Minggu, 07 November 2010

The Church’s Witness to Peace


disampaikan oleh Robert J. Suderman [Mennonite Church Canada/ Mennonite World Conference]. Seminar diadakan pada tanggal 29 Oktober 2010 di Kapel UKDW

Ada beberapa hal yang saya kira penting untuk diperhatikan dalam seminar ini.

Di dalam Pendekatan sejarah yang digunakan oleh Robert Suderman menunjukkan bahwa kekristenan telah terdistorsi sebagai agama yang beringas dan barbar. Saling membunuh di antara kelompok-kelompok Kristen ’diaminkan’ hanya karena perbedaan aliran teologis. Sesat menyesatkan, campur aduk dengan kekuasaan menjadikan kekristenan sebagai 'monster' yang menakutkan dan mematikan. ’Kasihilah musuhmu’ tiba-tiba dikembalikan kepada ’bencilah musuhmu’. Dengan mengangkat surat Efesus 2:14-18, Suderman menunjukkan bahwa gereja seharusnya ’mempersatukan’, ’tidak ada tembok pemisah’, dan menciptakan damai sejahtera. Namun apakah tugas gereja ini sudah terlaksana? Suderman sebagai seorang barat mengaitkannya dengan perang dan kekerasan.

Namun, perlu dipikirkan apa tanggapan dari Prof. Banawiratma yang menyinggung konteks Indonesia yang justru kekerasannya bersifat struktural. Dengan menyadari ini, tugas gereja bukanlah semakin mudah tetapi semakin susah karena gereja akan berhadapan dengan kekuasaan dari negara. Dengan semakin banyaknya orang miskin dan diikuti dengan tindakan korupsi para pejabat, gereja mau tidak mau harus berupaya untuk menghadirkan syalom, justru dengan bersedia berhadapan dengan kekuasaan yang menindas tersebut. Tetapi Suderman mengatakan bahwa tugas gereja memang provokatif dan berbahaya.



Memang yang disampaikan oleh Suderman dan Prof. Bana menarik. Tetapi itu sangat terbalik dengan kenyataan. Berapa banyak sih gereja yang berteriak tentang bencana lumpur lapindo? Berapa banyak gereja yang berteriak tentang ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat Papua? Semua diam!! Mengapa? Karena rasa aman itu menyenangkan. Daripada berhadapan dengan kekuasaan negara yang bisa saja mengancam keamanan gereja, gereja lebih memilih menghadirkan syalom khusus bagi dirinya sendiri. Namun apakah itu syalom? Bukankah syalom adalah untuk semua orang? Dengan kenyataan yang seperti ini, gereja sebenarnya ikut andil di dalam ’membunuh’ sesama manusia dengan diam atas tindakan tak berpihak terhadap rakyat. Damai sejahtera yang diawali oleh Suderman ternyata tak bersambut gayung dengan kenyataan masyarakat Indonesia yang semakin menderita. Kata ’damai’ yang terucap lebih dari 100 kali dalam PB saja ternyata belum bisa terwujud dalam masyarakat Indonesia. Sebagaimana dikatakan oleh Suderman, kita harus memikirkan dan merefleksikan ulang tentang tugas panggilan gereja dalam konteks Indonesia. Sudahkah gereja melakukannya???


Hal menarik lainnya dari paparan Suderman adalah ceritanya tentang rekonsiliasi diantara mereka yang selama ini berselisih paham. Dia menyebutkan Katolik-Menonite, Katolik-Lutheran, Lutheran-Menonite, dengan Para pemimpin Islam dunia. Mengapa menarik? Karena inilah yang merupakan perwujudan kerajaan Allah dan damai itu sendiri yang dibawa dan ada dalam diri Yesus. Ia mengembalikan mereka yang semula bermusuh dan saling terpisah. Tetapi tidak hanya sampai di situ, Yesus juga menciptakan satu komunitas baru dimana keterpisahan dan batas-batas sosial dihancurkan. Keberbedaan aliran teologis bukan alasan bagi kita untuk menganggap yang lain sebagai musuh yang harus dihancurkan tetapi justru sebagai sesama mitra Allah yang berusaha mewujudkan syalom di muka bumi. Dan inilah yang dikatakan oleh Suderman bahwa rekonsiliasi dan perdamaian merupakan jantung dari Injil. Desmond Tutu pernah mengatakan ’without forgiveness there is no future’. Dengan paparan Sudermann ini kita melihat sikap positif untuk bersama-sama membangun masa depan yang lebih baik dengan terlebih dahulu masuk dalam proses saling mengampuni.


