Rabu, 15 Juni 2011

Iman sebesar Biji Sesawi: dari Krisis Identitas ke Krisis Iman



Kata Yesus, andai kita punya iman sebesar biji sesawi, kita akan bisa memindahkan gunung. Mungkin Yesus tahu bahwa iman sebesar biji sesawi adalah hal yang jarang ditemukan dari manusia seperti saya, makanya Dia berani bilang ‘mindahin gunung’. Kalau ndak gitu, entar gunung Merapi bakalan tak pindahin jauh dari Yogya..

William Barclay dalam bukunya Pemahaman Alkitab Setiap Hari menggambarkan biji sesawi sebagai kiasan yang ‘biasa’ dipakai di dunia Timur. Barclay misalnya menunjukkan bagaimana orang Yahudi berbicara tentang setetes darah sama kecilnya dengan biji sesawi; atau pelanggaran kecil terhadap hukum upacara, mereka akan berbicara tentang pencemaran sekecil biji sesawi (2005:122). Dalam kitab Matius, Yesus memakai biji sesawi untuk menggambarkan Kerajaan Sorga dan kemudian menjelaskannya sendiri bahwa biji itu akan tumbuh menjadi besar dimana ‘burung-burung’ akan bernaung untuk mendapat perlindungan atasnya (bdk. Matius 13:32). Memang biji sesawi digambarkan sebagai sebuah biji yang amat kecil, namun seiring dengan pertumbuhannya ia akan menjadi pohon yang besar. Maka jelas bahwa Yesus sebenarnya tidak memakai ‘biji yang lain’ seumpama biji mahoni atau durian oleh karena biji sesawi sudah amat di kenal di daerah Yesus melayani. Dan ‘iman sebesar biji sesawi’ dalam kitab Matius berada dalam konteks ‘Yesus menyembuhkan seorang anak muda yang sakit ayan’ (Mat. 17:21). Perkataan itu keluar dari mulut Yesus untuk ‘menegur’ para muridnya yang ternyata tidak bisa menyembuhkan penyakit yang di derita oleh anak muda tersebut. Dan itu disebabkan oleh karena para murid ‘kurang percaya’. Maka, dengan agak sedikit kecewa, Yesus menegur para murid dengan mengatakan: ‘berapa lama lagi Aku harus tinggal bersama kamu?’

Maka tak heran jika seorang hindu bernama Dayananda Saraswati dalam artikelnya berjudul ‘The light of Truth’ yang terdapat dalam buku Paul J. Griffiths (ed), Christianity through non-Christianian Eyes menjadikan ayat ini sebagai alasan bagi dia untuk mengatakan bahwa Alkitab tidak lepas dari kesalahan. Ia mengatakan:

Orang Kristen mengajarkan:” Marilah, terimalah agama kami, biarlah dosa-dosamu diampuni dan kamu mendapat keselamatan”. Semuanya ini tidak benar, karena apabila Kristus memiliki kuasa untuk menghapus dosa, menanamkan iman kepada orang lain dan memurnikan mereka, mengapa Ia tidak membebaskan murid-muridNya dari dosa, membuat mereka setia dan murni? Bila Ia tidak dapat membuat mereka yang mengikuti Dia murni, setia dan bersih dari dosa, bagaimana mungkin kini Ia, yang tidak seorang pun tahu dimana keberadaanNya sekarang, dapat memurnikan seseorang? Sementara murid-murid Kristus tidak memiliki iman bahkan sebesar biji sesawi sekalipun dan mereka inilah yang menulis Alkitab, bagaimana mungkin kitab seperti itu bisa diakui sebagai kitab yang berwibawa

Terlepas dari ketidaksetujuan saya terhadap komentar Saraswati di atas, saya kira adalah menjadi soal ketika orang Kristen bahkan tidak memiliki iman sebesar biji sesawi akhirnya menjadi alasan bagi banyak orang yang melihat kita sebagai pengikut Kristus tidak menunjukkan simpatinya. Karena tindakan kita justru tak pernah sedikit pun menunjukkan bahwa Yesus yang kita kenal berkuasa tersebut tak pernah dilihat dalam diri kita. Padahal Yesus bilang : kalau punya iman sebesar biji sesawi, maka kamu bisa angkat gunung’.

