Selasa, 15 Maret 2011

(membudayakan) budaya instan

Mahasiswa itu gemar makan mie. Mengapa demikian, karena gampang buatnya, tinggal seduh saja, tunggu lima menit selesai. Tetapi yang namanya mie tetap aja mie. belum 10 menit udah lapar lagi. itulah mie, gampang buatnya tapi ndak tahan lama. ia tidak bisa memenuhi keinginan paling dalam dari kita, yaitu hilangnya rasa lapar.

Tidak sedikit orang di negeri ini hidup dalam “budaya instan”. Banyak alasan yang tentunya dijadikan kambing hitam. entah karena perkembangan teknologi yang membantu suburnya budaya instan ini, entah itu tuntutan persaingan yang menjadikah segalanya halal untuk dilakukan. Manusia akhirnya mengingkari kebiasaan buruknya dan mengkambing hitamkan yang lain. tanpa sadar kita hidup dalam dunia yang serba instan, yang akhirnya menjadikan kita sendiri pengennya cepat tanpa harus tahu apakah cara yang kita gunakan tergolong kedalam istilah “halal apa haram”

Budaya ini semakin berakar dalam darah dan daging kita, hingga tak tahu lagi apakah ia sesuatu yang datangnya dari luar diri kita, atau ia telah kita klaim sebagai “bawaan sejak lahir”. Budaya yang semestinya kita tolak, sekarang malah kita klaim sebagai sifat naluri paling dasar dari diri kita, yang otomatis kita anggap sebagai hal yang lumrah. jadi, kalau ada saudara kita yang mirip dengan apa yang kita lakukan, itu tidak menjadi masalah. Toh kita menganggap itu sebagai sesuatu yang dasariah dari orang tersebut. Sama halnya ketika ada orang hidup dalam budaya yang tidak mengutamakan budaya instan, kita pun sama.

Budaya yang dari awal datangnya dari luar diri kita, sekarang mendarah daging dalam diri kita bahkan kita klaim sebagai saudara kandung darah dan daging kita. Akhirnya kita tidak bisa melihat, yang mana yang seharusnya kita tolak dan mana yang seharusnya kita terima. Saudara(entah dekat ataupun jauh) karena punya budaya yang sama, menjadi saudara kandung yang turut serta melestarikan budaya ini. Kita menganggap mereka sebagai teman se-klan, yang seharusnya punya rasa solidaritas satu dengan yang lain.

Fenomena yang paling menarik dalam perkembangan korupsi di negeri ini adalah selalu melibatkan sekelompok orang, tidak satu individu. Hidup dalam sebuah komunitas yang cinta “budaya instan” menjadikan mereka tidak lagi mau saling menegur, malah saling mendukung. Akhirnya, uang orang lain raib dibawa lari. Kebahagian, kekayaan dan sukses bisa diraih seperti membalikkan telapak tangan. Orang gemar ‘potong kompas’ demi meraih untung yang cepat tanpa harus bersusah payah. Ini terjadi juga di beberapa instansi pemerintah. Teman yang ndak pernah mau datang ke kantor, tetapi gaji tetap lancar, ndak pernah mau ditegur. Mengapa? Karena ia punya gen yang sama, satu komunitas, satu klen pencinta budaya instan. Akhirnya, kita tidak lagi bisa melihat pegawai yang menjunjung tinggi aturan main dan etiket tertentu.

Kembali ke mie instan, ia gampang dibuat, ia juga sangat mudah di dapat, tapi ingat ia tidak akan bertahan lama. Ia akan membuat kita lapar lagi. Mungkin bagi sebagian orang korupsi adalah lumrah untuk dilakukan, namun ingat, ia tidak akan bisa memenuhi keinginanmu paling dalam, yaitu kedamaian, damai dengan diri sendiri, keluarga dan orang lain. Budaya instan menyebabkan ‘pendangkalan hidup’. Engkau akan selalu dikejar oleh suara batinmu yang paling dalam. Tidak sedikit para koruptor di negeri ini, sisa umurnya dihabiskan dalam urusan pengadilan dan sel tahanan. Rasa malu harus dihadapi, sebagai tanggung jawab yang awalnya sepele. Mendarah-dagingkan budaya instan sebagai naluri paling dasar.

Lukas 6: 46-49 menyebutkan bahwa rumah yang baik adalah yang fondasinya kuat dan kokoh ketika banjir datang. Sehingga kalo air bah datang apalagi tsunami, ia tetap berdiri kokoh. Begitupun kalo kita hidup dengan dasar yang tidak kuat-seperti mie instan. Ketika banjir datang kita dengan gampangnya ambruk. Persoalan apapun jika kebiasaan menyelesaikannya dengan jalan ‘potong kompas’ akan membuat kita mudah ambruk atas persoalan hidup yang mungkin sepele. Namun penulisis Injil Lukas mengajak kita untuk tidak ‘asal’ namun berjuang untuk memiliki fondasi hidup yang kuat dan kokoh. Keinginan untuk menjadi unggul dan berprestasi seharusnya dibangun atas nilai dan dasar hidup yang kuat!