Kata Yesus, andai kita punya iman sebesar biji sesawi, kita akan bisa memindahkan gunung. Mungkin Yesus tahu bahwa iman sebesar biji sesawi adalah hal yang jarang ditemukan dari manusia seperti saya, makanya Dia berani bilang ‘mindahin gunung’. Kalau ndak gitu, entar gunung Merapi bakalan tak pindahin jauh dari Yogya..
William Barclay dalam bukunya Pemahaman Alkitab Setiap Hari menggambarkan biji sesawi sebagai kiasan yang ‘biasa’ dipakai di dunia Timur. Barclay misalnya menunjukkan bagaimana orang Yahudi berbicara tentang setetes darah sama kecilnya dengan biji sesawi; atau pelanggaran kecil terhadap hukum upacara, mereka akan berbicara tentang pencemaran sekecil biji sesawi (2005:122). Dalam kitab Matius, Yesus memakai biji sesawi untuk menggambarkan Kerajaan Sorga dan kemudian menjelaskannya sendiri bahwa biji itu akan tumbuh menjadi besar dimana ‘burung-burung’ akan bernaung untuk mendapat perlindungan atasnya (bdk. Matius 13:32). Memang biji sesawi digambarkan sebagai sebuah biji yang amat kecil, namun seiring dengan pertumbuhannya ia akan menjadi pohon yang besar. Maka jelas bahwa Yesus sebenarnya tidak memakai ‘biji yang lain’ seumpama biji mahoni atau durian oleh karena biji sesawi sudah amat di kenal di daerah Yesus melayani. Dan ‘iman sebesar biji sesawi’ dalam kitab Matius berada dalam konteks ‘Yesus menyembuhkan seorang anak muda yang sakit ayan’ (Mat. 17:21). Perkataan itu keluar dari mulut Yesus untuk ‘menegur’ para muridnya yang ternyata tidak bisa menyembuhkan penyakit yang di derita oleh anak muda tersebut. Dan itu disebabkan oleh karena para murid ‘kurang percaya’. Maka, dengan agak sedikit kecewa, Yesus menegur para murid dengan mengatakan: ‘berapa lama lagi Aku harus tinggal bersama kamu?’
Maka tak heran jika seorang hindu bernama Dayananda Saraswati dalam artikelnya berjudul ‘The light of Truth’ yang terdapat dalam buku Paul J. Griffiths (ed), Christianity through non-Christianian Eyes menjadikan ayat ini sebagai alasan bagi dia untuk mengatakan bahwa Alkitab tidak lepas dari kesalahan. Ia mengatakan:
Orang Kristen mengajarkan:” Marilah, terimalah agama kami, biarlah dosa-dosamu diampuni dan kamu mendapat keselamatan”. Semuanya ini tidak benar, karena apabila Kristus memiliki kuasa untuk menghapus dosa, menanamkan iman kepada orang lain dan memurnikan mereka, mengapa Ia tidak membebaskan murid-muridNya dari dosa, membuat mereka setia dan murni? Bila Ia tidak dapat membuat mereka yang mengikuti Dia murni, setia dan bersih dari dosa, bagaimana mungkin kini Ia, yang tidak seorang pun tahu dimana keberadaanNya sekarang, dapat memurnikan seseorang? Sementara murid-murid Kristus tidak memiliki iman bahkan sebesar biji sesawi sekalipun dan mereka inilah yang menulis Alkitab, bagaimana mungkin kitab seperti itu bisa diakui sebagai kitab yang berwibawa
Terlepas dari ketidaksetujuan saya terhadap komentar Saraswati di atas, saya kira adalah menjadi soal ketika orang Kristen bahkan tidak memiliki iman sebesar biji sesawi akhirnya menjadi alasan bagi banyak orang yang melihat kita sebagai pengikut Kristus tidak menunjukkan simpatinya. Karena tindakan kita justru tak pernah sedikit pun menunjukkan bahwa Yesus yang kita kenal berkuasa tersebut tak pernah dilihat dalam diri kita. Padahal Yesus bilang : kalau punya iman sebesar biji sesawi, maka kamu bisa angkat gunung’.