Komentar Saraswati di atas terlihat tidak menempatkan konteks ‘iman biji sesawi’ dalam konteksnya, entah itu sejarahnya maupun konteks ceritanya. David J. Bosch dalam bukunya berjudul Transformasi Misi Kristen menyebutkan bahwa “Injil kita yang pertama (Matius-pen.) pada hakikatnya adalah sebuah teks misioner. Visi misionernya inilah yang membuat Matius mulai menulis injilnya. Bukan untuk menyusun Riwayat Yesus melainkan untuk memberikan bimbingan kepada suatu komunitas, yang mengalami krisis tentang bagaimana mereka harus memahami panggilan dan misinya.” (1997:89). Maka cerita tentang ‘Yesus menyembuhkan seorang anak muda yang sakit ayan’ dimana di dalamnya berbicara soal ‘iman sebesar biji sesawi’ adalah untuk menunjukkan sikap Yesus kepada penerima Injil ini agar percaya akan Yesus. Artinya kisah tentang “Yesus menyembuhkan seorang anak muda yang sakit ayan” adalah dalam rangka mengatasi ‘krisis’ yang sedang dialami oleh komunitas penerima Injil Matius.

Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Schuyler Brown dalam bukunya berjudul The Origins of Christianity yang mengatakan bahwa Injil Matius ditulis pasca penghancuran bait Allah pada tahun 70 M (1984: 119). Willi Marxsen dalam bukunya Pengantar Perjanjian Baru juga mengatakan hal yang sama bahwa:’dapat dipahami bahwa kitab ini berasal di Pela, yang terdapat di daerah sebelah timur Yordan tempat komunitas Kristen Yahudi di Yerusalem menemukan daerah pertemuan baru setelah pelarian dari kota itu tak lama sebelum kehancurannya dalam tahun 70 M (2000:184). Penghancuran bait Allah adalah sesuatu yang ‘memukul’ bagi komunitas Injil Matius. Karena sebagian besar komunitas Injil Matius adalah orang Yahudi, maka meskipun mereka mengikut Yesus sebagai guru mereka sekaligus sebagai utusan Allah. Bait Allah adalah hal yang masih teramat penting, sebagai penegasan identitas mereka dengan bangsa-bangsa lain. Kehancuran Bait Allah berarti kehancuran identitas mereka. Maka, menjadi persoalan kemudian buat mereka apakah memang benar bahwa keyakinan mereka akan Yesus adalah sesuatu yang tepat? Mengapa justru ketika mereka sudah menjadi pengikut Yesus, mereka kehilangan identitas mereka terhadap Bait Allah? Inilah ‘krisis’ yang sedang dihadapi oleh komunitas Injil Matius. Krisis identitas membawa mereka pada krisis iman akan Yesus. Apakah betul Yesus sebagai anak Allah punya kuasa?

Dengan mengetahui konteks sejarah dan ceritanya, kita bisa melihat bahwa iman sebesar biji sesawi ditunjukkan kepada para pengikut Yesus dalam komunitas Injil Matius yang sedang mengalami krisis akibat penghancuran Bait Allah. Sehingga cerita ini ingin memberi ingatan kepada para murid di komunitas Injil Matius untuk kembali pada kepercayaan mereka kepada Yesus.

Dalam hidup ini, krisis dalam bentuknya yang beragam datang silih berganti. Sering sekali krisis tersebut membuat kita kehilangan kepercayaan kita kepada Yesus. Namun jika kita tetap mempertahankan iman kita, krisis dalam bentuknya yang beragam dapat kita atasi. Betapapun berat krisis yang sedang kita hadapi, kita diajak agar menatap Yesus sebagai sumber pengharapan. Artinya, kita membiarkan diri kita untuk dikuasai oleh Krisis atau justru menghadapi krisis bersama dengan sebuah pengharapan dari Yesus. Hal ini mengingatkan saya akan sebuah cerita yang berjudul ‘Petualangan mencari Raja burung’ dalam Sufistik: Melayani Maling dimana dikatakan: ‘kelak dalam perjalanan, kata burung Hud-hud, para burung akan melewati tujuh lembah penderitaan. Masing-masing lembah adalah kelanjutan dari lembah sebelumnya. Karenannya, mereka harus terlebih dahulu berhasil melewati penderitaan pada setiap lembahnya untuk dapat memasuki lembah berikutnya’ (2005: 69). Maka krisis yang dihadapi hendaknya tidak menghilangkan kepercayaan kita tetapi menjadikan itu untuk naik ke tingkat lebih tinggi dari iman dan kepercayaan kita kepada Kristus. Jadilah seperti biji sesawi yang tumbuh menjadi besar sehingga orang lain juga turut merasakan kuasa Yesus dalam diri anda.

