Kamis, 26 Mei 2011

Saat dunia menjadi ‘menakutkan’.


Akhir-akhir ini kita sepertinya sedang menyaksikan bangsa kita menuju kehancuran. Berbagai kasus kejahatan yang diidap oleh sesama anak bangsa menjadi pemberitaan yang semakin hari semakin membosankan. Membosankan bukan karena tidak menarik, melainkan karena kita menyaksikan setiap detik media menyajikan kejahatan-kejahatan tersebut. Mulai dari korupsi (baik di tingkat eksekutif, legislatif dan yudikatif), perdagangan manusia, pembunuhan, konflik antar etnis, dan penindasan terhadap kelompok yang lemah (entah karena keyakinan agamanya, kecenderungan seksualitas seperti homo dan lesbi sampai penyiksaan para TKI, TKW dan PRT). Sebuah kenyataan yang membuat miris. Klaim pemuka lintas agama yang mengatakan bahwa bangsa ini sedang menuju negara gagal agaknya mendekati kebenarannya. Karena imbas dari kejahatan-kejahatan tersebut adalah makin senjangnya mereka yang miskin dan kaya, semakin banyaknya orang miskin dan pengangguran (kebutuhan paling dasar tidak tercukupi), semakin bertambahnya pelanggaran HAM, dan pada saat yang sama itu juga menunjukkan semakin lemahnya peran agama yang justru menjadi syarat wajib untuk tinggal di negara ini.

Ironi memang, ketika bangsa yang katanya religius sekaligus menjadi bangsa yang kejahatannya semakin luar biasa (ini juga menegaskan bahwa tidak jaminan bahwa sebuah bangsa yang 100% beragama lantas jadi bangsa yang baik dan lurus-lurus saja..hehehe). Seperti yang dikatakan oleh Islah Gusmian dalam bukunya Pantat Bangsaku: melawan Lupa di negeri para Tersangka (2004: 267): “Dunia keagamaan telah kehilangan nilai spritualitas. Keagungan Tuhan luntur. Konsep diri telah punah. Manusia tak lagi mempunyai rasa malu. Keadilan di jual dalam ruang persidangan oleh penegak hukum, janji palsu diobral dalam kampanye politik oleh para politikus. Masyarakat telah malu untuk memiliki rasa malu”

Kisah penciptaan yang ada dalam Alkitab menunjukkan kepada kita bagaimana Allah tidak membiarkan adanya ‘chaos’. Ia dengan kuasanya justru menata kembali dunia yang chaos tersebut. Chaos adalah realitas, tetapi apakah dengan kita mengalah dengan kenyataan chaos tersebut? Brueggamann dalam bukunya Theology of the Old Testament: Testimony, Dispute, Advocasy (1997:234-235) melihat bahwa kisah penciptaan merupakan narasi liturgis sebuah bangsa yang terbuang di pembuangan (Babilon). Narasi liturgis tersebut adalah sebuah perlawanan terhadap dunia yang penuh bahaya dan penuh dengan kekacauan. Chaos adalah realitas sebuah bangsa yang sedang dalam pembuangan. Tetapi narasi liturgis dimana sebuah dunia yang teratur dan Yahweh menunjukkan kekuasaannya adalah sebuah dunia alternatif bagi bangsa tersebut. Dalam narasi liturgis tersebut terlihat bagaimana Yahweh berkuasa dan menata yang chaos menjadi dunia yang lebih baik. Dunia alternatif ini mengajak sebuah bangsa masuk ke dalamnya dengan tidak menjadi seperti bangsa yang menjajah mereka (Babilon) dengan segenap tindakan dan perilaku buruk mereka.

Pertanyaannya adalah apakah kisah penciptaan ini masih relevan dengan keadaan chaos dan menakutkan yang sedang kita alami sekarang? Menurut saya masih. Dengan mengingat kembali narasi liturgis seperti ini, kita diajak untuk tidak tenggelam dengan dunia yang justru menggumbar kejahatan seperti yang terjadi sekarang ini. Dunia alternatif yang kita usahakan adalah dunia yang berbeda, narasi hidup yang berbeda yang dengan itu terlihat bahwa eksistensi kita sebagai manusia yang merupakan ciptaan Allah adalah ciptaan yang (masih) baik.

