Jumat, 16 Juli 2010

Kita tak lebih baik dari Ari*L

Kasus video Ari*l dkk sentak membuat orang2 yang hidup di atas tanah ibu pertiwi ini kaget dan marah. Marah karena video itu tak bermanfaat dan malah [katanya] membuat generasi penerus bangsa ini yang masih muda belia [akan] mengalami [katanya] degradasi moral. Bangsa yang menempatkan sila ke”Tuhan”an sebagai sila pertama mendadak sibuk, bahkan Pre**den SiBuYung pun ikut berceloteh ria dengan gayanya yang munafik, bersikap bahwa hal itu ndak senonoh. Semua menghakimi Ari*l. Semua tak suka videonya Arie*l. Tak terkecuali kaum agamawan yang sok soleh bak malaikat setengah Tuhan. Hmm....


Saya sendiri sih ndak kaget dengan video macam begini. Ribuan kasus yang sama telah terbukti hanya menyita waktu dan energi. Mungkin hal ini tak berlaku bagi para penikmat gosip. Bagi mereka, Videonya Arie* dkk adalah hal yang patut untuk diperbincangkan dan didiskusikan [efek positif dari gosip katanya adalah berlatih untuk berdiskusi..hahahaha]. hanya saja, sosok Ari*l dkk sebagai publik figur tentu punya nilai lebih. Apalagi [katanya] videonya diproduksi sendiri [wah, mumpung pemerintah sedang menggalakkan tahun kreatif bukan?].

Media punya peran yang sangat besar dalam menentukan seberapa jauh videonya Ari*l ini akan menjadi bahan perbincangan dan olok-olokkan dalam masyarakat. Jika media terus menerus menayangkan berita ini, tentu selama itu masyarakat yang sudah terbiasa akrab dengan kota box hitam ini akan terus-menerus mengkonsumsi berita tersebut.


Tanpa menghakimi, media saya kira sudah seharusnya mulai berpikir untuk menayangkan berita-berita dan info yang berbobot, berkualitas dan bijak, bukan hanya karena pertimbangan ranting semata. Apalagi, ketika video ini menjadi bahan berita bagi media, mulailah dihubungkan video mesum lain yang terjadi di sudut-sudut tanah ibu pertiwi. Dengan gampangnya media kemudian menanamkan semacam sebuah tesis: kasus video [Arie* dkk] menyebabkan beberapa orang melakukan hal yang sama. Hal ini mirip dengan kasusnya In*l. Pantatnya In*l katanya menyebabkan beberapa orang melakukan kasus pencabulan.


Tesis macam apa ini. Ingat!! Media punya pengaruh yang sangat luas dan tajam untuk membentuk dan membangun opini dan cara berpikir dalam masyarakat. Jika media terus-menerus melakukan startegi penayangan semacam ini, jangan salahkan jika ada sebagian orang yang kemudian mencemooh Aril*l dkk. Jangan salahkan “polisi agama” yang tak berdosa itu [hahah...kayak Tuhan saja ndak berdosa] melakukan tindak kekerasan terhadap beberapa tempat usahanya L*na.


Media seharusnya lebih objektif dan bijak dalam melakukan strategi penayangaan berita. Bukankah media juga punya tanggungjawab sosial di dalam membangun dan menjadikan bangsa ini [semoga] menjadi lebih besar.

Semua melihat ke arah Ari*l dkk, dan semua beramai-ramai menuduh bahwa Arie*l dkk tak lebih tak kurang, seperti seekor binatang. Jenis apa tak tahu. Yang pasti nada marah dan menghakimi nampak dari saudara-saudari kita yang sok suci itu.


Jika anda seorang Kristen atau anda pernah menonton film Perempuan berkalung sorban, anda tentu ingat kisah tentang perempuan yang beramai-ramai akan dilempar. Dalam Injil diterangkan bahwa seorang perempuan berzinah akan dilempar dengan batu [sesuia dengan hukum waktu itu]. Tetapi Yesus dengan bijak mengatakan bahwa jika kamu memang tidak punya dosa, silahkan lempar. Akhirnya orang-orang ini tidak melakukannya. Karena siapa sih yang ndak punya dosa. Dibanding dengan para pejabat kita yang tampangnya suci dan tulus itu, yang ternyata bajingan dan tukang korup, siapakah yang paling bermoral?


Kita dengan gampangnya menghakimi Ari*l dkk. Betul, bahwa ada kesalahan mereka ya. Tetapi apakah kita lebih baik dari Ari*l. Kita menunjuk Ari*l dkk dengan satu jari telunjuk, padahal 3 jari yang lain menunjuk kita.

Biarlah kasusnya Ari*l menjadi bahan pembelajaran buat kita. Bukan dengan menghakiminya tetapi dengan tetap belajar agar kasus seperti ini tidak terulang [mungkin] pada diri kita dan keluarga kita.