Kamis, 09 Juni 2011

Hidup dengan Allah adalah sebuah Pertaruhan

Menulis kata ‘taruhan’ otak saya langsung merujuk kepada judi. Judi memang sering dikaitkan dengan taruhan karena mana ada judi tanpa taruhan. Misalnya judi kartu. Kalau ada, itu namanya bukan judi tapi dolanan wae. Seperti saya waktu kecil dulu, sering main gaplek dengan teman-teman, tetapi ndak taruhan. Ya, paling-paling hukumannya jongkok atau muka dicoret pake kapur. Tetapi, judi yang dilarang oleh om Roma dalam lagunya tentu beda. Judi dengan taruhan milik sendiri entah itu uang ataupun barang. Tetapi tidak hanya pertaruhan dalam pengertian bahwa ada taruhannya, tetapi judi juga pertaruhan karena tidak seorang pun dari pemainnya yang tahu bakalan menang. Meskipun saya tahu bahwa beberapa orang punya keahlian dalam mengotak-ngatik kartu, tetapi tetap saja hasil akhir tidak pernah tahu. Maka judi bisa dibilang pertaruhan!

Sebagaimana judi, hidup dengan Allah adalah pertaruhan. Mengapa? Karena kita tidak pernah tahu apa yang terjadi ketika kita berelasi dengan yang kita cintai yaitu Allah. Kita tidak pernah tahu bagaimana kisah dengan Allah berakhir apakah seperti dalam kebanyakan film dengan akhir kisah happy ending ataukah justru berakhir tragis atau malah komedi? Tidak ada yang tahu. Hidup dengan Allah adalah sebuah pertaruhan.

Dalam Perjanjian Lama, contoh yang paling jelas terlihat adalah kisah tentang Ayub. Dianne Bergant, CSA. & Robert J. Karris, OFM dalam Tafsir Kitab Perjanjian Lama mengatakan: ‘Kitab itu gambaran jelas dari penderitaan dan perjuangannya untuk memahami Keadilan Allah menghadapi pengalamannya sendiri yang kacau’(2002:403). Pengalaman Ayub berhadapan dengan Keadilan Allah adalah sesuatu yang cukup mengejutkan karena bagaimana mungkin Ayub yang dalam ceritanya disebutkan bersikap saleh dan jujur, mencintai Allah, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan (Ayub 1:1) dalam hidupnya bisa mengalami ‘hukuman’ dari Allah? Tetapi, sebagaimana Ayub mengalaminya, hidup kita dalam kenyataannya tidaklah jauh dari kisah seperti itu. Selalu saja ada hal atau kejadian dimana kita mengatakan: Tuhan, bukankah aku telah melakukan segala perintahMu? Tetapi mengapa justru bukan kebaikan yang aku dapat?

Pengalaman yang tidak mudah ini oleh Soelle disebut sebagai ‘sunder warumbe’ atau yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan ‘without a why’. Sarah Katherine Pinnock (ed.) dalam bukunya berjudul The Theology of Dorothee Soelle mengatakan bahwa:’to live ‘without a why’ means to live without intentions, goals, purposes, or power’ (2003:175). Dan dalam kaitannya dengan Ayub, kecintaannya kepada Tuhan tercermin dari sikapnya kepada Allah. Misalnya kita temukan ini dalam pertanyaan yang diajukan oleh Iblis kepada Tuhan dengan mengatakan: apakah dengan tidak mendapat apa-apa Ayub takut akan Allah?(Ayub 1:9). Pertanyaan ini sejajar dengan apa yang ada dalam sunder warumbe. Apakah kita bisa mencintai Tuhan jika kita tidak mendapat kebaikan dari Tuhan? Apakah kita masih bisa mencintai Tuhan jika kita tidak mendapat berkat dari Tuhan? Tentu ini pertanyaan yang muncul dari kebiasaan kita beragama yang baru ‘beriman’ kepada Tuhan kalau kita mendapatkan sesuatu dari Dia. Hidup beragama yang seperti inilah yang disebut sebagai ‘teologi take and give-memberi untuk mendapatkan sesuatu.

‘Modus’ berpikir manusia sama dengan seorang pemain judi yang ahli dalam mengotak-ngatik kartu. Kita mendesain sedemikian rupa tindakan kita agar ‘kebaikannya’ Allah menjadi bagian kita. Boleh saja sih berpikir begitu! Tetapi, tentu Allah bukanlah sosok yang dapat kita atur apalagi dengan mengaturnya memakai pola pikir manusia. Allah bukanlah objek yang dapat dimanipulasi. Karena sejak awal, nenek moyang kita dalam berbagai macam iman dan tradisi, telah membuktikan dan mengalami sendiri bahwa berelasi dengan Allah adalah sebuah tindakan yang tidak mudah dan berjalan mulus begitu saja.

Dengan kejadian ini saya ingat apa yang dikatakan oleh seorang teman: hidup dengan Allah tidaklah linier tetapi seperti roller coster yang berputar ke atas dan kebawah. Kita bisa saja mengira bahwa memberi dan beramal hidup kita akan mulus bak mengendarai kendaraan di jalan tol. Kita bisa saja berpikir bahwa menolong orang yang kelaparan adalah tindakan yang akan mendapat pahala dari Allah. Tetapi apakah kita masih bisa melakukan itu tanpa mengharapkan apapun? Apakah kita masih bisa dan mau berelasi dengan Allah dengan tidak berharap apapun? Inilah pertaruhan itu, mau mencintai Allah saja, dengan atau tanpa imbalan apapun. Titik!