Komentar Saraswati di atas terlihat tidak menempatkan konteks ‘iman biji sesawi’ dalam konteksnya, entah itu sejarahnya maupun konteks ceritanya. David J. Bosch dalam bukunya berjudul Transformasi Misi Kristen menyebutkan bahwa “Injil kita yang pertama (Matius-pen.) pada hakikatnya adalah sebuah teks misioner. Visi misionernya inilah yang membuat Matius mulai menulis injilnya. Bukan untuk menyusun Riwayat Yesus melainkan untuk memberikan bimbingan kepada suatu komunitas, yang mengalami krisis tentang bagaimana mereka harus memahami panggilan dan misinya.” (1997:89). Maka cerita tentang ‘Yesus menyembuhkan seorang anak muda yang sakit ayan’ dimana di dalamnya berbicara soal ‘iman sebesar biji sesawi’ adalah untuk menunjukkan sikap Yesus kepada penerima Injil ini agar percaya akan Yesus. Artinya kisah tentang “Yesus menyembuhkan seorang anak muda yang sakit ayan” adalah dalam rangka mengatasi ‘krisis’ yang sedang dialami oleh komunitas penerima Injil Matius.
Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Schuyler Brown dalam bukunya berjudul The Origins of Christianity yang mengatakan bahwa Injil Matius ditulis pasca penghancuran bait Allah pada tahun 70 M (1984: 119). Willi Marxsen dalam bukunya Pengantar Perjanjian Baru juga mengatakan hal yang sama bahwa:’dapat dipahami bahwa kitab ini berasal di Pela, yang terdapat di daerah sebelah timur Yordan tempat komunitas Kristen Yahudi di Yerusalem menemukan daerah pertemuan baru setelah pelarian dari kota itu tak lama sebelum kehancurannya dalam tahun 70 M (2000:184). Penghancuran bait Allah adalah sesuatu yang ‘memukul’ bagi komunitas Injil Matius. Karena sebagian besar komunitas Injil Matius adalah orang Yahudi, maka meskipun mereka mengikut Yesus sebagai guru mereka sekaligus sebagai utusan Allah. Bait Allah adalah hal yang masih teramat penting, sebagai penegasan identitas mereka dengan bangsa-bangsa lain. Kehancuran Bait Allah berarti kehancuran identitas mereka. Maka, menjadi persoalan kemudian buat mereka apakah memang benar bahwa keyakinan mereka akan Yesus adalah sesuatu yang tepat? Mengapa justru ketika mereka sudah menjadi pengikut Yesus, mereka kehilangan identitas mereka terhadap Bait Allah? Inilah ‘krisis’ yang sedang dihadapi oleh komunitas Injil Matius. Krisis identitas membawa mereka pada krisis iman akan Yesus. Apakah betul Yesus sebagai anak Allah punya kuasa?
Dengan mengetahui konteks sejarah dan ceritanya, kita bisa melihat bahwa iman sebesar biji sesawi ditunjukkan kepada para pengikut Yesus dalam komunitas Injil Matius yang sedang mengalami krisis akibat penghancuran Bait Allah. Sehingga cerita ini ingin memberi ingatan kepada para murid di komunitas Injil Matius untuk kembali pada kepercayaan mereka kepada Yesus.
Dalam hidup ini, krisis dalam bentuknya yang beragam datang silih berganti. Sering sekali krisis tersebut membuat kita kehilangan kepercayaan kita kepada Yesus. Namun jika kita tetap mempertahankan iman kita, krisis dalam bentuknya yang beragam dapat kita atasi. Betapapun berat krisis yang sedang kita hadapi, kita diajak agar menatap Yesus sebagai sumber pengharapan. Artinya, kita membiarkan diri kita untuk dikuasai oleh Krisis atau justru menghadapi krisis bersama dengan sebuah pengharapan dari Yesus. Hal ini mengingatkan saya akan sebuah cerita yang berjudul ‘Petualangan mencari Raja burung’ dalam Sufistik: Melayani Maling dimana dikatakan: ‘kelak dalam perjalanan, kata burung Hud-hud, para burung akan melewati tujuh lembah penderitaan. Masing-masing lembah adalah kelanjutan dari lembah sebelumnya. Karenannya, mereka harus terlebih dahulu berhasil melewati penderitaan pada setiap lembahnya untuk dapat memasuki lembah berikutnya’ (2005: 69). Maka krisis yang dihadapi hendaknya tidak menghilangkan kepercayaan kita tetapi menjadikan itu untuk naik ke tingkat lebih tinggi dari iman dan kepercayaan kita kepada Kristus. Jadilah seperti biji sesawi yang tumbuh menjadi besar sehingga orang lain juga turut merasakan kuasa Yesus dalam diri anda.