Realitas kita memang penuh dengan kejahatan tetapi kita diajak untuk tidak tenggelam dan menjadi sama dengan itu. Semoga doa “Saat Dunia Tampak Menakutkan” oleh Leslie F. Brandt menjadi doa kita yang terus menggema dalam dunia yang memang menakutkan ini.

Saat Dunia Tampak Menakutkan

Ya Tuhan, dunia hari ini tampak menakutkan

Aku takut meninggalkan tempat tidurku yang hangat,

Keamanan dalam rumahku,

Untuk menantang kekuatan-kekuatan alam

Dan kekacauan umat manusia ini

Aku tak yakin bahwa aku memiliki bekal untuk hidup

Seperti yang Engkau harapkan daripadaku

Di tengah-tengah penderitaan dan masalah

Dari begitu banyak orang di sekelilingku.

Aku takut, Tuhan, dan aku malu.

Berikan daku kekuatan ya Allah

Engkau tidak menuntut agar aku memenangkan setiap pertempuran

Engkau hanya meminta agar aku mengangkat senjataku-atau memikul salibku

Dan masuk ke dalam arena kehidupan

Engkat tidak meminta aku bersungut ataupun mengeluh atas keadaan-keadaan yang tak teratasi yang menantang aku

Engkau hanya meminta agar aku menjadi diriku sendiri-AnakMu- MuridMu-WakilMu

Menjangkau orang lain di dalam kasih

Menolong menanggung beban orang lain

Membiarkan Roh Mu mengerjakan kehendakMu melalui aku

Karenanya Allah yang Agung , aku akan maju terus,

Dengan perintahMu dan dalam kuasaMu

Jadilah kehendakMu ya Tuhan, di dalam dan melalui daku

Sabtu, 21 Mei 2011

Egoisme kelompok dalam Kongres PSSI


Akhirnya kongres PSSI di hotel Sultan berakhir tanpa kesepakatan dan putusan apa-apa. Kongres yang diharapkan dapat berjalan dengan baik-tidak seperti kongres di Pekan Baru, Riau, ternyata tak lebih baik. Kongres ricuh sedari awal dengan banyaknya ‘hujan interupsi’. Sebagian dari hujan interupsi ini bertalian dengan tidak dimasukkannya sejumlah nama untuk mengisi kursi no 1 di PSSI. Sebuah kelompok yang sedari awal berjuang mati2an (kalau ndak disebut ngotot) memperjuangkan calon tertentu, meskipun FIFA sudah melarang. Sebagian pengamat sudah memperkirakan bahwa kelompok yang ngotot tersebut akan mengacaukan jalannya sidang. Dan itu terbukti sampai kongres yang dipimpin oleh Ketua Komite Normalisasi tersebut-Agum Gumelar, mengetuk palu tanda berakhirnya kongres meskipun selama 6 jam tak dihasilkan apa-apa.

Sikap ngotot tersebut kemudian dipertanyakan oleh sejumlah pihak. Kelompok tersebut mengaku sebagai kelompok reformis-yang ingin membangun kultur sepakbola yang jauh lebih baik yang tak kunjung datang semasa kepemimpinan NH. Tetapi belakangan sikap reformis tersebut dipertanyakan oleh sejumlah pihak karena kelompok ini terus saja berupaya memaksakan kehendaknya, memasukkan calon yang mereka usung untuk menjadi calon ketua PSSI. Sebuah hal yang pada akirnya dipertanyakan apakah benar mereka ingin membangun sepak bola Indonesia lebih baik ataukah mereka sedang memperjuangkan kepentingan sekelompok orang untuk duduk di PSSI.

Sikap egoistik sebenarnya tak melulu negatif, meskipun sebagian orang memandang sikap ini adalah sikap yang perlu dilawan karena ia tak lain adalah nama lain dari hawa nafsu (hawa dari bahasa arab: al-nafs yang artinya kecenderungan dalam diri manusia), yang menyebabkan orang bertindak tidak peduli dengan orang lain. Les Giblin dalam bukunya The Art of Dealing with People mengatakan ‘kalau egoisme bisa menyebabkan orang melakukan hal-hal bodoh , irrasional dan destruktif, tetapi ia juga bisa membuat mereka bertindak dengan mulia dan sangat berani’ (2010:8). Dengan mengutip Edwar Bok, ia mengatakan bahwa apa yang disebut oleh dunia sebagai ego dan egoisme sebenarnya adalah ‘percikan api ilahi’ yang tertanam dalam diri manusia, dan hanya orang yang sudah ‘menyalakan percikan api ilahi dalam diri mereka’ yang akan mencapai hal-hal besar (2010:9).