Kamis, 01 Juli 2010

Belajar nilai sufistik dari Emha

Secara etimologi, wikipedia menuliskan beberapa sumber perihal etimologi dari kata "Sufi". “Pandangan yang umum adalah kata itu berasal dari Suf (صوف), bahasa Arab untuk wol, merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para asetik Muslim. Namun tidak semua Sufi mengenakan jubah atau pakaian dari wol. Teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata dari Sufi adalah Safa (صفا), yang berarti kemurnian. Hal ini menaruh penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa. Teori lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie artinya ilmu ketuhanan. Yang lain menyarankan bahwa etimologi dari Sufi berasal dari "Ashab al-Suffa" ("Sahabat Beranda") atau "Ahl al-Suffa" ("Orang orang beranda"), yang mana dalah sekelompok muslim pada waktu Nabi Muhammad yang menghabiskan waktu mereka di beranda masjid Nabi, mendedikasikan waktunya untuk berdoa.”[1]

Mengapa dituliskan hal demikian yaitu untuk menunjukkan bahwa tidak mudah untuk memahami dengan singkat pergulatan tentang sufi itu sendiri. Namun meskipun secara etimologi saja orang masih harus bergumul, kita bisa menyimpulkan satu hal yaitu bahwa sufi erat kaitannya dengan kesucian dan kemurnian hati. Pada saat yang sama wikipedia menuliskan hal tentang sufis itu sendiri yaitu “Sufi adalah istilah untuk mereka yang mendalami ilmu tasawwuf, sejenis aliran mistik dalam agama Islam. Tasawuf (Tasawwuf) atau Sufisme (bahasa arab: تصوف , ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi.[2] Abdul Munir Mulkhan menuliskan bahwa sufi adalah sebuah praktik keberagamaan dalam komunitas pemeluk agama Islam yang antara lain berusaha menemukan kesadaran ilahiah autentik, jujur dan manusiawi[3]


“Aku mabuk Allah"

aku mabuk allah

semata-mata allah

segala-galanya allah

tak bisa lain lagi

aku mabuk allah

lainnya tak berhak dimabuki

lainnya palsu, lainnya tiada

nyamuk tak nyamuk

kalau tak mengabarkan allah

langit tak langit

kalau tak menandakan allah

debu tak debu

badai tak badai

kalau tak membuktikan allah

kembang tak mekar

api tak membakar

kalau tak allah

mabuklah aku mabuk allah

tak bisa lihat tak bisa dengar

cuma allah cuma allah

kalau matahari memancar

siapa sebenarnya yang menyinar

kalau malam legam

siapa hadir di kegelapan

kalau punggung ditikam

siapa merasa kesakitan

mabuklah aku mabuk allah

kalau jantung berdegup

siapa yang hidup

kalau menetes puisi

siapa yang abadi

allah semata

allah semata lainnya dusta

Salah satu paham sufi mengatakan bahwa kita dapat bersatu dengan Tuhan.[4] Dalam puisi emha di atas nampak sekali bahwa Emha mencoba menunjukkan bagaimana Ia Mabuk Allah...itu berarti dalam dirinya ada banyak bahkan berlebihan Allah. Bukankah biasanya kita mabuk oleh minuman keras? Jika kita mabuk oleh minuman keras, itu berarti kita memasukkan begitu banyak bahkan berlebihan minuman keras ke dalam tubuh kita. Analogi inilah yang dipakai Emha untuk menunjukkan bahwa di dalam dirinya ada begitu banyak Allah (tentu dari segi kualitatifnya) bahkan berlebihan. Hal ini menunjukkan dengan sangat jelas bahwa puisi emha tersebut sangat berbau sufisme. Disini terjadi simbolisme dimana kemabukan berarti terjadinya ekstase religius.[5]

Tetapi apakah kita bisa mabuk Allah jika kita tidak punya kerinduan dan cinta kepada Allah? Bagaimana mungkin orang akan mengkonsumsi begitu banyak minuman yang jelas-jelas akan membuatnya mabuk jika Ia tidak menyukai bahkan jatuh cinta dengan minuman itu? Mabuk Allah didasari oleh rasa cinta kepada Allah, hanya Allah saja,semata-mata Allah, tidak ada yang lain. Bagi Emha, yang lain itu adalah dusta.


Dalam dunia sufisme, cinta merupakan tema sentral, khususnya cinta kepada Allah. Dr. Javad Nurbakhsh mengatakan bahwa Tuhan harus didekati melalui cinta, dan hanya melalui keagungan dan rahmat Ilahi intimasi bersamaNya bisa tercapai.[6] Lebih lanjut Dr Javad Nurbakhsh menguraikan kemungkinan cara Cinta Ilahi muncul dalam diri Sufi yaitu[7]:


1. melalui daya tarik Ilahi (jazbah). Cinta Ilahi muncul dalam diri sufi secara langsung, tanpa perantara, sehingga sang sufi melupakan segalanya kecuali Tuhan

2. melalui pengembaraan dan kemajuan metodis di atas jalan (sayr wa suluk). Sufi menjadi begitu pasrah jatuh cinta pada guru spritualnya, yang kemudian mengubah cinta ini menjadi cinta ilahi.


