa menghayati keteladanan Yesus dan belajar dari gerakan keKristenan perdana yang pasifis.

sumber gambar: pixabay.com

Kamis, 09 September 2010

Keinginan Tuhan saja tak terwujud, apalagi kita manusia

Ada yang menarik ketika kita membaca kitab Perjanjian Pertama khususnya ketika kita membaca kisah penciptaan. Kisah penciptaan yang mengisahkan tentang ‘refleksi’ tentang asal-muasalnya dunia ini beserta isinya, menunjukkan bahwa Tuhanlah yang meng’ada’kan semuanya ini, termasuk kita manusia. Refleksi yang mengantarkan manusia kepada pengakuan kemahakuasaan Tuhan inilah yang menarik untuk diperhatikan.

Disana kita membaca bahwa Tuhan menciptakan dunia ini dalam 6 hari dan pada hari ke 7 ia beristrahat. Yang menarik untuk diperhatikan adalah bertalian dengan penciptaan manusia yang disebutkan ‘segambar dan serupa’ dengan Tuhan. Segambar dan serupa dengan Tuhan ini banyak ditujukan kepada manusia sebagai ciptaan yang sempurna dan lebih baik dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Bahkan dikemudian hari banyak orang menyalahartikan ke’segambaran dan keserupaan’ ini sebagai bentuk ‘kekuasaan’ dan kesewenang-wenangan manusia terhadap ciptaan lain.

Bahkan kalau kita melihat teks selanjutnya, kita diantarkan pada pengesahan kuasa, kesewenang-wenangan kalau tidak disebut ‘dominasi’. Mulai dari hak memberi nama sampai kepada perkataan ‘....kuasailah dan taklukanlah itu’. Kata-kata ini, oleh banyak yang peduli kepada ekologis melihat bahwa teks ini telah disalahgunakan oleh mereka yang berusaha untuk menaklukan bumi sehingga rusak sampai sekarang. Keistimewaan lainnya dari manusia yang segambar dan serupa dengan Allah ini juga adalah mereka bisa masuk ke dalam taman firdaus, meskipun dengan catatan bahwa mereka tidak boleh ‘memakan buah pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat’.

Namun apa yang terjadi kemudian? Manusia justru melanggarnya. Larangan untuk tidak memakan buah pengetahuan itu telah mengantarkan manusia kepada perlawanan dan penentangan akan perintah Tuhan yang justru telah menciptakan mereka. Apa yang diharapkan oleh Tuhan pada diri manusia yang diciptakan lebih baik dari yang lain itu justru sekarang berbalik melakukan perlawanan kepada perintah Allah. Apa yang dilakukan oleh sang empunya taman? Ia lalu mengusir manusia dan menghukum mereka. Mirip semacam kutukan, yang akan menyertai manusia di segala abad dan tempat. Manusia yang tadinya isitmewa di hadapan Allah, skarang justru terusir oleh yang menciptakannya sendiri.

Apa yang terjadi dengan proses penciptaan tersebut? Apakah Allah salah telah menciptakan manusia? Apakah Allah salah menempatkan manusia sebagai ciptaan yang istimewa dan sempurna sehingga keistimewaan itu membawa manusia pada sikap tak hormat kepada sang pencipta? Saya tak tahu. Hanya Allah sendiri yang tahu apa yang terjadi dengan ciptaannnya itu.

Namun yang menarik untuk diperhatikan adalah bahwa keinginan dan harapan Allahpun juga ‘bisa’ tak tercapai. Ia mengharapkan sesuatu yang baik dengan ciptaannya tetapi apa yang terjadi, ciptaannya sendiri sekarang berubah menjadi yang menghancurkan. Ciptaan yang pada awalnya Ia lihat sebagai ciptaan yang ‘sungguh amat baik’ ternyata tidak. Bahkan kalau kita melangkah pada teks-teks setelahnya kita melihat bagaimana manusia justru dengan teganya melakukan pembunuhan kepada manusia lain. Setidaknya hal ini melukiskan bahwa keinginan Allah tak terwujud. Ia berharap yang baik tetapi nyatanya tidak. Ia berharap bahwa Ia akan melihat ciptaannya manusia akan patuh dengan perkataannya, tetapi nyatanya tidak. Keinginan Allahpun kadang tak terkabulkan.

Keinginan kita kadangkala membuat kita stress, marah, dan bahkan jatuh pada penyalahan Tuhan dan kadang penyalahan setan. Kita tidak bisa menerima kalau keinginan kita tak terwujud. Apalagi kalau kita sudah pasang target, kita bisa lebih marah dan stess. Andaikan kita tahu bahwa Allah sendiri, dalam hubungannya dengan manusia kadang kala tidak terwujud oleh kebebalan manusia, maka kita seharusnya bersikap rendah hati terhadap apapun yang kita terima. Karena dalam hidup ini, keinginan yang baik kadangkala dalam realitasnnya justru tak terlihat bahkan mungkin jauh lebih menyakitkan.

Senin, 06 September 2010

Hidup tak Mudah

Aq tdk pnh memimpikan perjalanan tnp pertikaian, amarah,masalah tp aq meminta
HATI YG LUAS UNTUK MENAMPUNG SEGALA HAL,
HATI YG JERNIH UNTK MEMANDANG SGL HAL SHG MENGALIRLAH CINTA YG MEMBUAT KITA BAHAGIA,
SLG MENGHORMATI DAN PERCAYA
BHKAN KETIKA HDP TERASA TAK MASUK AKAL... [dee, 6 september 2010]


Kamis, 02 September 2010

Doa Kebijaksanaan

TUHAN,
berikan aku kekuatan
untuk mengubah
apa yang mungkin aku ubah.

Berikan aku kerendahan hati
untuk menerima
apa yang tidak mungkin diubah.

Dan berikan aku
kebijaksanaan
untuk membedakan
kedua-duanya.

(F. Oetinger)