Martin Luther King Jr berkata”keadilan rasial yang dicapai dengan jalan kekerasan, sama sekali tidak berguna dan tidak bermoral. Kekerasan tidak ada gunanya karena hanya akan menciptakan kebencian yang dibawa turun-temurun yang pada akhirnya menghancurkan semua pihak”. Maka untuk memutus siklus kekerasan, perlu apa yang disampaikan oleh Suderman “jangan membunuh”. Berhentilah!! Jangan memperjuangkan keadilan dengan kekerasan. Dalam kaitan menciptakan ’damai’ dan berusaha membangun komunitas pantang kekerasan, di Indonesia saya kira alangkah lebih baiknya jika membangun kerjasama antar agama sebagai kekuatan civil society dengan bersama-sama berkomitmen untuk menciptakan perdamaian dan menghindari kekerasan. Akhir-akhir ini, perang terhadap terorisme yang dilancarkan oleh pemerintah Indonesia dan terakhir mendapat pujian dari PM Australia Julia Gillard tidak mendapat perhatian dari gereja-gereja di Indonesia dan komunitas-komunitas keagamaan. Mengapa seolah-olah tindakan bersenjata sampai mengerahkan kekuatan yang luar biasa tersebut justru membuat gereja tidak mengambil peran apa-apa? Takutkah berhadapan kekuasan.

Maka dari itu saya kira apa yang disampaikan oleh Suderman bahwa gereja-gereja harus punya visi seperti Yesus yang fokus pada penciptaan kedamaian dan pantang kekerasan. Suderman mengusulkan dengan istilah ‘ecclesial sphere’. Maka dari itu, gereja harus memprakarsai sebuah proklamasi perdamaian melalui tindakannya sendiri. Gereja harus menyadari bahwa inilah tugas dan tanggungjawabnya yaitu dengan menyaksikan Kristus lewat tindakan-tindakannya


Kita jangan lupa bahwa kita masih tinggal dalam dunia yang masih terjangkiti kejahatan. Maka gereja sebagai saksi terus akan bergumul dengan perang dan kekerasan yang selalu akan mengancam usaha perdamaian. Dengan dua dunia yang seperti ini, gereja sebagai yang melanjutkan visi Yesus harus mampu menunjukkan eksistensinya dan bukannya malah tenggelam dalam tindakan-tindakan kekerasan.


Penting juga memperhatikan apa yang disampaikan oleh Suderman yang mengatakan bahwa tindakan kekerasan sering sekali justru mendapatkan legitimasi dari Kitab Suci yang membenarkan tindakan mereka. Maka dari itu, Suderman mengatakan betapa pentingnya ‘hermeneutic suspicion’ terhadap teks-teks yang berbicara tentang perang dan kekerasan. Dengan heremeneutic suspicion, kita akan selalu ‘waspada’ terhadap teks-teks yang terkesan mendukung perang dan kekerasan.