Maka dengan itu, sikap egoistik sebenarnya punya sisi positif. Namun sikap egoistik menjadi berbahaya ketika seseorang merasa bahwa dirinya tidak diterima. Tuntutannya tidak sejalan dengan apa yang diberikan oleh apa yang diluar dirinya. Biasanya, harga diri mereka menjadi hal yang paling tersinggung dan pada akhirnya mereka akan melampiaskannya ke luar. Mereka akan melakukan apapun untuk memperjuangkan itu. Maka tidak sedikit dari mereka yang akhirnya mengabaikan orang dan kepentingan yang lain, sekalipun kepada mereka dialamatkan hujatan, kritik dan amarah. Mereka tidak akan bisa dilawan dengan sikap hujatan dan amarah, melainkan hanya dengan memberikan apa yang mereka anggap sebagai penghargaan terhadap tuntutan dan ‘harga diri’ mereka.

Sikap egoistik sekelompok orang yang ngotot memperjuangkan orang tertentu untuk menjadi calon orang nomor 1 di PSSI nampak ketika Komisi Banding yang dipimpin oleh Cipta Lesmana mengumumkan bahwa GT dan AP dilarang menjadi calon ketua di PSSI. Keputusan tersebut berujung pada ricuhnya Kongres di Pekan Baru yang sedikit banyak disebabkan oleh sekelompok orang pendukung GT dan AP. Dalam berbagai media, dengan mengatasnamakan reformasi di PSSI, mereka tetap ngotot untuk memperjuangkan masuknya GT dan AP. Sampai kemudian Komisi Banding di bawah AR meloskan GP dan AT. Diloloskannya kedua orang tersebut sebenarnya tidaklah mengejutkan karena Komisi Banding di bawah AR adalah bagian dari kelompok pendukung GT dan AP. Tetapi Komisi Normalisasi di bawah Pak Agum Gumelar yang merupakan pelaksana mandat dari FIFA mematahkan keputusan Komisi Banding tersebut. Karena menurut KN, GT dan AP sudah dari awal ditolak dan tidak lulus verifikasi sehingga proses banding tidak diterima. Artinya GT dan AP sebenarnya sudah gugur sebelum mereka mengajukan gugatan terhadap Komisi Banding. Perjuangan GT dan AP tidak hanya berhenti sampai di situ. Mereka kemudian membawa kasus ini ke CAS (Pengadilan Arbitrase Olahraga) tetapi hasilnya tetap sama, menolak gugatan GT dan AP dengan alasan tidak punya yuridiksi untuk memproses proses banding tersebut. Sikap ngotot terlihat semakin menjadi-jadi ketika banyaknya hujan interupsi pada kongres di hotel Sultan tanggal 20 Mei 2011 sampai ketua KN menghentikan jalannya kongres.

Egoisme yang berbahaya tersebut tak akan bisa diselesaikan sampai tuntutan dari kelompok yang mengusung GT dan AP dipenuhi tuntutannya. Artinya kepengurusan PSSI tidak akan jadi selama kelompok pengusung yang memang mayoritas di tubuh PSSI tersebut meloloskan calonnya. Tetapi bagaimana mungkin diloloskan sedangkan FIFA yang merupakan organisasi sepak bola dunia (termasuk PSSI bernaung) tidak meloloskannya. Maka saya kira, adalah hal penting jika pemerintah mempertemukan kelompok yang ngotot tersebut dan mendengarkan keinginan mereka. Selama ini pemerintah ataupun KN terkesan tidak pernah memfasilitasi kelompok tersebut. Begitujuga FIFA yang memang tidak persis tahu apa yang terjadi dengan persepakbolaan Indonesia. So, kelompok pengusung GT dan AP tak akan bisa dilawan hanya dengan mengeluarkan sejumlah keputusan yang merugikan mereka tetapi justru harus dijembatani dengan mendengar keinginan mereka dan kemudian mencari solusi yang terbaik dengan melibatkan sejumlah kelompok, pengamat sepakbola, pemerintah, KN dan kelompok pengusung GT dan AP.