Kalau boleh disimpulkan, cinta Ilahi ini dapat terjadi dalam diri seorang Sufi melalui dua jalan yaitu Allah sendiri yang berkenan dan yang kedua adalah adanya usaha untuk menggapai cinta Ilahi. Kita tidak tahu dalam posisi yang mana Emha berdiri (atau memang dia sama sekali tidak memposisikan dirinya), tetapi yang jelas dari puisinya tersebut, mabuk Allah adalah ungkapan paling dalam hanya dalam diri Allah saja. Tentu kalau kita melacak jejak spritual Emha, Ia pun berguru pada seorang guru yang sangat Ia kagumi bernama Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat memengaruhi perjalanan Emha berikutnya.[8]


Hal lain yang menarik dari puisi Emha tersebut adalah hal “Allah saja” titik! Tak ada yang lain selain Allah saja. Yang lain hanyalah penanda (kalau boleh disebutkan demikian) akan siapa Allah. Tujuannya hanya Allah saja. Fokusnya Allah saja! Hal inipun menyiratkan bagaimana sufisme mempengaruhi puisi Emha tersebut. Dr. Javad Nurbakhsh mengatakan bahwa kebanyakan orang mencari karunia Tuhan, sementara sufi mencari Dia semata, yang merindukan keintimanNya. Yang lain puas dengan pemberianNya; kaum sufi hanya puas dengan Dia[9]


Kita memang belum melihat ada tulisan ataupun orang yang mengatakan bahwa Emha adalah seorang sufis. Namun yang jelas, pengaruh sufisme dalam puisinya tersebut setidaknya menggambarkan kecenderungannya untuk mencoba menggambarkan pencarian akan Allah saja. Allah semata. Hanya Dia saja. Kecenderungan sufisme mencari Allah saja kelihatan sekali dalam puisi Emha tersebut. “Cuma-Cuma Allah”, “Allah semata” bukan yang lain. Yang lain: nyamuk, langit, debu, badai, kembang, api, matahari, malam legam, kesakitan, jantung berdegup, hanyalah penanda akan Allah. Dengan ini, Emha ingin menunjukkan bahwa segala sesuatu fokus dan tertuju kepada Allah, bukan yang lain. [10]


Bagaimana dengan teologi? Jika kita menganggap bahwa puisi Emha tersebut memiliki nilai sufisme, maka dengan jelas teologi yang muncul dipengaruhi oleh sikap kaum sufis yang menaruh perhatian kepada Allah dan bagaimana terjadinya kesatuan dengan Allah. Kesatuan dengan Allah hanya dapat tercapai jika di dalamnya ada cinta “hanya” kepada Allah.



[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Sufisme

[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Sufisme. Lebih lanjut dituliskan bahwa Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam.

[3] Abdul Munir Mulkhan, Sufi Pinggiran,Yogyakarta: Kanisius, 2007, hlm. 13

[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Sufisme

[5] lihat Sa'duddin Mahmud Syabistari dalam sufinews.com. dia menguraikan beberapa simbol sufi seperti tidur adalah kontemplasi, pelukan dan ciuman adalah pesona-pesona ilahi dsb.

[6] Dr. Javad Nurbakhsh, “Ciri-ciri khas utama Sufisme dalam periode awal Islam” dalam Leonard Lewisohn (ed), Warisan Sufi. Sufisme Persia Klasik dari permulaan hingga Rumi (700-1300). Buku pertama, (Yogyakarta:Pustaka Sufi) 2002, hlm. 3

[7] Dr. Javad Nurbakhsh, “Ciri-ciri khas utama Sufisme dalam periode awal Islam” dalam Leonard Lewisohn (ed), Warisan Sufi. Sufisme Persia Klasik dari permulaan hingga Rumi (700-1300). Buku pertama, (Yogyakarta:Pustaka Sufi) 2002, hlm. 3

[8] www.duniasastra.com

[9] Dr. Javad Nurbakhsh, “Ciri-ciri khas utama Sufisme dalam periode awal Islam” dalam Leonard Lewisohn (ed), Warisan Sufi. Sufisme Persia Klasik dari permulaan hingga Rumi (700-1300). Buku pertama, (Yogyakarta:Pustaka Sufi) 2002, hlm. 4

[10] Penilaian tentang karya-karya Emha dipengaruhi oleh sufistik dituliskan misalnya oleh Indra Tjahyadi “Puisi sufistik paslu, gelap dan dekade 1980-an” dengan mengutip Harry Aveling yang mengatakan bahwa pada dekade 1980an telah terjadi wabah “sufi” dalam lapangan perpuisian di Indonesia dan Emha Ainun Nadjib adalah salah seorang tonggaknya (www.suarakarya-online.com). Hal yang sama juga dituliskan oleh Ahmad Fatoni “sentuhan sufisme dalam sastra Indonesia” (www.hupelita.com). Hal ini juga diungkapkan oleh Julia Day Howell, Sufism and the Indonesian Islamic Revival yang juga mencantumkan nama Emha Ainun Nadjib yang adalah generasi muda sebagai tonggaknya melalui karya-karyanya disamping misalnya Abdul Hadi,Taufiq Ismail, and Sutardji Caljoum Bachri dsb.