sumber gambar: peacechurch.ning.com

Jumat, 05 November 2010

Budaya Perdamaian


Jika kita kembali pada awal-awal keKristenan nampak bahwa keKristenan sejatinya adalah pacifis. Sebagai sebuah gerakan pacifis, ia tentu tidak berpihak pada perang dan kekerasan apalagi menjadikan perang dan kekerasan sebagai satu-satunya jalan keluar untuk menyelesaikan masalah.
Theodore J. Koontz mengatakan bahwa pacifisme Kristen adalah sebuah bentuk usaha dalam mencapai kemenangan hanya saja kemenangan tersebut mengikuti Yesus sendiri.
Dalam sejarahnya kaum pacifis adalah orang-orang yang ‘aktif’ dalam menentang kebijakan-kebijakan yang merengut kemanusiaan manusia seperti perang, tindakan-tindakan pengekangan dan otoriterisme, penjajahan dsb. Hal ini merujuk pada sikap Yesus sendiri yang adalah seorang pacifis.
Bahkan sebagaimana juga disinggung oleh Theodore J. Koontz, kemenangan Yesus di atas kayu salib adalah bukti bahwa Yesus menang atas kekuasaan. Kekuasaan yang digunakan sebagai alat represif telah dibungkam oleh Yesus yang justru tanpa perlawanan menelanjangi kekuatan dan kekuasaan yang dilakukan atasNya.
Kekuasan yang disebutnya didasarkan atas ketakutan untuk lepas dari kekuasaan itu sendiri telah menyebabkan rapuhnya sebuah pemerintahan. Ketidakmampuan mengatasi ketakutan telah melahirkan kepura-puraan dan pertahanan diri dan kekuasaan yang naif. Dalam hal inilah Koontz mencoba menunjukkan bahwa sejarah telah didominasi orang-orang yang punya mentalitas yang bertolak belakang dengan sikap pacifis Yesus sendiri, dengan asumsi-asumsi bahwa kadang-kadang perang diperlukan untuk untuk melindungi dan menyerahkan tindakan tersebut kepada negara dan penguasa untuk melakukannya yang memang punya kekuatan dan paksaan.

Dalam mengembalikan tradisi pacifis yang sudah ternoda oleh kegetiran dan ego manusia yang ditunjukkan lewat perang dan kekerasan tersebut, Koontz mengajak kita untuk kembali pada ruh pacifis itu sendiri. Disini dia menyebutkan bahwa kita harus terhindar dari berbagai macam ‘ketakutan-ketakutan’ yang sudah mencengkrama kita karena menurutnya perang adalah bentuk ekspresi dari ketakutan yang sudah mendominasi kita. Dalam hal ini dia mengikuti apa yang dikatakan Henri Nouwen yang mengatakan bahwa ‘cinta lebih kuat daripada rasa takut’. Kasih dari Allahlah yang mengusir ketakutan dari dalam diri kita. Mencintai dan berdoa bagi musuh adalah bagian dari sikap Yesus yang perlu dihidupkan. Karena Injil sendiri mengajak kita untuk mencintai, mengampuni dan bahkan berdoa bagi mereka yang menganiaya kita. Dari ini kemudian Koontz menceritakan sebuah cerita yang amat terkenal di dalam tradisi Menonite, seorang yang bernama Dirk Willems. Willems adalah seorang yang mau menunjukkan cintanya terhadap tentara yang mengejar dan ingin menangkapnya tetapi mau tenggelam dalam lapisan es. Willems tidak membiarkannya tenggelam bahkan mengulurkan tangannya untuk mengangkat tentara itu. Meskipun akhirnya Willems dijebloskan kembali ke dalam penjara dan dihukum mati. Ia tahu resiko dari cinta yang ia tunjukkan kepada tentara itu, tetapi Willems tetap memilih untuk mencintai.

Namun Koontz mencoba menunjukkan kepada kita pula betapa Niat baik selalu mendustakan niat tersebut. Niat untuk mencintai dipakai untuk melegalkan perang dengan alasan-alasan tertentu. Seperti untuk menghindari jatuhnya korban, untuk menciptakan perdamaian. Bagaimana kita mau mencintai dengan membunuh. Hal ini nampak misalnya dalam ‘perang terhadap terorisme’ yang diusung oleh Bush. Bagaimana mungkin memerangi terorisme dengan teror itu sendiri. Dalam hal inilah Koontz menurut saya berbeda pendapat dengan Agustinus, dengan justru memberi penekanan kepada tindakan nyata mencari yang terbaik untuk mencintai dan tidak semata-mata didasarkan atas motivasi dan perasaan saja. Tidakkah ini penuh dengan kebohongan? Koontz mengutip Surat Yakobus 2:17 yang mengatakan bahwa ‘Jika iman tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati’. Inilah yang saya kira menjadi poin penting bagi gereja untuk membangun budaya perdamaian. Kualitas iman kita dibuktikan dan nampak dalam tindakan kita sendiri. Karena dengan demikian, kata Koontz kita menyaksikan dan mengkomunikasikan kasih Allah. Artinya, gereja akan mampu menciptakan budaya perdamaian jika gereja sendiri membudayakan iman yang dibuktikan dalam tindakan nyata.