Rabu, 08 Juni 2011

Doa peziarah doa yang menyatukan


Dulu waktu kecil, saya selalu bertanya mengapa orang dewasa pergi ke gereja yang berbeda dengan kami anak kecil. Karena di kampung saya dulu, ada 2 gereja yang satu dipakai untuk kebaktian orang dewasa dan yang satunya dipakai untuk anak seperti kami-di depannya ada sebuah papan putih bertuliskan ‘Sekolah Minggu’ (SM). Di sekolah inilah saya belajar banyak tentang siapa Tuhan Yesus, bagaimana saya harus mengasihi sesama, membaca Alkitab dan bagaimana caranya berdoa. Untuk melatih bagaimana caranya berdoa, ada sebuah lagu yang masih sedikit saya ingat teksnya berbunyi: lipat tangan tutup mata. Selain dari keluarga, dari sekolah minggu inilah saya diajarkan untuk berdoa.

Setelah umur saya mulai banyak bertambahnya, dan mulai banyak mengenal orang saya menemukan bahwa doa bukanlah ‘miliknya’ orang Kristen saja. Ternyata teman-teman saya yang bukan Kristen juga mengenal yang namanya ‘doa’. Baik saudara-saudara saya yang Muslim, Budha dan Hindu saya juga menemukan kata ‘doa’ dalam keseharian mereka. Lalu saya sadar bahwa ternyata kita umat manusia disamakan dan dipertemukan dalam doa. Tentu cara dan apa yang disampaikan berbeda-beda, dari agama yang satu ke agama yang lain, dari budaya yang satu ke budaya yang lain. Tetapi, sebagaimana yang disampaikan oleh Lama Surya Das alam bukunya ‘Awakening to the Sacred’ (2002: 287) mengatakan:’tema umumnya (yang dia maksud doa-tambahan saya) dalam semua tradisi berkisar di sekitar kemauan manusia wajar untuk membuka hati kita dan berkomunikasi dengan prinsip suci, kekuasaan yang lebih tinggi atau sumber Ilahi’. Kita dalam agama dan tradisi yang berbeda selalu digerakkan oleh hati terdalam dan jiwa kita untuk selalu terhubung dengan yang Ilahi.

Jika setiap kita yang berbeda agama dan tradisi ini dengan sadar bahwa ternyata kita sama-sama mengakui ‘kekuasaan’ di luar diri kita, maka dengan sendirinya kita juga seharusnya sadar bahwa kita adalah manusia-manusia yang sedang berziarah dalam dunia, yang penuh dengan ketidakpastian, penuh dengan kelemahan dan pada saat yang sama selalu ‘berusaha’ mengarahkan diri dan hidup kepada Dia yang kita percayai sebagai yang Maha segalanya. Dalam doa, kita semua berserah dan mengaku bahwa dalam perjalanan yang berliku kayak roller coaster ini kita perlu pegangan. Doa adalah usaha kita untuk tetap berjalan dengan berharap akan kekuatan sang Ilahi. Doa adalah kesadaran kita sebagai manusia ciptaan yang sedang berziarah dalam dunia. Rm. DR. Tom Jacobs, S.J dalam bukunya “Teologi Doa” (2010:18) pernah menuliskan bahwa:’syarat mutlak untuk doa adalah ‘masuk dalam dirinya sendiri’, menyadari diri sedalam-dalammnya sebagai makhluk ciptaan, menyadari bahwa hidup yang kita hidupi ini bukanlah berasal dari diri kita sendiri.’

Di setiap Adzan berkumandang, saya diingatkan akan kebesaran Tuhan. Saya tahu bahwa Adzan adalah panggilan bagi saudara saya Muslim untuk sholat. Tetapi, kesadaran bahwa kita sama-sama mengakui akan kebesaran sang Ilahi, tentu itu juga panggilan untuk saya mengumandangkan kesadaran lebih bahwa sang Ilahi yang dipanggil dengan nama berbeda dan berbagai cara itu juga sedang menunggu kesediaan saya untuk masuk dalam ‘doa’. Maka, sekarang ini bukanlah hal yang aneh jika kekristenan khususnya protestan tidak lagi mempermasalahkan yang namanya ‘meditasi’ yang justru merupakan tradisi doa yang berkembang dalam agama Budhis atau ziarah-ziarah ke tempat suci yang merupakan tradisi dari Katolik.

Karena doa adalah pertanda bahwa kita sebagai manusia yang sedang berziarah dalam ketidakpastian seraya tetap berharap akan pertolongan sang Ilahi