Gereja pada awal kelahirannya memang sudah penuh dengan resiko. Yesus yang adalah tokoh sentral dalam gereja menerima resiko dari sikap mencintai yang ia tunjukkan. Begitu pula dengan martir-martir yang harus menanggung resiko kematian ketika mereka menunjukkan iman mereka untuk mencintai. Mencintai adalah memeluk resiko dan bukan dengan takut kepadanya. Mencintai memampukan kita menciptakan budaya perdamaian. Dan itu mesti ditunjukkan dari kualitas tindakan yang ia lakukan. Dalam dunia yang merasa bahwa perang dan kekerasan akan menyelesaikan masalah dan menciptakan perdamaian, entah itu dengan motif yang baik sekalipun telah menjebak kita masuk dalam siklus perang dan kekerasan yang tidak pernah putus. Pada kenyataannya juga tidak ada teori perang yang telah berhasil menciptakan perdamaian di dunia ini.

Pacifis Kristen haruslah menjadi bagian dari kehidupan gereja itu sendiri. Seringkali menurut Koontz prinsip ini dihadapkan dengan kasus-kasus ekstrim tetapi pada situasi normal, orang sering kali melupakannya. Artinya, sikap pacifis adalah sikap yang menurut saya proaktif dalam menciptakan perdamaian itu sendiri. Ia mulai dari hal-hal yang kecil, dari dalam keluarga, dari sebuah komunitas masyarakat termasuk dalam gereja. Inilah termasuk tantangan yang sering sekali dihadapi oleh mereka yang bersikap pacifis. Padahal tujuan dari pada pacifis itu sendiri adalah bagaimana kita menghidupi diri dan komunitas kita dengan gaya hidup yang berpihak pada yang namanya damai dan nir kekerasan. Pacifis tidak menunggu perang untuk berpihak pada nir kekerasan. Makanya Koontz mengatakan mengapa kita justru tidak berfokus pada diplomasi? Mengapa kita tidak mengarahkan pikiran dan tenaga kita untuk membangun dan memelihara? Mengapa kita tidak menghabiskan uang untuk mendukung PBB membangun perdamaian? Mengapa justru kita menghabiskan uang begitu banyak untuk persenjataan hanya demi pertahan diri sendiri? Hanya dengan meninggalkan ‘rumah ketakutan’ dimana ada kecurigaan, kebencian dan perang dan melangkahkan kaki ke ‘rumah cinta’ dimana ada rekonsiliasi, penyebuhan dan perdamaian, kita bisa hidup.

Gereja, menurut saya harus mampu mengembalikan identitasnya sebagai ‘pembawa damai’ dan membudayakan damai itu sendiri dalam komunitasnya secara konstan dan terus-menerus bahkan ketika harus menghadapi resiko bertalian dengan keamanan diri sendiri. Gereja adalah komunitas yang tidak berfokus pada pertahanan dirinya sendiri tetapi melestarikan kehidupan itu sendiri termasuk di luar dirinya. Gereja sejatinya adalah ‘komunitas pacifis’ yang mengarahkan segenap hati dan pikirannya untuk membangun dan menciptakan perdamaian. Karena kita tidak diciptakan untuk saling perang, saling membunuh dan saling meniadakan, tetapi dengan berpusat pada ajaran Yesus kita diajak untuk hidup dalam masyarakat yang bebas dari rasa takut dan hidup dalam cinta. Kita bisa menyebut Matin Luther King, Thomas Merton dsb adalah orang-orang yang tidak menyimpan Firman Tuhan itu sendiri dalam batas-batas aman dan pribadi saja. Gereja juga seyogiyanya tidak menyimpan Firman itu sendiri pada dirinya sendiri.

Sumber gambar: peacechurch.ning.com